Orang Sasak mengenal beberapa jenis bangunan adat yang dijadikan sebagai tempat tinggal dan juga tempat penyelenggaraan ritual adat dan ritual keagamaan.
Atap rumah Sasak terbuat dari jerami dan berdinding anyaman bambu (bedek). Lantainya dibuat dari tanah liat yang dicampur dengan kotoran kerbau dan abu jerami. Campuran tanah liat dan kotoran kerbau membuat lantai tanah mengeras, sekeras semen. Pengetahuan membuat lantai dengan cara tersebut diwarisi dari nenek moyang mereka.
Seluruh bahan bangunan (seperti kayu dan bambu) untuk membuat rumah adat Sasak didapatkan dari lingkungan sekitar mereka, bahkan untuk menyambung bagian-bagian kayu tersebut, mereka menggunakan paku yang terbuat dari bambu. Rumah adat suku Sasak hanya memiliki satu pintu berukuran sempit dan rendah, dan tidak memiliki jendela.
Dalam masyarakat Sasak, rumah berada dalam dimensi sakral (suci) dan duniawi secara bersamaan. Artinya, rumah adat Sasak disamping sebagai tempat berlindung dan berkumpulnya anggota keluarga juga menjadi tempat dilaksanakannya ritual-ritual sakral yang merupakan manifestasi dari keyakinan kepada Tuhan, arwah nenek moyang (papuk baluk), epen bale (penunggu rumah), dan sebaginya. Perubahan pengetahuan masyarakat, bertambahnya jumlah penghuni dan berubahnya faktor-faktor eksternal lainya (seperti faktor keamanan, geografis, dan topografis) menyebabkan perubahan terhadap fungsi dan bentuk fisik rumah adat. Hanya saja, konsep pembangunannya seperti arsitektur, tata ruang, dan polanya tetap menampilkan karakteristik tradisionalnya yang dilandasi oleh nilai-nilai filosofis yang ditransmisikan secara turun temurun.
Untuk menjaga lestarinya rumah adat mereka dari gilasan arsitektur modern, para orang tua biasanya mengatakan kepada anak-anaknya yang hendak membangun rumah dengan ungkapan: "Kalau mau tetap tinggal di sini, buatlah rumah seperti model dan bahan bangunan yang sudah ada. Kalau ingin membangun rumah permanen seperti rumah-rumah di kampung-kampung lain pada umumnya, silakan keluar dari kampung ini." Demikianlah cara orang Sasak menjaga eksistensi rumah adat mereka, yaitu dengan cara melembagakan dan mentransmisikan pengetahuan dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Peralatan, Waktu dan Pemilihan Tempat
a. Peralatan untuk Membangun Rumah
Peralatan yang harus dipersiapkan untuk membangun rumah, diantaranya adalah:
Kayu-kayu penyangga Bambu Bedek,bambu untuk dinding Jerami dan alang-alang, digunakan untuk membuat atap Kotaran kerbau atau kuda, sebagai bahan campuran untuk mengeraskan lantai Getah pohon kayu banten dan bajur Abu jerami, digunakan sebagai bahan campuran untuk mengeraskan lantai
b. Waktu Pembangunan Rumah
Rumah mempunyai fungsi penting dalam kehidupan masyarakat Sasak, oleh karena itu perlu perhitungan yang cermat tentang waktu, hari, tanggal dan bulan yang baik untuk memulai pembangunannya. Untuk mencari waktu yang tepat, mereka berpedoman pada papan warige yang berasal dari Primbon Tapel Adam dan Tajul Muluq. Oleh karena tidak semua orang mempunyai kemampuan untuk menentukan hari baik, biasanya orang yang hendak membangun rumah bertanya kepada pemimpin adat.
Orang Sasak di Lombok meyakini bahwa waktu yang baik untuk memulai membangun rumah adalah pada bulan ketiga dan bulan kedua belas penanggalan Sasak, yaitu bulan Rabiul Awal dan bulan Zulhijjah pada kalender Islam. Ada juga yang menentukan hari baik berdasarkan nama orang yang akan membangun rumah. Sedangkan bulan yang paling dihindari (pantangan) untuk membangun rumah adalah pada bulan Muharram dan bulan Ramadlan. Pada kedua bulan ini, menurut kepercayaan masyarakat setempat, rumah yang dibangun cenderung mengundang malapetaka, seperti penyakit, kebakaran, sulit rizqi, dan sebagainya.
c. Pemilihan Tempat
Selain persoalan waktu baik untuk memulai pembangunan, orang Sasak juga selektif dalam menentukan lokasi tempat pendirian rumah. Mereka meyakini bahwa lokasi yang tidak tepat dapat berakibat kurang baik kepada yang menempatinya. Misalnya, mereka tidak akan membangun tumah di atas bekas perapian, bekas tempat pembuangan sampah, bekas sumur, dan pada posisi jalan tusuk sate atau susur gubug. Selain itu, orang Sasak tidak akan membangun rumah berlawanan arah dan ukurannya berbeda dengan rumah yang lebih dahulu ada. Menurut mereka, melanggar konsep tersebut merupakan perbuatan melawan tabu (maliq-lenget).
Bangunan Rumah Adat Suku Sasak
Rumah adat Sasak pada bagian atapnya berbentuk seperti gunungan, menukik ke bawah dengan jarak sekitar 1,5 sampai 2 meter dari permukaan tanah (fondasi). Atap dan bubungannya (bungus) terbuat dari alang-alang, dindingnya dari anyaman bambu (bedek), hanya mempunyai satu berukuran kecil dan tidak ada jendelanya. Ruangannya (rong) dibagi menjadi inan bale (ruang induk) meliputi bale luar (ruang tidur) dan bale dalem berupa tempat menyimpan harta benda, ruang ibu melahirkan sekaligus ruang disemayamkannya jenazah sebelum dimakamkan.
Ruangan bale dalem dilengkapi amben, dapur, dan sempare (tempat menyimpan makanan dan peralatan rumah tangga lainnya) terbuat dari bambu ukuran 2 x 2 meter persegi atau bisa empat persegi panjang. Kemudian ada sesangkok (ruang tamu) dan pintu masuk dengan sistem sorong (geser). Di antara bale luar dan bale dalem ada pintu dan tangga (tiga anak tangga) dan lantainya berupa campuran tanah dengan kotoran kerbau atau kuda, getah, dan abu jerami. Undak-undak (tangga) di Bale Tani, digunakan sebagai penghubung antara bale luar dan dalem.
Hal lain yang cukup menarik diperhatikan dari rumah adat Sasak adalah pola pembangunannya. Dalam membangun rumah, orang Sasak menyesuaikan dengan kebutuhan keluarga maupun kelompoknya. Artinya, pembangunan tidak semata-mata untuk mememenuhi kebutuhan keluarga tetapi juga kebutuhan kelompok. Karena konsep itulah, maka komplek perumahan adat Sasak tampak teratur seperti menggambarkan kehidupan harmoni penduduk setempat.
Sumber: https://gpswisataindonesia.info/2014/03/rumah-adat-nusa-tenggara-barat-ntb/
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja