Ada sebuah rumah kecil beratap daun palem duri. Di sekitarnya terdapat beberapa bangunan serupa. Dalam rumah itu tinggallah sepasang suami istri yang sudah lama berumah tangga, tapi belum memiliki anak. Mereka adalah Apa Inda dan Ama Tumina.
Mereka hidup dengan hasil panen padi di ladang, dan menangkap ikan di laut. Apa Inda biasa memasang sero. Bila air laut surut, ikan-ikan akan terperangkap penangkap ikan tradisional yang menyerupai pagar di laut itu.
Hari itu, musim panen bertepatan dengan surutnya air laut. Apa Inda dan istrinya berbagi tugas.
“Bagaimana kalau Apa ke laut dan Ama ke ladang?” usul Apa Inda.
“Baiklah. Hati-hati di jalan,” sahut Ama Tumina.
Dengan wajah riang Apa Inda keluar rumah. Dia menggendong ambong di pundak. Alat itu biasa digunakan untuk membawa ikan-ikannya. Burung-burung berkicau mengiringi langkah. Semilir angin menyapa tetes-tetes keringat.
Di tengah jalan Apa Inda dikejutkan oleh sebatang bambu yang melintang. Kakinya hampir tersandung olehnya.
“Ini bisa mencelakakan orang,” pikirnya.Dengan cekatan dia mengambil, lalu melemparkan bambu itu ke tepi jalan.
Setelah berjalan beberapa meter, sampailah Apa Inda di tepi laut. Ketika mengambil sero, ada bambu lagi di dekatnya. Sungguh aneh. Bambu itu pun memiliki ruas sama dengan bambu sebelumnya. Apa Inda kembali mengambil bambu itu, lalu melemparnya ke laut.
Ikan yang terperangkap sangat banyak. Ambong tidak muat. Apa Inda memakai tali rotan untuk mengikat ikan-ikan lain. Hatinya dipenuhi kebahagiaan. Awan di langit seolah ikut tersenyum mengucapkan selamat. Wajah Apa Inda terlihat lebih ceria dibanding saat berangkat.
Apa Inda mengatur napas. Langkahnya mulai pelan. Di tengah jalan menuju pulang, sebatang bambu kembali melintang.
“Ah, kebetulan sekali!” seru Apa Inda. “Aku bisa menggunakannya untuk memikul ikan-ikan ini. Sepertinya ini bambu yang sama?”
Apa Inda sampai di rumah. Dia menceritakan kejadian yang dialaminya pada Ama Tumina. Wanita berambut legam digelung itu menyimak dengan serius. Dia pun tidak membuang bambu, tetapi meletakkannya di atas pakaian yang dijemur. Dengan begitu, jemurannya tidak terbang saat angin bertiup kencang.
Ama Tumina memijit kaki suaminya di depan rumah. Mereka terkantuk-kantuk karena belaian angin yang berembus. Beberapa kali mereka menguap.
“Andai saja ada seorang anak.” Demikian batin Ama Tumina sering berucap.
Duar! Apa Inda dan istrinya melonjak. Seketika, hilanglah kantuk mereka.
“Ada apa ini?” Apa Inda menatap bambu di tengah jemuran. Ama Tumina mendekati bambu itu perlahan. Bambu terbelah diiringi cahaya berkilauan.
Oee … Oee!
“Bayi?” Ragu-ragu Ama Tumina mengambil sesosok bayi yang terbaring di dekat bambu itu. Lalu dia memandikannya dengan penuh kasih sayang. Bayi mungil itu menangis. Ama Tumina menimangnya sambil berdendang.Bayi itu pun mulai diam lalu tertidur dengan tenang. Apa Inda dan Ama Tumina memberinya nama Puteri Pinang Gading.
Dua puluh satu tahun berlalu. Puteri Pinang Gading sedang memanah binatang buruan di hutan. Tiba-tiba para penduduk berlarian tak tentu arah. Tampak seekor burung raksasa menyambar-nyambarkan sayap. Pohon-pohon yang terkena kepaknya tumbang. Beberapa atap rumah terbang. Jerit dan tangis yang bersahutan terdengar memilukan.
“Puteriii!” Ama Tumina berlari ke arah puterinya. Apa Inda menyusul di belakang.
“Pulanglah, Nak. Ini sangat berbahaya. Kami tidak mau kehilangan kamu!” Ama menangis.
“Apa … Ama … Izinkan saya melawan burung itu,” pinta Puteri Pinang Gading.
Kedua orang tuanya diam. Mereka tahu bahwa Puteri Pinang Gading sangat lihai memanah. Bahkan, para laki-laki di kampung ini pun kalah.
“Hati-hatilah, Sayang,” ucap Ama Tumina. Apa Inda hanya mengangguk. Mereka lalu pulang.
Di kampung, orang-orang menutup pintu rumah mereka rapat. Wajah-wajah tampak pucat. Anak kecil menggigil ketakutan.
Puteri Pinang Gading bersembunyi di balik pohon besar. Dia menunggu burung itu lengah. Pada hitungan ketiga, gadis cantik yang pemberani itu melepaskan anak panahnya. Terlambat! Puteri melihat burung menyambar seorang penduduk yang belum masuk rumah. Alangkah sedih hati sang puteri.
Kali ini Puteri Pinang Gading melihat lebih jeli posisi burung raksasa. Dia menarik busurnya lalu membidikkan panah beracun ke dada burung itu. Tepat! Burung itu terjatuh, menggelepar, lalu tidak bergerak lagi. Burung itu sudah mati.
Seorang penduduk mulai berani keluar mendekati Puteri Pinang Gading. Pintu-pintu rumah mulai dibuka. Orang-orang yang tadinya hanya mengintip dari balik lubang kecil dinding rumah, sekarang berwajah cerah. Mereka berterima kasih kepada Puteri Pinang Gading.
Apa Inda dan Ama Tumina menatap anak gadis mereka. Rambutnya yang legam sepinggang tertiup angin. Sorot mata bening, dua pipi merekah, dan senyum terkembang seolah menyihir siapa pun yang melihatnya.
Konon, tempat terjatuhnya burung berubah menjadi tujuh anak sungai. Anak panah yang menancap di dada burung itu tumbuh menjadi serumpun bambu. Dulu ada seorang nelayan yang menebang sebatang bambu untuk dijadikan batang pancing. Sungguh malang, dia tersayat, lalu langsung meninggal karena bambu itu ternyata beracun.
Masyarakat menamakan bambu itu Bulo Berantu atau bambu beracun. Bila disatukan menjadi menjadi Bulantu. Sekarang telah berkembang menjadi Membalong, nama sebuah kecamatan di Belitung.
Sumber: http://indonesianfolktales.com/id/book/asal-usul-kampung-bulantu/
BAHAN-BAHAN 1 ikat kangkung bumbu halus : 5 siung bawang merah 2 siung bawang putih 2 butir kemiri 1 sdt ketumbar bubuk seruas kencur aromatic : 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk 1 btg sereh seruas lengkuas,geprek seasoning : 1 sdt garam (sesuai selera) 1/2 sdt kaldu bubuk 1/2 sdm gula jawa sisir 1 sdt gula pasir Rose Brand 1 bungkus santan cair instan Rose Brand 1 liter air 3 sdm minyak goreng untuk menumis CARA MEMASAK: Siangi kangkung cuci bersih,tiriskan Haluskan bumbu Tumis bumbu halus hingga harum dengan secukupnya minyak goreng,masukkan aromatic,masak hingga layu,beri air 1 lt Masukkan kangkung,beri seasoning,aduk rata Koreksi rasa Sajikan Sumber: https://cookpad.com/id/resep/25030546?ref=search&search_term=kangkung
Bahan: 1 buah tomat, potong dadu 2 ekor ikan tongkol ukuran sedang (1/2kg) 1/2 bks bumbu marinasi bubuk 1 sdt bawang putih Secukupnya garam Secukupnya gula 7 siung bawang merah, iris 5 buah cabe rawit, iris 2 batang sereh, ambil bagian putihnya, iris 3 lembar daun jeruk, iris tipis-tipis 1 bks terasi ABC Minyak untuk menumis Secukupnya air Cara memasak: Cuci bersih ikan tongkol. Taburi bumbu marinasi desaku, garam secukupnya, air 2 sdm ke ikan tongkol. Siapkan bahan-bahan. Iris tipis bawang merah, daun jeruk, seret, cabe rawit. Kukus ikan tongkol selama 10 menit. Lapisi dengan daun pisang atau daun kunyit. Boleh jg tidak d lapisi. Setelah ikan di kukus, goreng ikan. Tumis bawang merah dan bahan lainnya. Masukkan terasi yg telah dihancurkan. Setelah matang, masukkan ikan yang telah digoreng. Aduk hingga rata. Sajikan dengan nasi hangat. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/24995999?ref=search&search_term=dabu+dabu
Bahan-bahan Porsi 2 orang Bumbu Ikan bakar : 2 ekor ikan peda 1 sdm kecap 1/2 sdm Gula merah 1/2 sdt garam Minyak goreng Bahan sambal dabu-dabu : 7 buah cabe rawit merah, iris kecil 1 buah tomat merah, iris dadu 3 siung bawang merah,iris halus 2 lembar daun jeruk, buang tulang tengah daun, iris tipis 2 sdm minyak goreng panas Cara Membuat: Marinasi ikan dengan air perasan jeruk nipis dan garam secukupnya, diamkan 20 menit, kemudian panggang diatas teflon(aku di happycall yang dialasi daun pisang) sesekali olesi minyak plus bumbu ke ikannya(aku pakai bumbu kecap dan gula merah) panggang sampai matang. Cara bikin Sambal dabu-dabu : Campurkan semua bahan sambal dabu-dabu ke dalam mangkok kecuali minyak kelapa, panaskan minyak kelapa, kemudian siram diatas sambal tadi, sajikan ikan peda bakar dengan sambal dabu-dabu. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/15232544?ref=search&search_term=peda+bakar
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.