Blangong beuso dikenal dalam kehidupan masyarakat Aceh, pada masyarakat gayo disebut belanga besi. Blangong beuso yang dimaksudkan di sini adalah kuali Orang-orang Aceh membedakan antara blangong tanoh dengan blangon beuso. Blangong tanoh seperti yang telah dijélaskan terdahulu mempunyai ciri tersendiri karena bentuknya yang kecil (yang paling besar berisi sekitar 20 liter air), sedangkan jika disebut blangong beuso berarti kuali yang besar yang khusus dipergunakan untuk dapur umum.
Menurut informasi yang berhasil dikumpulkan, pada waktuwaktu yang lampau sebelum masyarakat mengenal blangong dalam kegiatan dapur umum mereka mempergunakan blangong tanoh yang berukuran besar. Blangong beuso dipergunakan sebagai wadah untuk memasak gulai kambing atau gulai lainnya. Kuali dapat diperoleh hanya dengan membeli di pasar-pasar dan jarang yang merupakan milik pribadi. Sebuah kuali biasanya dibeli secara kolektif oleh masyarakat yang mendiami pada tiap-tiap perkampungan atau desa, sehingga tiap desa memiliki 2 sampai 3 buah kuali. Jika penyelenggaraan pesta besar yang membutuhkan kuali yang banyak, melalui perantaraan kepada desa dapat meninjau kepada kepala desa tetangga tanpa harus menyewanya. Untuk menunjukkan suasana persaudaraan dan persahabatan, kepada kepala desa yang meminjamnya kuali, jika nanti gulainya telah masak akan diantarkan sedikit gulai tersebut kepadanya. Perlu diketahui setiap kepala desa tidak boleh menolak permintaan dari kepala desa tetangganya yang salah seorang warga masyarakat atau desa tersebut sedang melaksanakan pesta. Di balik itu ada semacam perjanjian yang walaupun tidak pemah dibicarakan pada saat dilakukan pinjam meminjam, tetapi telah menjadi
tradisi jika alat tersebut rusak akan diganti dengan yang lain. Pengganti yang rusak tidak dibebankan kepada orang yang menyelenggarakan pesta, namun ditanggung bersama oleh warga masyarakat desa tersebut Ini mengandung pengertian bahwa alat-alat yang dipinjam pada desa lain menjadi tanggung jawab bersama, oleh karena itu harus dipelihara sebaik baiknya seperti kepunyaannya sendiri. Keadaan demikian bisa teriadi oleh karena yang berhajat menyelenggarakan pesta, telah menyerahkan pelaksanaan pesta tersebut kepada kepala desa dan tetua-tetua di kampung itu. Dengan demikian pesta itu menjadi tanggung jawab kepala desa dengan segenap warga desanya.
Penggunaan blangong beuso sebagai wadah memasak gulai khas Aceh (gulai kambing sapi, dan biri-biri), kiranya perlu juga dijélaskan secara singkat. Mula-mula daging (kambing, sapi dan biri-biri) yang telah dibersihkan dimasukkan ke dalam kuali, kemudian bumbu lalu diaduk menjadi rata dengan sedikit memakai air. Setelah itu kuali yang telah diletakkan ke atas tungku dihidupkan api di bawahnya sampai daging menjadi empuk, ke dalam kuali tersebut ditambah lagi sayur (nangka, pisang muda, labu atau di beberapa tempat memakai umbut pisang yang masih muda) serta diberi kuah secukupnya. Keadaan ini dibiarkan sampai sayur menjadi empuk dan sesekali digawo agar tidak hangus/mengerak.
Membersihkan blangong beuso sangat mudah. Setelah gulai diambil seluruhnya, kuali diangkat dari atas tungku dituangkan ke tanah. Pada saat kuali tersebut masih panas harus dibersihkan sisa-sisa gulai dengan menggunakan daun belimbing atau daun pisang yang masih segar dan jangan dibiarkan kuali tersebut menjadi kering lalu dibersihkan. Ini dilakukan menurut suatu keyakinan bahwa kuali yang tidak dibersihkan lalu kering sendiri. maka pada saat pemakaian yang akan datang gulainya menjadi bagus. Karena kuali merupakan milik bersama dengan sendirinya kuali-kuali tersebut dipimpin di meunasah masing-masing.
Sumber: Buku Dapur dan Alat-Alat Memasak Tradisional Propinsi Daerah Istimewa Aceh
Vila Van Resink adalah bangunan cagar budaya berbentuk vila yang terletak di Jalan Siaga, Kalurahan Hargobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemilik awal vila ini adalah Gertrudes Johannes "Han" Resink, seorang anggota Stuw-groep , sebuah organisasi aktif pada Perang Dunia II yang memperjuangkan kemerdekaan dan pembentukan negara demokratis Hindia Belanda. Bangunan tersebut dibangun pada masa pemerintah Hindia Belanda sebagai bagian dari station hill (tempat tetirah pada musim panas yang berada di pegunungan) untuk boschwezen dienst (pejabat kehutanan Belanda). Pada era Hamengkubuwana VII, kepengelolaan Kaliurang (dalam hal ini termasuk bangunan-bangunan yang berada di wilayah tersebut) diserahkan kepada saudaranya yang bernama Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi. Tanah tersebut lantas dimanfaatkan untuk perkebunan nila, tetapi kegiatan itu terhenti kemudian hari karena adanya reorganisasi pertanian dan ekonomi di Vors...
Gereja Kristen Jawa (GKJ) Pakem Kertodadi adalah salah satu gereja di bawah naungan sinode Gereja Kristen Jawa, yang terletak di Jalan Kaliurang km. 18,5, Padukuhan Kertadadi, Kalurahan Pakembinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Awal mula pertumbuhan jemaat gereja ini berkaitan dengan keberadaan Rumah Sakit Paru-Paru Pakem, cabang dari Rumah Sakit Petronela (Tulung), yang didirikan di wilayah Hargobinangun. Sebelum tahun 1945, kegiatan keagamaan umat Kristen diadakan secara sederhana dalam bentuk renungan atau kebaktian pagi yang berlangsung di klinik maupun apotek rumah sakit yang dikenal dengan nama "Loteng". Para perawat di rumah sakit tersebut juga melakukan pelayanan kesehatan ke dusun-dusun di sekitarnya, yaitu Tanen, Sidorejo, Purworejo, dan Banteng. Menurut Notula Rapat Gerejawi, jemaat gereja ini mengadakan penetapan majelis yang pertama kali pada 21 April 1945. Tanggal tersebut lantas disepakati sebagai hari jadi GKJ Pa...
Situs Cepet Pakem adalah situs arkeologi yang terletak di Padukuhan Cepet, Kalurahan Purwobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan temuan dua buah yoni dan sejumlah komponen arsitektur candi di sekitarnya, situs ini diduga merupakan reruntuhan sebuah candi Hindu dari masa klasik. Lokasinya kini berada di area permakaman umum Padukuhan Cepet, berdekatan dengan sebuah masjid. Benda cagar budaya (BCB) utama yang ditemukan di situs ini adalah dua buah yoni yang terbuat dari batu andesit. Kondisi keduanya telah rusak, sedangkan lingganya tidak ditemukan. Yoni pertama awalnya berada di pekarangan penduduk bernama Pujodiyono, tetapi sekarang dipindahkan di halaman makam. Yoni ini memiliki ukuran relatif besar dengan bentuk yang sederhana, yaitu lebar 134 sentimeter, tebal 115 sentimeter, dan tinggi 88 sentimeter. Bagian bawah cerat yoni tersebut tidak bermotif dan memberikan kesan bahwa pengerjaannya belum selesai. Sementara itu, terdap...
Situs Potro atau Pancuran Buto Potro adalah situs arkeologi yang terletak di Padukuhan Potro, Kalurahan Purwobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Situs ini terdiri atas dua benda cagar budaya (BCB) utama yang seluruhnya terbuat dari batu andesit, yaitu jaladwara dan peripih. Jaladwara di situs ini oleh masyarakat setempat dikenal dengan nama Pancuran Buto, karena bentuknya menyerupai kepala raksasa (kala) dengan mulut terbuka, gigi bertaring, dan ukirannya menyerupai naga. Sementara itu, keberadaan peripih berukuran cukup besar di situs ini menimbulkan dugaan bahwa pernah berdiri sebuah bangunan keagamaan di sekitar lokasi, kemungkinan sebuah candi, meskipun bentuk dan coraknya tidak dapat dipastikan karena minimnya artefak yang tersisa.
Resep Sambal Matah Bahan-bahan: Bawang Merah Cabai Rawit Daun Jeruk Sereh Secukupnya garam Minyak panas Pembuatan: Cincang bawang merah, cabai rawit, daun jeruk, dan juga sereh Campur semua bahan yang sudah dicincang dalam satu wadah Tambahkan garam secukupnya atau sesuai selera Masukkan minyak panas Aduk semuanya Sambal matah siap dinikmati