Kota Ende di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), Indonesia yang dikenal saat ini memiliki rekam jejak dan sejarah yang panjang. Dalam buku sejarah Kota Ende yang ditulis F.X Soenaryo, dkk di halaman 29 menyebutkan bahwa kata Ende diperkirakan berasal dari kata cindai. Dalam kamus disebutkan cindai adalah nama kain sutera yang berbunga-bunga. Pendapat lain mengatakan kemungkinan Ende berasal dari kata Cinde, yaitu nama sejenis ular sawa. Sawa adalah ular yang agak besar (pyton) di antaranya Sawa Rendem, Sawa Batu dan Sawa Cindai. Jadi ular Sawa Cindai ialah ular yang kulitnya berbunga bunga seperti warna cndai.
Menurut cerita yang ada di daerah Kota Jogo, Kinde dan Wewa Ria yaitu wilayah Mautenda di sana banyak ular sawa yang disebut Sawa Lero atau Python reticulatus. Ular ini disamakan dengan Sawa Cindai. Jadi pada awalnya penduduk setempat hanya mengenal Sawa Lero, kemudian orang-orang Melayu dan pendatang dari Goa, Makassar, Bajo, Bima menyebut Sawa Cindai sesuai dengan nama yang mereka kenal di daerah asalnya.
Lama kelamaan penduduk juga menyebut Sawo Lero itu Sawa Cindai. Berdasarkan cerita lisan dikatakan bahwa di masa lampau disebutkan ada ular ajaib di Gunung Meja atau Gunung Pui dan di Nusa Cilik yaitu Nusa Songo di Nusa Eru Mbinge. Di sekitar Kaburia, nama tempat, nama Ciendeh, Cinde, Kinde, dan Sinde seperti : Pulau Ciendeh, Tanjung Ciendeh dan Pelabuhan Ciende (Schetskaart van de Onderafdeeling Endeh,1918)
Selanjutnya nama tersebut di atas digunakan untuk nama kota, teluk dan Nusa Ende yang pada awalnya disebut Endeh, kemudian menjadi Ende. Hingga kini belum dapat dipastikan kebenarannya apakah nama Endeh, Ende itu berhubungan dengan nama Sawa Cindai. Tentu disebabkan adanya banyak perubahan dalam ucapan. Jadi nama nama Cendau, Cindau, Sandau, Ciendeh, Cinde, Kinde, Sinde, Endeh dan Ende adalah nama yang setingkat, dilihat dari nama yang beretimologi sama yaitu dari istilah Cindai atau Sawa Cindai.
Guna meneliti perkembangan cara penulisan nama Ende, telah dikemukakan dalam beberapa tulisan, Van Suchtelen yang menulis nama nama yang berkualitas dengan Ende sebagai berikut . Teluk dan Nusa cilik dekat Kota Jogo dan Mbotu Nita, ditulis dengan ejakan Ciendeh. Teluknya ditulis sebagai Teluk Ciendeh dan Nusa Cilik itu dikenal menjadi Ciendeh. Tulisan dan nama ini digunakan untuk nama tempat tempat di pantai utara. Sedangkan nama nama di pantai selatan yaitu Tanjung, Teluk, Nusa dan Kota, disebut Endeh. Nama Tanjung menjadi Tanjung Endeh, Teluk Endeh, Kota Endeh dan Nusa Eru Mbingu menjadi Nusa Endeh.
Apabila dibandingkan cara penulisan nama nama tempat di Utara dan di Selatan oleh penulis tersebut, ternyata memiliki perbedaan yang relatif kecil atau sama yaitu Ciendeh dan Endeh, sedangkan latar belakang nama itu sama yaitu cindai dalam pengertian Sawa Cindai. Ini berarti sama sama berlatar belakang ular sakti (Orinbao, 1969 : 160).
Penulis E.F Kleian seorang Civiel Gezaghebber dari Pulau Solor menulis nama Nusa Eru Mbinge itu menjadi Nusa Endeh, sedangkan nama teluk dekat Kota Jogo ditulis dengan ejakan Cinde (Kleian, 1875: 529 532). Ini berarti huruf h pada kata Ciendeh dan Endeh mulai dihilangkan. Walaupun demikian nama Endeh untuk tulisan Nusa Endeh masih tetap dipertahankan.
Penulis lainnya, C.C.FM. Leroux, menulis nama Ende dengan ejaan yang bermacam-macam sesuai dengan ejaaan yang ada pada sumber yang digunakan. Beberapa tulisan itu antara lain Endeh, Ende, Ynde,Inde, sehingga agak sulit untuk menghubungkan dengan istilah Sawa Cindai. Dilihat dari istilah Endeh masih dapat dihubungkan dengan istilah Ciendeh, sehingga melalui istilah Ciendeh semua istilah yang disampaikan Lerroux dapat dikembalikan pada etimologi yang sama ialah istilah (Sawa) Cindai yang berkaitan dengan ular raksasa (Orinbao, 1969 : 160).
Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Pua Mochsen yang mengatakan kata Ende berasal dari kata Ciendeh yang ada hubungannya dengan kata Cindai dan Cinde yaitu nama kain adat yang terbuat dari sutera yang biasa dipakai oleh penduduk dalam upacara upacara adat. Cindai atau Cinde ini menjadi barang dagangan yang berasal dari India. Dengan demikian diperkirakan Ende berasal dari Cinde dan Cindai yang kemudian berubah menjadi Ciande dan Ciendeh, dan dalam perkembangannya menjadi Ende atau Endeh (Mochsen, 1984: 1).
Dengan adanya hubungan etimologik bagi nama Kota Ende dan Pulau Ende yang disinyalir dari istilah Sawa Cindai, maka dapat diketahui bahwa dalam perjalanan waktu nama Kota Ende dan Nusa Ende telah mengalami penggantian sebutan. Tulisan dan ucapan nama kota dan Nusa Ende sekarang biasa tanpa huruf h, akan tetapi dalam tulisan dan ucapan terjemahan kata Ende dalam ejakan latin masih biasa ditulis dengan huruf h menjadi Endeh.
Sejak masa Portugis penyebutan nama Ende memang tidak konsisten dan ditulis sesuai kemampuan yang mendengar dan sumber yang digunakan sehingga nama Ende kadang kadang ditulis Ende. Orang orang Portugis memberikan nama juga semaunya. Pigafetta menamai Nusa Gede ini Zolot sedangkan nama Zolot yang sebenarnya adalah Nusa Cilik di sebelah timur, itu telah disebutkan dalam Kakawin Negara Kertagama dari Zaman Kerajaan Majapahit seperti telah diuraikan di atas. Pada masa kekuasaan Portugis Nusa Gede disebut Ilha de Larantuca yang diartikan sebagai Nusa Larantuka. Selanjutnya dari pusat pertahanan Portugis di Nusa Cilik Ende, Nusa Gede dinamai Endeh Ilha Grande yang artinya Nusa Gede.
Terlepas dari asal nama Ende yang sampai sekarang belum dapat dipastikan, nama Ende sudah cukup lama dikenal oleh dunia internasional. Hal ini dapat dilihat dalam majalah Belanda BKI jilid ketiga yang terbit tahun 1854, halaman 250 nama Ende sudah disebutkan dengan jelas. Salah satu artikelnya berupa laporan tertulis Predicant (pendeta) Justus Heurnius yang menceritakan keadaan daerah Ende pada masa awal perkembangan agama Kristen dan tentang keadaan di Bali tahun 1638.
Setelah masa penjajahan Belanda Nama Ende yang sering juga ditulis Endeh dikenal sebagai ibukota Afdeeling Flores dan sekaligus ibukota Ondeerafdeeling Ende. Sejak itu nama Ende atau Endeh selalu digunakan dalam buku buku untuk sekolah sekolah Bumi Putera dalam Karesidenan Timor seperti Kitab Pengetahoean dari hal Residen Timoer dan daerah takoeknja karangan Arn. J.H. Van Der Velden yang diterbitkan pada tahun 1914.
Van Suchtelen dalam bukunya berjudul Endeh yang terbit tahun 1921 juga menulis pada tahun 1560 seorang Pater Dominican dari Portugis yaitu Pater Taveira telah membaptis orang orang di Timor dan Endeh sebanyak 5.000 orang lebih. Pada tahun 1570 disebutkan ada bajak laut dari Jawa yang membajak dan membunuh di Pulau Endeh (Suchtelen, 1921:1). Orang orang Kristen mengungsi dan dikumpulkan Pater Simon Pacheo yang mendirikan benteng Fortolessa de Ende Minor di Pulau Ende untuk melindungi para misionaris Dominican dari Solor.
Dengan adanya beberapa tulisan yang menyebutkan nama Ende seperti itu di atas dapat disimpulkan nama Ende sekurang kurangnya sudah sejak tahun 1560 dikenal dan digunakan sampai sekarang.
Sumber:
http://kupang.tribunnews.com/2015/07/27/inilah-asal-usul-nama-kota-ende
1. Rendang (Minangkabau) Rendang adalah hidangan daging (umumnya sapi) yang dimasak perlahan dalam santan dan bumbu rempah-rempah yang kaya selama berjam-jam (4–8 jam). Proses memasak yang sangat lama ini membuat santan mengering dan bumbu terserap sempurna ke dalam daging. Hasilnya adalah daging yang sangat empuk, padat, dan dilapisi bumbu hitam kecokelatan yang berminyak. Cita rasanya sangat kompleks: gurih, pedas, dan beraroma kuat. Rendang kering memiliki daya simpan yang panjang. Rendang adalah salah satu hidangan khas Indonesia yang paling terkenal dan diakui dunia. Berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat, masakan ini memiliki nilai budaya yang tinggi dan proses memasak yang unik. 1. Asal dan Filosofi Asal: Rendang berasal dari tradisi memasak suku Minangkabau. Secara historis, masakan ini berfungsi sebagai bekal perjalanan jauh karena kemampuannya yang tahan lama berkat proses memasak yang menghilangkan air. Filosofi: Proses memasak rendang yang memakan waktu lama mela...
Ayam goreng adalah salah satu menu favorit keluarga yang tidak pernah membosankan. Namun, jika kamu ingin mencoba variasi yang lebih gurih dan harum, ayam goreng bawang putih renyah adalah pilihan yang tepat. Ciri khasnya terletak pada aroma bawang putih yang kuat serta kriukannya yang renyah saat digigit. Resep ini juga sangat mudah dibuat, cocok untuk menu harian maupun ide jualan. Bahan-Bahan Bahan Ayam Ungkep ½ kg ayam (boleh potong kecil agar lebih cepat matang) 5 siung bawang putih 4 siung bawang merah 1 sdt ketumbar bubuk 1 ruas kunyit (opsional untuk warna) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400 ml Bahan Kriuk Bawang 5–6 siung bawang putih, cincang halus 3 sdm tepung maizena ¼ sdt garam ¼ sdt lada Minyak banyak untuk menggoreng Cara Membuat Ungkep ayam terlebih dahulu Haluskan bawang putih, bawang merah, kunyit, dan ketumbar. Tumis sebentar hingga harum. Masukkan ayam, aduk rata, lalu tuang air. Tambahkan garam dan kaldu...
Ayam ungkep bumbu kuning adalah salah satu menu rumahan yang paling praktis dibuat. Rasanya gurih, aromanya harum, dan bisa diolah lagi menjadi berbagai hidangan seperti ayam goreng, ayam bakar, hingga pelengkap nasi kuning. Keunggulan lainnya, resep ini termasuk cepat dan cocok untuk kamu yang ingin memasak tanpa ribet namun tetap enak. Berikut resep ayam ungkep bumbu kuning cepat yang bisa kamu coba di rumah. Bahan-Bahan ½ kg ayam, potong sesuai selera 4 siung bawang putih 5 siung bawang merah 1 ruas kunyit 1 ruas jahe 1 ruas lengkuas (geprek) 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk 1 batang serai (geprek) 1 sdt ketumbar bubuk (opsional) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400–500 ml Minyak sedikit untuk menumis Cara Membuat Haluskan bumbu Blender atau ulek bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, dan ketumbar bubuk (jika dipakai). Semakin halus bumbunya, semakin meresap ke ayam. Tumis bumbu hingga harum Panaskan sedikit m...
Sumber daya air merupakan sebuah unsur esensial dalam mendukung keberlangsungan kehidupan di bumi. Ketersediaan air dengan kualitas baik dan jumlah yang cukup menjadi faktor utama keseimbangan ekosistem serta kesejahteraan manusia. Namun, pada era modern saat ini, dunia menghadapi krisis air yang semakin mengkhawatirkan (Sari et al., 2024). Berkurangnya ketersediaan air disebabkan oleh berbagai faktor global seperti pemanasan, degradasi lingkungan, dan pertumbuhan penduduk yang pesat. Kondisi tersebut menuntut adanya langkah-langkah strategis dalam pengelolaan air dengan memperhatikan berbagai faktor yang tidak hanya teknis, tetapi juga memperhatikan sosial dan budaya masyarakat. Salah satu langkah yang relevan adalah konservasi air berbasis kearifan lokal. Langkah strategis ini memprioritaskan nilai-nilai budaya masyarakat sebagai dasar dalam menjaga sumber daya air. Salah satu wilayah yang mengimplementasikan konservasi berbasis kearifan lokal yaitu Goa Ngerong di kecamatan Rengel,...
Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak,Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman),...