Tersebutlah kisah seorang raja yang memiliki sepasang putera kembar. Raja tersebut menguasai daerah kerajaan yang cukup luas, dengan keadaan rakyat yang aman, damai dan makmur. Karena keadaan itulah maka raja sangat dicintai oleh rakyatnya.
Akan halnya putera raja yang kembar tadi memilki kebiasaan yang unik yakni bila makan maka lauknya harus menggunakan gula merah, dank arena rasa saying raja terhadap kedua puteranya maka persediaan kerajaan akan gula merah tetap menjadi perhatian. Hal ini mengingat kelangsungan hidup dari kedua putera raja sangat bergantung dengan adanya gula merah. Karena jika tanpa gula merah kedua putera raja tidak mau makan.
Salah satu upaya dari kerajaan untuk meningkatkan pembuatan gula merah adalah dengan menganjurkan kepada rakyatnya untuk menanam pohon aren yang nantinya dapat dijadikan bahan pembuat gula merah. Hari berganti bulan, bulan berganti tahun, pohon aren seluruh masyarakat tumbuh subur. Hal ini membuat hati sang raja bergembira.
"Bila keadaan terus begini maka rakyatku akan makmur dan puteraku tentunya akan dapat tetap hidup selamanya," gumam sang raja dalam hati.
Namun menjelang usia putera raja menginjak sepuluh tahun, cobaan menerpa kerajaan dan seluruh rakyatnya. Pohon aren musnah ditimpa penyakit yang tidak diketahui obatnya. Dengan perasaan cemas raja mencoba bertanya kepada para menteri tentang kenyataan itu. Mereka berembug mencari jalan keluarnya. Seluruh pakar dimintai pandapatnya. Bermacam-macam cara ditawarkan dalam mengatasi persoalan itu. Semua cara telah dilakukan namun selalu gagal.
Pada suatu hari bertanyalah sang raja kepada menteri tentang perseediaan gula yang masih tersisa. Sang menteri memberitahukan bahwa persediaan gula merah hanya cukup sampai dengan tiga bulan ke depan. Dalam keadaan yang sangat mendesak tersebut diambil keputusan untuk mencari gula merah ke kerajaan lain atau kalu perlu ke pulau-pulau lain. "Siapkan bekal sebanyak-banyaknya berangkatlah, dan dapatkan gula merah sebanyak-banyaknya," perintah sang raja kepada para menteri dan hulu balangnya.
Dimulailah pelayaran mencari gula merah itu melalui pelabuhan Labuhan Jontal. Sasaran dari utusan raja tadi adalah bagian barat dari kerajaan tersebut. Belum sampai di daerah tujuan, tepatnya di sekitar Pulau Bungin perahu rombongan raja membawa banyak uang dan barang berharga lainnya. Dengan segenap usaha yang ada para utusan raja mencoba bertahan dari serangan para perompak laut yang ganas namun usaha mereka sia-sia karena para perompak tersebut sangat tangguh. Namun demikian masih ada utusan raja yang tersisa dan berhasil menyelamatkan diri dengan berenang ke pantai dan kembali lagi menghadap raja.
Raja sangat murka mendengar cerita dari utusannya yang selamat tadi dan dengan segera mengambil keputusan bahwa dia sendiri yang berangkat mencari gula merah demi sang anak apapun yang akan dijalani. Dengan meminta izin kepada permaisuri terlebih dahulu maka berangkatlah sang raja beserta para pengawalnya untuk mencari gula merah.
Sepeninggal sang raja, tinggallah permaisuri beserta kedua puteranya. Satu bulan sudah berlalu hati sang permaisuri selalu berharap harap cemas diiringi doa semoga sang raja selamat di dalam perjalanan dan dapat segera kembali. Akan tetapi hampir empat bulan sudah berlalu kabar berita tak kunjung tiba. Hati permaisuri diliputi kecemasan. Hampir setiap hari permaisuri menangis dan menangis mengingat nasib sang raja. Menjelang satu tahun kepergian sang raja sang permaisuri hanya dapat merenung seorang diri di suatu tempat di atas bukit. Tempat tersebut sering dikunjunginya beserta sang raja dalam mengisi waktu luangnya. Permaisuri tak ingin lagi kembali ke istana. Kedua puteranya sudah tidak dihiraukan lagi. Siang dan malam dia hanya merenung dan menangis seorang diri.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, tubuh sang permaisuri telah ditumbuhi lumut dan membatu. Kedua puteranya kini telah terpisah yang satunya pergi ke arah barat melalui darat menyusul sang raja dan perjalanannya terhenti di suatu tempat yang namanya Taliwang, sedangkan puteranya yang lain tetap bersama ibunya dan berubah menjadi seekor kera.
Akan halnya putera raja yang tetap menjadi manusia dapat tetap hidup dan mencoba makan dengan lauk yang bukan dari gula merah. Bahkan sang putera raja berhasil mempersunting seorang puteri setempat untuk dijadikan istri. Dengan perasaan bagga dia kembali menemui ibu dan saudaranya sambil memboyong istrinya, namun sesampainya di wilayah kerajaannya dia dan istrinya terperanjuat oleh kehadiran seekor kera besar yang tak lain adalah saudaranya sendiri. Disangkanya kera tersebut akan menyerangnya keudian dibacoknya kera tersebut dengan pedangnya namun tidak mempan.
Karena kenyataan itu maka putera raja bersama istrinya berlari untuk menyelamatkan diri dari serangan sang kera yang sebenarnya sang kera tidak bermaksud menyerang tetapi hanya ingin memeluk saudaranya yang telah lama berpisah. Putera raja bersama istrinya terus berlari ke arah selatan dan bersembunyi di sebuah gua di pinggir pantai sampai keduanya membantu di dalam gua tersebut. Sekarang gua tersebut dikenal nama Liang Dewa, sedangkan letak kerajaannya adalah daerah atau wilayah Muer kecamatan Plampang. Dan Batu sang permaisuri sekarang ini masih dapat dilihat dan oleh masyarakat setempat disebut Batu Tongkok.
sumber:
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja