Bahasa Koneq-koneqe merupakan khas dari daerah Campalagian.
Sampai saat ini mendengar contoh bahasa koneq-koneqe ditelinga juga belum pernah sama sekali saya dengar, namun dari penelusuran kepustakaan mari kita lihat beberapa contoh bahasa ini :
Itu kutu'o : di situ
Ini kone'e : ada di sini
Riya' koro'o : ada disitu
Panteng : ember
Mio' : kelapa
Cuki : kucing
Maca'bu ; harum; wangi
Maca'bu : manis
Sapapaummu :
Sa'buloako : {kasar}
Pole : datang
Allao : pergi
Ammuning : kembali; pulang
Allao lauling : pergi pulang
Allao leleng : bepergian
Aghama : ada apa
Pole indoko : dari mana [kasar]
Pole inrokie : dari mana [halus]
Accaule : bermain
Meskipun saya bukan ahli bahasa tapi coba kita lihat perbedaan bahasa nya dengan bahasa Mandar. Ada kata yang berbeda walaupun ada juga kata yang sedikit sama. Bahasa koneq-koneqe menurut sejarah memang bukan merupakan bahasa Mandar. Bahasa ini adalah bahasa bugis yang masuk dalam penggolongan dialek dengan urutan ketujuh, entah urutan sebelumnya dialek apa, saya juga tidak melakukan penelusuran lebih jauh. Namun bahasa ini berkembang di wilayah Mandar (Campalagian) dengan latar belakang sejarah panjang sekelompok penduduk di masyarakat Bugis yang mengungsi kedalam wilayah kerajaan Balanipa.
Sejarah Bahasa koneq-koneqe
Sejarah bahasa ini melibatkan suku Bugis yang berpindah masuk kedalam wilayah kerajaan Balanipa pada suatu masa oleh karena perpecahan di daerah Cempalagi, hingga terdapat beberapa kelompok yang terusir dari Cempalagi dan masuk ke wilayah Mandar. Berikut ini adalah sejarah bahasa koneq-koneqe yang dituturkan oleh alm. Prof. Darmawan Mas'ud, ahli sejarah seputar Mandar.
Dahulu, terdapat kampung yang bernama Cempalagi di Bone, Sulawesi Selatan, yang didiami oleh masyarakat Bugis. Saat itu masih jaman kerajaan, suatu hari terjadi perebutan kekuasaan antara kakak beradik yang ingin menggantikan tahta ayahnya sebagai raja yang telah meninggal. Pemilihan pun dilakukan, namun karena sang kakak mempunyai watak keras, sombong dan serakah maka tidak ada rakyat yang mendukung. Sebaliknya sang adik yang baik hati dan dermawan didukung penuh oleh rakyat di Cempalagi. Sang kakak pun marah karena tidak terima dikalahkan oleh adik kandungnya sendiri. Ia pun berniat membunuh sang adik. Berkat ketulusan sang adik, ia berniat untuk mundur menjadi raja dan menerima kalau kakaknya yang menjadi raja. Namun sang kakak sudah kadung marah, sehingga ia tetap tidak terima keputusan adiknya itu. Akhirnya sang adik dan semua rakyat yang mendukungnya memutuskan untuk kabur dari desa Campalagi menuju daerah yang aman. Sang kakak ternyata tetap mengejar karena dendam terhadap adik dan semua rakyat yang ikut dengan adiknya.
Akhirnya sang adik tiba di perbatasan Kerajaan Balanipa (yang saat itu dibatasi oleh jembatan Mapilli) berharap akan mendapat perlindungan dari Raja Balanipa karena ia tau kakaknya tidak mungkin masuk ke kekuasaan kerajaan lain. Dan ternyata sang adik dan pengikutnya disambut baik oleh Raja Balanipa.
Selang beberapa lama Raja Balanipa akhirnya memutuskan untuk memberikan satu wilayahnya kepada sang adik dan pengikutnya asalkan mereka mau tetap tinggal di Balanipa. Sang adik dan pengikutnya setuju dan gembira dengan keputusan Raja Balinpa tersebut. Akhirnya mereka semua tinggal dan menetap di Balanipa dan wilayah itu diberi nama Campalagian.
Dari petikan sejarah seputar bahasa koneq-koneqe diatas tergambar bahwa ada pencampuran budaya bahasa yang berasal dari Bugis dengan Mandar. Di desa Bonde (Kampung Masigi) bahasa ini mungkin akan sering didengarkan, namun perlahan mulai terkikis dan beranjak punah, penuturnya sudah semakin sedikit. Penutur bahasa koneq-koneqe juga ditemukan di desa Parappeq atau Banua Baru, desa Passairang, desa Katumbangan Lemo, desa Buku, dan desa Panyampa
Orang-orang yang menggunakan bahasa ini juga mampu memakai bahasa Mandar sebagai bahasa yang mayoritas dipakai di Campalagian, jadi disaat anda berbicara dengan menggunakan bahasa Mandar maka mereka akan mengerti dan dapat membalas anda dengan bahasa Mandar, namun jika anda mahir berbahasa Mandar, belum tentu anda mampu berbahasa koneq-koneqe.
Sama halnya dengan bahasa daerah maka bahasa ini juga perlahan mulai hilang, dan sangat sedikit digunakan. Walaupun bukan bahasa Mandar namun bahasa koneq-koneqe memperkaya bahasa yang ada dan lestari di daerah Mandar. Jika anda mendengar bahasa ini maka dialeknya pun memiliki intonasi yang khas, seru untuk didengarkan.
Source: http://www.kompadansamandar.or.id/artikel/314-bahasa-koneq-koneqe-akulturasi-budaya-bugis-di-daerah-mandar.html
BAHAN-BAHAN 1 ikat kangkung bumbu halus : 5 siung bawang merah 2 siung bawang putih 2 butir kemiri 1 sdt ketumbar bubuk seruas kencur aromatic : 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk 1 btg sereh seruas lengkuas,geprek seasoning : 1 sdt garam (sesuai selera) 1/2 sdt kaldu bubuk 1/2 sdm gula jawa sisir 1 sdt gula pasir Rose Brand 1 bungkus santan cair instan Rose Brand 1 liter air 3 sdm minyak goreng untuk menumis CARA MEMASAK: Siangi kangkung cuci bersih,tiriskan Haluskan bumbu Tumis bumbu halus hingga harum dengan secukupnya minyak goreng,masukkan aromatic,masak hingga layu,beri air 1 lt Masukkan kangkung,beri seasoning,aduk rata Koreksi rasa Sajikan Sumber: https://cookpad.com/id/resep/25030546?ref=search&search_term=kangkung
Bahan: 1 buah tomat, potong dadu 2 ekor ikan tongkol ukuran sedang (1/2kg) 1/2 bks bumbu marinasi bubuk 1 sdt bawang putih Secukupnya garam Secukupnya gula 7 siung bawang merah, iris 5 buah cabe rawit, iris 2 batang sereh, ambil bagian putihnya, iris 3 lembar daun jeruk, iris tipis-tipis 1 bks terasi ABC Minyak untuk menumis Secukupnya air Cara memasak: Cuci bersih ikan tongkol. Taburi bumbu marinasi desaku, garam secukupnya, air 2 sdm ke ikan tongkol. Siapkan bahan-bahan. Iris tipis bawang merah, daun jeruk, seret, cabe rawit. Kukus ikan tongkol selama 10 menit. Lapisi dengan daun pisang atau daun kunyit. Boleh jg tidak d lapisi. Setelah ikan di kukus, goreng ikan. Tumis bawang merah dan bahan lainnya. Masukkan terasi yg telah dihancurkan. Setelah matang, masukkan ikan yang telah digoreng. Aduk hingga rata. Sajikan dengan nasi hangat. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/24995999?ref=search&search_term=dabu+dabu
Bahan-bahan Porsi 2 orang Bumbu Ikan bakar : 2 ekor ikan peda 1 sdm kecap 1/2 sdm Gula merah 1/2 sdt garam Minyak goreng Bahan sambal dabu-dabu : 7 buah cabe rawit merah, iris kecil 1 buah tomat merah, iris dadu 3 siung bawang merah,iris halus 2 lembar daun jeruk, buang tulang tengah daun, iris tipis 2 sdm minyak goreng panas Cara Membuat: Marinasi ikan dengan air perasan jeruk nipis dan garam secukupnya, diamkan 20 menit, kemudian panggang diatas teflon(aku di happycall yang dialasi daun pisang) sesekali olesi minyak plus bumbu ke ikannya(aku pakai bumbu kecap dan gula merah) panggang sampai matang. Cara bikin Sambal dabu-dabu : Campurkan semua bahan sambal dabu-dabu ke dalam mangkok kecuali minyak kelapa, panaskan minyak kelapa, kemudian siram diatas sambal tadi, sajikan ikan peda bakar dengan sambal dabu-dabu. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/15232544?ref=search&search_term=peda+bakar
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.