Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Legenda Kepulauan Bangka Belitung Belitung
Asal Usul Kampung Bulantu - Belitung - Bangka Belitung
- 29 Maret 2018

Ada sebuah rumah kecil  beratap daun palem duri.  Di sekitarnya terdapat beberapa bangunan serupa. Dalam rumah itu tinggallah sepasang suami istri yang sudah lama berumah tangga, tapi belum memiliki anak. Mereka adalah Apa Inda dan Ama Tumina.

Mereka hidup dengan hasil panen padi di ladang, dan menangkap ikan di laut. Apa Inda biasa memasang sero. Bila air laut surut, ikan-ikan akan terperangkap penangkap ikan tradisional yang menyerupai pagar di laut itu.

Hari itu, musim panen bertepatan dengan surutnya air laut. Apa Inda dan istrinya berbagi tugas.

“Bagaimana kalau Apa ke laut dan  Ama ke ladang?” usul Apa Inda.

“Baiklah. Hati-hati di jalan,” sahut Ama Tumina.

Dengan wajah riang Apa Inda keluar rumah. Dia menggendong ambong di pundak.  Alat itu biasa digunakan untuk membawa ikan-ikannya. Burung-burung berkicau mengiringi langkah. Semilir angin menyapa tetes-tetes keringat.

Di tengah jalan Apa Inda dikejutkan oleh sebatang bambu yang melintang. Kakinya hampir tersandung olehnya.

“Ini bisa mencelakakan orang,” pikirnya.Dengan cekatan dia mengambil, lalu melemparkan bambu itu ke tepi jalan.

Setelah berjalan beberapa meter, sampailah Apa Inda di tepi laut. Ketika  mengambil sero, ada bambu lagi di dekatnya. Sungguh aneh. Bambu itu pun memiliki ruas sama dengan bambu sebelumnya. Apa Inda kembali mengambil bambu itu, lalu melemparnya ke laut.

Ikan yang terperangkap sangat banyak. Ambong tidak muat. Apa Inda memakai tali rotan untuk mengikat ikan-ikan lain. Hatinya dipenuhi kebahagiaan. Awan di langit seolah ikut tersenyum mengucapkan selamat. Wajah Apa Inda terlihat lebih ceria dibanding saat berangkat.

Apa Inda mengatur napas. Langkahnya mulai pelan. Di tengah jalan menuju pulang, sebatang bambu kembali melintang.

“Ah, kebetulan sekali!” seru Apa Inda. “Aku bisa menggunakannya untuk memikul ikan-ikan ini. Sepertinya ini bambu yang sama?”

Apa Inda sampai di rumah. Dia menceritakan kejadian yang dialaminya pada Ama Tumina.  Wanita berambut legam digelung itu menyimak dengan serius. Dia pun tidak membuang bambu, tetapi meletakkannya di atas pakaian yang dijemur. Dengan begitu, jemurannya tidak terbang saat angin bertiup kencang.

Ama Tumina memijit kaki suaminya di depan rumah. Mereka terkantuk-kantuk karena belaian angin yang berembus. Beberapa kali mereka menguap.

“Andai saja ada seorang anak.” Demikian batin Ama Tumina sering berucap.

Duar! Apa Inda dan istrinya melonjak. Seketika, hilanglah kantuk mereka.

“Ada apa ini?” Apa Inda menatap bambu di tengah jemuran. Ama Tumina mendekati bambu itu perlahan. Bambu terbelah diiringi cahaya berkilauan.

Oee … Oee!

“Bayi?” Ragu-ragu Ama Tumina mengambil sesosok bayi yang terbaring di dekat bambu itu. Lalu dia memandikannya dengan penuh kasih sayang. Bayi mungil itu menangis. Ama Tumina menimangnya sambil berdendang.Bayi itu pun mulai diam lalu tertidur dengan tenang. Apa Inda dan Ama Tumina memberinya nama Puteri Pinang Gading.

Dua puluh satu tahun berlalu. Puteri Pinang Gading sedang memanah binatang buruan di hutan. Tiba-tiba para penduduk berlarian tak tentu arah. Tampak seekor burung raksasa menyambar-nyambarkan sayap. Pohon-pohon yang terkena kepaknya tumbang. Beberapa atap rumah terbang. Jerit dan tangis yang bersahutan terdengar memilukan.

“Puteriii!” Ama Tumina berlari ke arah puterinya. Apa Inda menyusul di belakang.

“Pulanglah, Nak. Ini sangat berbahaya. Kami tidak mau kehilangan kamu!” Ama menangis.

“Apa … Ama … Izinkan saya melawan burung itu,” pinta Puteri Pinang Gading.

Kedua orang tuanya diam. Mereka tahu bahwa Puteri Pinang Gading sangat lihai memanah. Bahkan, para laki-laki di kampung ini pun kalah.

“Hati-hatilah, Sayang,” ucap Ama Tumina. Apa Inda hanya mengangguk. Mereka lalu pulang.

Di kampung, orang-orang menutup pintu rumah mereka rapat. Wajah-wajah tampak pucat. Anak kecil menggigil ketakutan.

Puteri Pinang Gading bersembunyi di balik pohon besar. Dia menunggu burung itu lengah. Pada hitungan ketiga, gadis cantik yang pemberani itu melepaskan anak panahnya. Terlambat! Puteri melihat burung menyambar seorang penduduk yang belum masuk rumah. Alangkah sedih hati sang puteri.

Kali ini Puteri Pinang Gading melihat lebih jeli posisi burung raksasa. Dia menarik busurnya lalu membidikkan panah beracun ke dada burung itu. Tepat! Burung itu terjatuh, menggelepar, lalu tidak bergerak lagi. Burung itu sudah mati.

Seorang penduduk mulai berani keluar mendekati Puteri Pinang Gading. Pintu-pintu rumah mulai dibuka. Orang-orang yang tadinya hanya mengintip dari balik lubang kecil dinding rumah, sekarang berwajah cerah. Mereka berterima kasih kepada Puteri Pinang Gading.

Apa Inda dan Ama Tumina menatap anak gadis mereka. Rambutnya yang legam sepinggang tertiup angin. Sorot mata bening, dua pipi merekah, dan senyum terkembang seolah  menyihir siapa pun yang melihatnya.

Konon, tempat terjatuhnya burung berubah menjadi tujuh anak sungai. Anak panah yang menancap di dada burung itu tumbuh menjadi serumpun bambu. Dulu ada seorang nelayan yang menebang sebatang bambu untuk dijadikan batang pancing. Sungguh malang, dia tersayat, lalu langsung meninggal karena bambu itu ternyata beracun.

Masyarakat menamakan bambu itu Bulo Berantu atau bambu beracun. Bila disatukan menjadi menjadi Bulantu. Sekarang telah berkembang menjadi Membalong, nama sebuah kecamatan di Belitung.



 

Sumber: http://indonesianfolktales.com/id/book/asal-usul-kampung-bulantu/

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Vila Van Resink
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Vila Van Resink adalah bangunan cagar budaya berbentuk vila yang terletak di Jalan Siaga, Kalurahan Hargobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemilik awal vila ini adalah Gertrudes Johannes "Han" Resink, seorang anggota Stuw-groep , sebuah organisasi aktif pada Perang Dunia II yang memperjuangkan kemerdekaan dan pembentukan negara demokratis Hindia Belanda. Bangunan tersebut dibangun pada masa pemerintah Hindia Belanda sebagai bagian dari station hill (tempat tetirah pada musim panas yang berada di pegunungan) untuk boschwezen dienst (pejabat kehutanan Belanda). Pada era Hamengkubuwana VII, kepengelolaan Kaliurang (dalam hal ini termasuk bangunan-bangunan yang berada di wilayah tersebut) diserahkan kepada saudaranya yang bernama Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi. Tanah tersebut lantas dimanfaatkan untuk perkebunan nila, tetapi kegiatan itu terhenti kemudian hari karena adanya reorganisasi pertanian dan ekonomi di Vors...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Gereja Kristen Jawa Pakem Kertodadi
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Gereja Kristen Jawa (GKJ) Pakem Kertodadi adalah salah satu gereja di bawah naungan sinode Gereja Kristen Jawa, yang terletak di Jalan Kaliurang km. 18,5, Padukuhan Kertadadi, Kalurahan Pakembinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Awal mula pertumbuhan jemaat gereja ini berkaitan dengan keberadaan Rumah Sakit Paru-Paru Pakem, cabang dari Rumah Sakit Petronela (Tulung), yang didirikan di wilayah Hargobinangun. Sebelum tahun 1945, kegiatan keagamaan umat Kristen diadakan secara sederhana dalam bentuk renungan atau kebaktian pagi yang berlangsung di klinik maupun apotek rumah sakit yang dikenal dengan nama "Loteng". Para perawat di rumah sakit tersebut juga melakukan pelayanan kesehatan ke dusun-dusun di sekitarnya, yaitu Tanen, Sidorejo, Purworejo, dan Banteng. Menurut Notula Rapat Gerejawi, jemaat gereja ini mengadakan penetapan majelis yang pertama kali pada 21 April 1945. Tanggal tersebut lantas disepakati sebagai hari jadi GKJ Pa...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Situs Cepet Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Situs Cepet Pakem adalah situs arkeologi yang terletak di Padukuhan Cepet, Kalurahan Purwobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan temuan dua buah yoni dan sejumlah komponen arsitektur candi di sekitarnya, situs ini diduga merupakan reruntuhan sebuah candi Hindu dari masa klasik. Lokasinya kini berada di area permakaman umum Padukuhan Cepet, berdekatan dengan sebuah masjid. Benda cagar budaya (BCB) utama yang ditemukan di situs ini adalah dua buah yoni yang terbuat dari batu andesit. Kondisi keduanya telah rusak, sedangkan lingganya tidak ditemukan. Yoni pertama awalnya berada di pekarangan penduduk bernama Pujodiyono, tetapi sekarang dipindahkan di halaman makam. Yoni ini memiliki ukuran relatif besar dengan bentuk yang sederhana, yaitu lebar 134 sentimeter, tebal 115 sentimeter, dan tinggi 88 sentimeter. Bagian bawah cerat yoni tersebut tidak bermotif dan memberikan kesan bahwa pengerjaannya belum selesai. Sementara itu, terdap...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Situs Potro
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Situs Potro atau Pancuran Buto Potro adalah situs arkeologi yang terletak di Padukuhan Potro, Kalurahan Purwobinangun, Kapanewon Pakem, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Situs ini terdiri atas dua benda cagar budaya (BCB) utama yang seluruhnya terbuat dari batu andesit, yaitu jaladwara dan peripih. Jaladwara di situs ini oleh masyarakat setempat dikenal dengan nama Pancuran Buto, karena bentuknya menyerupai kepala raksasa (kala) dengan mulut terbuka, gigi bertaring, dan ukirannya menyerupai naga. Sementara itu, keberadaan peripih berukuran cukup besar di situs ini menimbulkan dugaan bahwa pernah berdiri sebuah bangunan keagamaan di sekitar lokasi, kemungkinan sebuah candi, meskipun bentuk dan coraknya tidak dapat dipastikan karena minimnya artefak yang tersisa.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Sambal Matah
Makanan Minuman Makanan Minuman
Bali

Resep Sambal Matah Bahan-bahan: Bawang Merah Cabai Rawit Daun Jeruk Sereh Secukupnya garam Minyak panas Pembuatan: Cincang bawang merah, cabai rawit, daun jeruk, dan juga sereh Campur semua bahan yang sudah dicincang dalam satu wadah Tambahkan garam secukupnya atau sesuai selera Masukkan minyak panas Aduk semuanya Sambal matah siap dinikmati

avatar
Reog Dev