Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Cerita Rakyat Aceh Kabupaten Gayo Lues
Batu Belah Batu Bertangkup

Dewasa ini, cerita rakyat menjadi salah satu ‘artifak’ kebudayaan yang banyak ditinggalkan oleh generasi muda. Era globalisasi telah mencetak diri kita sedemikian rupa sehingga kita lupa akan identitas kita yang sebenarnya – Indonesia adalah SATU! Padahal melalui cerita rakyat, banyak pesan moral yang bisa kita ambil dan tentu dapat menyandang signifkansi yang tajam di zaman ini. Berikut ini saya lampirkan cerita rakyat berjudul “Batu Belah Batu Tertangkup”; dari Kabupaten Gayo Lues, Nanggroe Aceh Darussalam.

 

Batu Belah Batu Tertangkup

Pada jaman dahulu di tanah Gayo, Aceh – hiduplah sebuah keluarga petani yang sangat miskin. Ladang yang mereka punyai pun hanya sepetak kecil saja sehingga hasil ladang mereka tidak mampu untuk menyambung hidup selama semusim, sedangkan ternak mereka pun hanya dua ekor kambing yang kurus dan sakit-sakitan. Oleh karena itu, untuk menyambung hidup keluarganya, petani itu menjala ikan di sungai Krueng Peusangan atau memasang jerat burung di hutan. Apabila ada burung yang berhasil terjerat dalam perangkapnya, ia akan membawa burung itu untuk dijual ke kota.

 

Suatu ketika, terjadilah musim kemarau yang amat dahsyat. Sungai-sungai banyak yang menjadi kering, sedangkan tanam-tanaman meranggas gersang. Begitu pula tanaman yang ada di ladang petani itu. Akibatnya, ladang itu tidak memberikan hasil sedikit pun. Petani ini mempunyai dua orang anak. Yang sulung berumur delapan tahun bernama Sulung, sedangkan adiknya Bungsu baru berumur satu tahun. Ibu mereka kadang-kadang membantu mencari nafkah dengan membuat periuk dari tanah liat. Sebagai seorang anak, si Sulung ini bukan main nakalnya. Ia selalu merengek minta uang, padahal ia tahu orang tuanya tidak pernah mempunyai uang lebih. Apabila ia disuruh untuk menjaga adiknya, ia akan sibuk bermain sendiri tanpa peduli apa yang dikerjakan adiknya. Akibatnya, adiknya pernah nyaris tenggelam di sebuah sungai.

 

Pada suatu hari, si Sulung diminta ayahnya untuk pergi mengembalakan kambing ke padang rumput. Agar kambing itu makan banyak dan terlihat gemuk sehingga orang mau membelinya agak mahal. Besok, ayahnya akan menjualnya ke pasar karena mereka sudah tidak memiliki uang. Akan tetapi, Sulung malas menggembalakan kambingnya ke padang rumput yang jauh letaknya.

“Untuk apa aku pergi jauh-jauh, lebih baik disini saja sehingga aku bisa tidur di bawah pohon ini,” kata si Sulung. Ia lalu tidur di bawah pohon. Ketika si Sulung bangun, hari telah menjelang sore. Tetapi kambing yang digembalakannya sudah tidak ada. Saat ayahnya menanyakan kambing itu kepadanya, dia mendustai ayahnya. Dia berkata bahwa kambing itu hanyut di sungai. Petani itu memarahi si Sulung dan bersedih, bagaimana dia membeli beras besok. Akhirnya, petani itu memutuskan untuk berangkat ke hutan menengok perangkap.

 

Di dalam hutan, bukan main senangnya petani itu karena melihat seekor anak babi hutan terjerat dalam jebakannya.

“Untung ada anak babi hutan ini. Kalau aku jual bisa untuk membeli beras dan bisa untuk makan selama sepekan,” ujar petani itu dengan gembira sambil melepas jerat yang mengikat kaki anak babi hutan itu. Anak babi itu menjerit-jerit, namun petani itu segera mendekapnya untuk dibawa pulang. Tiba-tiba, semak belukar di depan petani itu terkuak. Dua bayangan hitam muncul menyerbu petani itu dengan langkah berat dan dengusan penuh kemarahan. Belum sempat berbuat sesuatu, petani itu telah terkapar di tanah dengan tubuh penuh luka. Ternyata kedua induk babi itu amat marah karena anak mereka ditangkap. Petani itu berusaha bangkit sambil mencabut parangnya. Ia berusaha melawan induk babi yang sedang murka itu.

 

Namun, sungguh malang petani itu. Ketika ia mengayunkan parangnya ke tubuh babi hutan itu, parangnya yang telah aus itu patah menjadi dua. Babi hutan yang terluka itu semakin marah. Petani itu lari tunggang langgang dikejar babi hutan. Ketika ia meloncati sebuah sungai kecil, ia terpeleset dan jatuh sehingga kepalanya terantuk batu. Tewaslah petani itu tanpa diketahui anak istrinya. Sementara itu – di rumah istri petani itu sedang memarahi si Sulung dengan hati yang sedih karena si Sulung telah membuang segenggam beras terakhir yang mereka punyai ke dalam sumur. Ia tidak pernah membayangkan bahwa anak yang telah dikandungnya selama sembilan bulan sepuluh hari dan dirawat dengan penuh cinta kasih itu, kini menjadi anak yang nakal dan selalu membuat susah orang tua.

 

Karena segenggam beras yang mereka miliki telah dibuang si Sulung ke dalam sumur maka istri petani itu berniat menjual periuk tanah liatnya ke pasar. “Sulung, pergilah ke belakang dan ambillah periuk tanah liat yang sudah ibu keringkan itu. Ibu akan menjualnya ke pasar. Jagalah adikmu karena ayahmu belum pulang,” ucapnya. Akan tetapi, bukan main nakalnya si Sulung ini. Dia bukannya menuruti perintahnya ibunya malah ia menggerutu.

“Buat apa aku mengambil periuk itu. Kalau ibu pergi, aku harus menjaga si Bungsu dan aku tidak dapat pergi bermain. Lebih baik aku pecahkan saja periuk ini,” kata si Sulung. Lalu, dibantingnya kedua periuk tanah liat yang menjadi harapan terakhir ibunya untuk membeli beras. Kedua periuk itu pun hancur berantakan di tanah.

 

Bukan main terkejut dan kecewanya ibu si Sulung ketika mendengar suara periuk dibanting.

“Aduuuuuh…..Sulung! Tidak tahukah kamu bahwa kita semua butuh makan. Mengapa periuk itu kamu pecahkan juga, padahal periuk itu adalah harta kita yang tersisa,” ujar ibu si Sulung dengan mata penuh air mata. Namun si Sulung benar-benar tidak tahu diri, ia tidak mau makan pisang. Ia ingin makan nasi dengan lauk gulai ikan. Sungguh sedih ibu si Sulung mendengar permintaan anaknya itu.

“Pokoknya aku tidak mau makan pisang! Aku bukan bayi lagi, mengapa harus makan pisang,” teriak si Sulung marah sambil membanting piringnya ke tanah.

 

Ketika si Sulung sedang marah, datang seorang tetangga mereka yang mengabarkan bahwa mereka menemukan ayah si Sulung yang tewas di tepi sungai. Alangkah sedih dan berdukanya ibu si Sulung mendengar kabar buruk itu. Dipeluknya si Sulung sambil menangis, lalu berkata “Aduh, Sulung, ayahmu telah meninggal dunia. Entah bagaimana nasib kita nanti,” ratap ibu si Sulung. Tetapi si Sulung tidak tampak sedih sedikit pun mendengar berita itu. Bagi si Sulung, ia merasa tidak ada lagi yang memerintahkannya untuk melakukan hal-hal yang tidak disenanginya.

 

“Sulung, ibu merasa tidak sanggup lagi hidup di dunia ini. Hati ibu sedih sekali apabila memikirkan kamu. Asuhlah adikmu dengan baik. Ibu akan menuju ke Batu Belah. Ibu akan menyusul ayahmu,” ucap ibu si Sulung. Ibu si Sulung lalu menuju ke sebuah batu besar yang menonjol, yang disebut orang Batu Belah.

 

Sesampainya di sana, ibu si Sulung pun bernyanyi,

Batu belah batu bertangkup.

Hatiku alangkah merana.

Batu belah batu bertangkup.

Bawalah aku serta.

 

Sesaat kemudian, bertiuplah angin kencang dan batu besar itu pun terbelah. Setelah ibu si Sulung masuk ke dalamnya, batu besar itu merapat kembali. Melihat kejadian itu, timbul penyesalan di hati si Sulung. Ia menangis keras dan memanggil ibunya sampai berjanji tidak akan nakal lagi, namun penyesalan itu datangnya sudah terlambat. Ibunya telah menghilang ditelan Batu Belah.

 

Bagaimana sobat? Dapatkah kalian mengorelasikan cerita rakyat di atas dengan kehidupan yang ada pada saat ini?

Pesan Moral: Perhatikan pikiranmu, perkataanmu, dan tindakanmu karena melalui hal-hal tersebut lah engkau menentukan apa yang akan terjadi: 'Kehidupan' atau 'Kematian'. Saya berharap sobat bisa mengerti perspektif yang saya ambil ketika menyimpulkan pesan moral ini.

 

Sumber: FolkTalesNusantara-2008

#OSKMITB2018

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Konsep Ikan Keramat Sebagai Konservasi Lokal Air Bersih Kawasan Goa Ngerong Tuban
Cerita Rakyat Cerita Rakyat
Jawa Timur

Sumber daya air merupakan sebuah unsur esensial dalam mendukung keberlangsungan kehidupan di bumi. Ketersediaan air dengan kualitas baik dan jumlah yang cukup menjadi faktor utama keseimbangan ekosistem serta kesejahteraan manusia. Namun, pada era modern saat ini, dunia menghadapi krisis air yang semakin mengkhawatirkan (Sari et al., 2024). Berkurangnya ketersediaan air disebabkan oleh berbagai faktor global seperti pemanasan, degradasi lingkungan, dan pertumbuhan penduduk yang pesat. Kondisi tersebut menuntut adanya langkah-langkah strategis dalam pengelolaan air dengan memperhatikan berbagai faktor yang tidak hanya teknis, tetapi juga memperhatikan sosial dan budaya masyarakat. Salah satu langkah yang relevan adalah konservasi air berbasis kearifan lokal. Langkah strategis ini memprioritaskan nilai-nilai budaya masyarakat sebagai dasar dalam menjaga sumber daya air. Salah satu wilayah yang mengimplementasikan konservasi berbasis kearifan lokal yaitu Goa Ngerong di kecamatan Rengel,...

avatar
Muhammad Rofiul Alim
Gambar Entri
Upacara Kelahiran di Nias
Ritual Ritual
Sumatera Utara

Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak,Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman),...

avatar
Admin Budaya
Gambar Entri
Prajurit Pemanah Kasultanan Kasepuhan Cirebon Di Festival Keraton Nusantara
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Jawa Barat

Prajurit pemanah dari komunitas pemanah berkuda indonesia (KPBI) mengikuti Festival Keraton Nusantara 2017. mewakili kesultanan kasepuhan cirebon. PAKAIAN: terdiri dari ikat kepala/ totopong khas sunda jenis mahkuta wangsa. kain sembongb berwarnaungu di ikat di pinggang bersamaan dengan senjata tajam seperti golok dan pisau lalu baju & celana pangsi sunda. dengan baju corak ukiran batik khas sunda di bagian dada. untuk alas kaki sebagian besar memakai sendal gunung, namun juga ada yang memakai sepatu berkuda. BUSUR: sebagian besar memakai busur dengan model bentuk turkis dan ada juga memakai busur model bentuk korea. ANAK PANAH: Semua nya memakai anak panah bahan natural seperti bambu tonkin, kayu mapple & kayu spruce QUIVER (TEMPAT ANAK PANAH): Semua pemanah menggunakan quiver jenis backside quiver atau hip quiver . yaitu quiver yang anak panah di pasang di pinggang dan apabila anak panah di pasang di dalam quiver , nock anak panah menghadap ke belaka...

avatar
ASEP NU KASEP TEA ATUH PIRAKU
Gambar Entri
Kirab agung milad ke 215 kesultanan kacirebonan
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Jawa Barat

aksi pertunjukan pusaka dan pasukan kesultanan kacirebonan dari balaikota cirebon sampai ke keraton kacirebonan

avatar
ASEP NU KASEP TEA ATUH PIRAKU
Gambar Entri
PANURUNG: Pasukan Pengawal Keraton Sumedang Larang
Senjata dan Alat Perang Senjata dan Alat Perang
Jawa Barat

Para pasukan penjaga keraton Sumedang larang

avatar
ASEP NU KASEP TEA ATUH PIRAKU