Dahulu kala di desa Penarun, tanah Gayo, hiduplah sebuah keluarga yang terdiri dari seorang ayah, ibu dan dua orang anaknya. Anaknya yang tertua kira-kira berumur 7 tahun, sedangkan adiknya masih menyusu.
Kehidupan keluarga itu sangat miskin. Sang ayah mata pencahariannya adalah bertani. Pada saat yang senggang, setelah mengerjakan sawahnya, ia selalu berburu ke hutan. Di samping itu, ia banyak menangkap belalang di sawah untuk dijadikan makanan.
Di saat berburu ia tidak berhasil memperoleh hasil buruan, ditangkapnya belalang-belalang sedikit demi sedikit yang kemudian dimasukkan ke dalam lumbung padi yang kebetulan kosong karena musim paceklik.
Suatu hari sang ayah pergi berburu ke hutan, saat itupun memang sedang musim paceklik. Sementara di rumah, tinggallah istri dengan kedua anaknya.
Ketika saat makan tiba, anaknya yang besar merajuk karena tidak ada ikan sebagai lauk nasinya, juga tidak tersedia pauk lainnya di rumah itu. Anak itu terus merengek-rengek, sehingga membuat sang ibu menjadi sedih hatinya. Akhirnya ia memerintahkan agar anaknya mengambil sendiri belalang yang ada di dalam lumbung.
Kemudian pergilah si anak ke lumbung dengan hati yang gembira untuk mengambil beberapa ekor belalang. Tetapi ketika ia membuka pintu lumbung kurang hati-hati dan membiarkan pintu lumbung tetap terbuka. Hal itu menyebabkan semua belalang yang ada di dalam lumbung terbang ke luar semuanya.
Si ibu menjadi terkejut dan sedih melihat kejadian tersebut. Karena keteledoran anaknya menyebabkan semua belalang yang ada di dalam lubang kabur semua. Padahal suaminya bersusah payah dalam mengumpulkannya. Ia tidak dapat membayangkan betapa akan marah besar suaminya nanti.
Ketika sang ayah pulang berburu, ia kelihatan amat kesal dan lelah karena seharian berburu ke hutan tidak mendapatkan hasil buruan seekor pun. Kekesalan dan kekecewaannya itu berubah menjadi kemarahan ketika istrinya mengatakan bahwa semua belalang yang ada di lumbung lepas terbang.
Kemarahan sang ayah memuncak manakala diingatnya betapa lama ia mengumpulkan belalang-belalang itu. Kini semuanya lenyap karena keteledoran istri dan anaknya. Dalam keadaan lupa diri, sang ayah memukuli istrinya sampai babak belur kemudian menyeretnya ke luar rumah.
Dalam keputusasaannya dan menyesali perbuatan suaminya yang begitu ringan tangan, si ibu meninggalkan rumah sambil merintih kesakitan. Tujuannya adalah ia ingin ke Atu Belah, yang selalu menelan siapa saja yang ingin ditelannya. Keinginan untuk di telan Atu Belah itu dapat terkabul jika seseorang itu menjangin, yaitu mengucapkan kata-kata sambil bernyanyi dalam bahasa Gayo.
Sementara si ibu yang hendak menuju Atu Belah, kedua anaknya terus mengikuti dari kejauhan sambil menangis. Sang kakak menggendong adiknya yang masih kecil.
Sesampainya di depan Atu Belah, si ibu yang malang itu menyanyikan kata-kata bahasa Gayo itu berkali-kali dengan lembut, "Atu Belah, atu bertangkup..ini nge sawah janyinte masa dahulu". Begitulah si ibu menyanyi yang artinya Batu Belah, batu bercakup, sudah tiba janji kita masa lalu.
Perlahan-lahan batu di depan perempuan itu terbuka. Tanpa ragu-ragu lagi si ibu yang putus asa itu masuk ke dalam mulut batu yang menganga lebar. Sedikit demi sedikit tubuh perempuan itu di telan Atu Belah.
Pada saat kedua anak kakak beradik itu tiba di depan Atu Belah, suasana alam di sekitar tempat itu menjadi berubah. Hujan tiba-tiba turun dengan lebatnya yang disertai dengan angin ribut. Bumi terasa bergetar, seakan menyaksikan Atu Belah menelan manusia.
Beberapa saat kemudian semuanya reda. Dengan hati hancur kedua kakak beradik itu hanya dapat melihat rambut ibunya yang tidak tertelan Atu Belah. Kemudian anak yang besar mencabut tujuh helai rambut ibunya untuk dijadikan jimat pelindung mereka berdua.
Sumber:
http://dongengdanceritarakyat.blogspot.com/2013/02/atu-belah-cerita-rakyat-dari-gayo.html
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja