Pada abad ke 15, pesisir utara Jawa Tengah masih banyak terdapat hutan dan rawa-rawa. Warga yang tinggal pinggiran daerah itu pun masih sedikit. Di pesisir yang sekarang menjadi Kabupaten Pemalang itu hiduplah sepasang suami istri, yaitu Kaki dan Nyai Pedaringan.
Walaupun pasangan ini berbeda jauh usianya, namun tidak menghalangi mereka berdua menjalin kasih. Nyai Pedaringan masih sangat muda, sedangkan Ki Pedaringan usianya sudah lebih dari setengah abad.
Pekerjaan Ki Pedaringan adalah bertani, menanam palawija dan semangka. Suatu hari, Nyi pedaringan menyiapkan sarapan di gubuknya, sedangkan Ki Pedaringan bekerja di sawahnya yang jaraknya sangat jauh. Tiba-tiba di gubuknya datang seorang pemuda tampan. Ia meminta agar dijinkan masuk ke dalam gubuk. Pemuda itu dalam keadaan berdarah di lengannya. Nyi Pedaringan kaget melihat darah di lengan pemuda tadi. Seperti ada pusaka kerajaan yang menancap. Dalam hati ia bertanya, “Siapakah orang ini?”
Tak lama kemudian pemuda tadi mengenalkan dirinya. Ternyata dia adalah Pangeran Purbaya. Punggawa Kerajaaan Mataram yang sedang mengemban tugas menumpas pemberontakan yang dipimpin oleh Salingsingan di Cirebon. Salingsingan ingin menguasai Tanah Jawa dari Mataram.
Akhirnya Salingsingan dapat dikalahkan dan Pangeran Purbaya selamat. Dalam perjalanan menuju Mataram, pangeran melihat gubuk dan hendak menghampiri untuk mengobati lukanya. Nyai Pedaringan mencoba mengobati. Tak lama, Pangeran Purbaya berpamitan dan meningalkan sebuah keris sebagai tanda terima kasih. Sang Pangeran berpesan bahwa keris yang bernama Simonglang itu agar dijaga dan dirawat. Diharapkan keris itu dapat menjadi pusaka daerah itu dan yang berhak memiliki adalah anak turun keluarga Pedaringan.
Siapa pun tidak berhak nengambil keris itu kecuali Pangeran Purbaya, atau orang yang jarinya pangkas seperti jari Pangeran Purbaya. Pangeran Purbaya meneruskan perjalanan ke selatan. Di tengah perjalanan, ia harus melewati sungai kecil yang melintang (bahasa Jawa: malang) dari arah timur dan mengalir menuju barat yang lokasinya dekat dengan laut. Dia seperti mendapat ilham dari yang Mahakuasa untuk menamai daerah tersebut Pemalang.
Sore hari, Ki Pedaringan baru sampai di gubuknya. Ki Pedaringan kesal dan heran karena biasanya Nyai Pedaringan membawakan makanan tetapi sampai sore Nyai Pedaringan tidak datang. Kesal menjadi curiga karena melihat Nyi Pedaringan membawa sebuah keris yang biasanya dimiliki oleh seorang lelaki. Nyi Pedaringan menjelaskan dari mana ia mendapatkan keris itu. Tapi, Ki Pedaringan tidak mau menerimanya. Keduanya bertengkar.
Akhirnya Nyi Pedaringan mencabut keris untuk membuktikan rasa cintanya. Ia memotong jarinya. Darah segar mengalir dari jari-jarinya yang lentik. Nyai Pedaringan bersumpah. Jika darah yang ia teteskan di bunga widuri yang putih berubah menjadi ungu pertanda bahwa cintanya masih suci. Bunga widuri itupun berrubah warna menjadi ungu.
Melihat kejadian tadi Ki Pedaringan menyesal dan meminta maaf kepada Nyi Pedaringan. Untuk menebus kesalahannya, Ki Pedaringan menyusul Pangeran Purbaya. Tapi sampai saat itu Ki Pedaringan tidak pernah kembali. Nyai Pedaringan yang di juluki Nyai Widuri hidup sendiri dengan bayi yang masih ada dalam kandunganya. Sampai akhir hayatnya Nyi Pedaringan menjadi janda. Sekarang nama Widuri diabadikan menjadi nama desa tempat Nyai Widuri pernah tinggal.
Sumber : http://sinaubudayajawa.blogspot.co.id/2013/07/asal-usul-pantai-widuri.html
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja