Suatu hari, pasukan kerajaan Majapahit hendak menyerang kerajaan Pagaruyung, di Sumatera Barat. Tujuan mereka hendak memperluas daerah kekuasaan. Kabar itu terdengar oleh Raja Pagaruyung. Beliau segera mengumpulkan para pegawai istana untuk meminta pendapat.
“Tuan-tuan sekalian, sebagaimana kita ketahui, prajurit Majapahit sudah sampai di Kiliran Jawo. Mereka sudah mendirikan tenda sebagai pusat pertahanan mereka di sana. Sebagai raja Pagaruyung, aku tidak ingin ada pertumpahan darah di kerajaanku. Apa yang harus kita lakukan?” tanya raja setelah semua pegawai istana berkumpul.
Ruangan rapat yang dipenuhi beberapa orang laki-laki itu menjadi hening. Mereka semua terlihat berpikir keras.
“Kita lawan saja menggunakan pasukan gajah dan kuda, yang mulia,” saran salah satu panglima.
“Peperangan adalah kata terakhir yang harus kita lakukan. Apa kalian punya rencana lain selain peperangan? Aku ingin perdamaian. Tapi rasanya mungkin mereka tidak akan mau berdamai,” ucap Raja sambil memegang keningnya. Beliau terlihat berpikir keras.
“Maaf yang mulia, bagaimana kalau kita minta para wanita kerajaan untuk menemui mereka? Kita utus tuan putri sebagai pemimpin pasukan wanita ini,” saran Penasehat Istana.
“Tugas mereka melakukan negosiasi damai. Semoga pasukan Majapahit, mau menerima utusan kita. Karena, hamba rasa, mereka pasti sungkan melawan pasukan wanita,” tambah Penasehat Istana.
“Usulanmu sangat bagus, penasehat,” ucap Raja sambil tersenyum. Beliau yakin, usul itu, akan berhasil. Setidaknya bisa menunda peperangan selama beberapa hari. Jika hal ini gagal, Raja akan berusaha mencari jalan lain selain perang.
“Pengawal, tolong panggil Puti Datuk Tantejo Garhano ke sini!” perintah Raja pada pengawalnya. Salah satu pengawal segera berlari ke ruangan tempat sang putri berada. Pengawal itu langsung meminta putri menghadap baginda raja di ruang pertemuan.
“Baiklah,” jawab Puti. Dia bergegas ke ruang pertemuan menemui ayahnya.
“Ananda, Puti, bersediakah kamu memimpin beberapa wanita untuk melakukan negosiasi ke sana?” tanya Raja setelah menjelaskan rencana beliau.
“Bersedia, Ayahanda,” jawab sang putri mantap.
Keesokan harinya, pasukan wanita yang dipimpin Puti Datuk Tantejo Garhano sudah sampai di Kiliran Jawo. Daerah perbatasan kerajaan Pagaruyung dengan kerajaan Majapahit. Sang putri mengajak serta beberapa dayang dan saudara perempuannya dari lingkungan istana. Mereka membawa makanan yang lezat sebagai hadiah.
Panglima perang kerajaan Majapahit terkejut melihat kedatangan pasukan kecil yang isinya wanita semua.
“Kenapa mereka menyuruh wanita berperang?” batin Raja Majapahit. Karena tak mau bingung terlalu lama, panglima menerima kehadiran mereka.
“Mohon ampun, Tuanku. Kedatangan kami ke sini ingin bernegosiasi.” Puti Datuk Tantejo pun menjelaskan maksud kedatangan mereka.
“Dengan ini, kami mohon agar tuanku bersedia mengganti peperangan dengan adu kerbau.” Puti mengakhiri diplomasinya.
Raja Majapahit terdiam. Lalu dia meminta waktu untuk berunding. Beberapa menit kemudian, Raja Majapahit pun membuat keputusan.
“Baiklah. Tantangan dari raja kalian, kami terima. Jika kerbau kami menang, maka kerajaan Pagaruyung akan menjadi kekuasaan Majapahit. Jika kami kalah, maka kami bersedia meninggalkan kerajaan Pagaruyung.”
Puti Datuk Tantejo Garhano senang mendengarnya. Mereka membuat kesepakatan tentang waktu dan tempat dilaksanakannya adu kerbau. Mereka tidak menentukan jenis kerbau yang akan digunakan dalam pertandingan.
Lalu pasukan wanita itu kembali ke istana mereka. mereka melapor pada Raja. Raja Pagaruyung segera memerintahkan pengawal untuk mencari anak kerbau yang masih menyusu.
Hari yang ditentukan pun tiba. Hampir seluruh rakyat Pagaruyung hadir menyaksikan pertandingan itu. Demikian juga dengan pasukan Kerajaan Majapahit. Mereka membawa kerbau berukuran besar dan kuat ke dalam arena lomba. Mereka yakin, kerbau mereka yang akan memenangkan pertandingan.
Panglima perang Pagaruyung segera mengeluarkan kerbau andalannya. Kerbau kecil itu dibiarkan lapar dan tidak menyusu sebelum pertandingan. Semua penonton terkejut melihat ukuran kerbau yang dibawa panglima.
“Kenapa kerbau kecil yang dibawanya? Apa Raja ingin kita kalah?” gerutu beberapa penonton.
Ketika masuk arena pertandingan, anak kerbau mengamuk karena lapar. Panglima dan beberapa prajurit terlihat kesulitan menahan amukan kerbau kecil.
Peluit panjang tanda pertarungan pun ditiup. Panglima Pagaruyung melepas anak kerbau yang sudah sangat kelaparan. Anak kerbau itu melesat menuju kerbau besar yang dikira induknya. Dia langsung mencari susu di bagian perut kerbau besar. Kerbau besar jadi bingung dan berputar-putar untuk menyerang kerbau kecil. Karena lelah berputar, kerbau besar pun tumbang.
Semua rakyat pagaruyung bersorak gembira menyambut kemenangan itu. Mereka meneriakkan yel-yel, “Manang Kabau! Manang Kabau!”
Sejak saat itu Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya dikenal dengan nama Nagari Minang Kabau.
Sumber: http://indonesianfolktales.com/id/book/asal-mula-nama-nagari-minangkabau/
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja