Sunan Gunung Jati adalah salah satu dari sembilan orang penyebar agama Islam terkenal di Pulau Jawa yang dikenal dengan sebutan Wali Sanga. Kehidupannya selain sebagai pemimpin spriritual, sufi, mubaligh dan dai pada jamannya juga sebagai pemimpin rakyat karena beliau menjadi raja di Kasultanan Cirebon, bahkan sebagai sultan pertama Kasultanan Cirebon yang semula bernama Keraton Pakungwati.
Memasuki kompleks pemakaman anda akan melihat Balemangu Majapahit yang berbentuk bale-bale berundak yang merupakan hadiah dari Demak sewaktu perkawinan Sunan Gunung Djati dengan Nyi Mas Tepasari, putri dari Ki Ageng Tepasan, salah seorang pembesar Majapahit.
Masuk lebih kedalam anda akan melihat Balemangu Padjadjaran, sebuah bale-bale besar hadiah dari Prabu Siliwangi sebagai tanda penghargaan pada waktu penobatan Syarif Hidayatullah sebagai Sultan Kasultanan Pakungwati (cikal bakal kraton di Cirebon).
Makam Sunan Gunung Jati yang terletak di bukit Gunung Sembung hanya boleh dimasuki oleh keluarga Kraton sebagai keturunannya selain petugas harian yang merawat sebagai Juru Kunci-nya. Selain dari orang-orang yang disebutkan itu tidak ada yang diperkenankan untuk memasuki makam Sunan Gunung Jati. Alasannya antara lain adalah begitu banyaknya benda-benda berharga yang perlu dijaga seperti keramik-keramik atau benda-benda porselen lainnya yang menempel ditembok-tembok dan guci-guci yang dipajang sepanjang jalan makam. Keramik-keramik yang menempel ditembok bangunan makam konon dibawa oleh istri Sunan Gunung Djati yang berasal dari Cina, yaitu Putri Ong Tien. Banyak keramik yang masih sangat baik kondisinya, warna dan design-nya sangat menarik. Sehingga dikhawatirkan apabila pengunjung bebas keluar-masuk seperti pada makam-makam wali lainnya maka barang-barang itu ada kemungkinan hilang atau rusak.
Ada 9 pintu yang terdapat dalam Makam Sunan Gunung Jati, yaitu
1)Pintu Gapura
2) Pintu Karpyak (Lawang Karpyak)
Lawang Krapyak, salah satu dari sembilan pintu di kompleks Makam Sunan Gunung Jati Cirebon. Kedelapan pintu gerbang lainnya adalah Lawang Gapura, Lawang Pasujuduan, Lawang Ratnakomala, Lawang Jinem, Lawang Rararoga, Lawang Kaca, Lawang Bacem, dan Lawang Teratai. Sayangnya pengunjung biasa hanya bisa masuk sampai pintu ke-empat di serambi muka Pesambangan. Sedangkan selain bangunan Balemangu Majapahit juga terdapat pendopo lainnya yang bernama Balemangu Padjadjaran. Sesuai namanya, balumangu yang disebut tarkhir itu merupakan hadiah dari Prabu Siliwangi yang diberikan sewaktu penobatan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) sebagai Sultan Kasultanan Pakungwati (sebelum kemudian lebih dikenal dengan nama Keraton Kasepuhan Cirebon).
3) Lawang Pasujudan
Area di depan Lawang Pasujudan Makam Sunan Gunung Jati ini merupakan tempat para peziarah biasa berkumpul dalam kelompok dan secara bersama-sama berzikir dan doa, entah untuk menghormati Sunan Gunung Jati sebagai salah satu Wali Songo, atau karena mereka memiliki keinginan tertentu dan berharap mendapat berkah sang wali.
4)Pintu Ratnakomala
5)Pintu Jinem
6)Pintu Rararoga
7)Pintu Kaca
8)Pintu Bacem
9)Pintu Teratai
Para pengunjung atau peziarah hanya diperkenankan masuk sampai di pintu ke-5 saja.
Para peziarah di Makam Sunan Gunung Jati hanya diperkenankan sampai dibatas pintu serambi muka yang pada waktu-waktu tertentu dibuka dan dijaga selama beberapa menit kalau-kalau ada yang ingin menerobos masuk. Dari pintu yang diberi nama Selamat Tangkep itu terlihat puluhan anak tangga menuju Makam Sunan Gunung Jati.
Para peziarah umum diharuskan masuk melalui gapura sebelah Timur dan langsung masuk pintu serambi muka untuk berpamit kepada salah seorang Juru Kunci yang bertugas. Setelah diijinkan maka peziarah umum dapat menuju ke pintu barat yaitu ruang depan Pintu Pasujudan.
Uniknya didalam kompleks makam Sunan Gunung Jati terdapat kompleks makam warga Tionghoa dibagian barat serambi muka yang dibatasi oleh pintu yang bernama Pintu Mergu. Lokasinya disendirikan dengan alasan agar peziarah yang memiliki ritual ziarah tersendiri seperti warga Tionghoa tidak akan terganggu dengan ritual ziarah pengunjung makam.
Makam Sunan Gunung Jati dibersihkan tiga kali seminggu dan selalu diperbaharui dengan rangkaian bunga segar oleh Juru Kunci yang bertugas. Penggantian bunga dilakukan setiap hari Senin, Kamis dan Jumat. Pada hari Senin dan Kamis petugas akan masuk dari pintu yang disebut dapur Pesambangan, sedangkan pada hari Jumat petugas akan masuk dari pintu tempat masuknya peziarah disiang hari.
Jumlah petugas Makam Sunan Gunung Jati seluruhnya ada 108 orang yang terbagi dalam 9 kelompok masing-masing 12 orang berjaga-jaga secara bergiliran selama 15 hari yang diketuai oleh seorang Bekel Sepuh dan Bekel Anom (merupakan tambahan setelah Kraton Cirebon dipecah menjadi Kraton Kasepuhan dan Kanoman). Mereka yang mengemban tugas tersebut umumnya karena meneruskan tugas dari ayah atau saudara yang tidak mempunyai anak atau bisa juga karena mendapat kepercayaan dari yang berhak. Pada saat mereka diberi amanat mengemban tugas itupun ada serangkaian upacara atau selametan yang harus dilakukan oleh masing-masing orang. Seluruh petugas makam termasuk para Bekel dipimpin oleh seorang Jeneng yang diangkat oleh Sultan.
Adapun riwayat dibalik jumlah 108 berawal dari Pemerintahan Sunan Gunung Djati di Kraton Pakungwati yang pada suatu hari menangkap perahu yang terdampar dengan seluruh penumpang berjumlah 108 orang seluruhnya berasal dari Keling (Kalingga) dan berada dibawah pimpinan Adipati Keling. Orang-orang Keling ini kemudian menyerahkan diri dan mengabdi kepada Sunan Gunung Jati dan dipercaya untuk menetap dan menjaga daerah sekitar pemakaman sampai ke anak cucu. Sebagian masyarakat yang bermukim disekitar kompleks makam adalah keturunan orang-orang Keling tersebut. Oleh karena itu ke-12 orang yang bertugas tersebut mengemban tugas sesuai dengan jenjangnya sebagai awak perahu nelayan seperti juru mudi, pejangkaran dan lain sebagainya.
Selain Sultan dan Juru Kunci yang ditunjuk maka tidak ada lagi orang yang diperkenankan masuk ke makam Sunan Gunung Djati. Konon di sekitar makam Sunan Gunung Djati terdapat pasir Malela yang dibawa langsung dari Mekkah oleh Pangeran Cakrabuana. Pasir ini tidak diperbolehkan dibawa keluar dari kompleks pemakaman. Para Juru Kunci sendiri diharuskan membersihkan kaki-nya sebelum dan sesudah dari makam agar tidak ada pasir yang terbawa keluar. Pelarangan ini sesuai dengan amanat dari Pangeran Cakrabuana sendiri, mungkin karena pada jaman dahulu upaya untuk membawa Pasir Malela dari Mekkah ke kompleks pemakaman teramat berat dan sulit.
Tak jauh dari bangunan makam terdapat masjid yang diberi nama Masjid Sang Saka Ratu atau Dok Jumeneng yang konon dulunya digunakan oleh orang-orang Keling yang pernah memberontak pada Sunan Gunung Djati. Didalam masjid kita bisa melihat Al-Quran yang berusia ratusan tahun dan dibuat dengan tulisan tangan (bukan cetakan mesin).
Ada beberapa sumur disekitar bangunan masjid, yaitu Sumur Kemulyaan, Sumur Djati, Sumur Kanoman dan Sumur Kasepuhan. Masjid ini sendiri memiliki 12 orang Kaum yang pengangkatannya melalui prosedur Kesultanan dengan segala tata cara dan tradisi lama yang masih dijalankan. Ke-12 orang tersebut terdiri dari 5 orang Pemelihara, 4 orang Muadzin, 3 orang Khotib ditambah dengan seorang penghulu atau Imam. Kecuali penghulu mereka bertugas secara bergilir setiap minggu dengan formasi 1 orang pemelihara, 1 orang Muadzin dan 1 orang Khotib.
Ada lagi legenda para wali yang berhubungan dengan Sumur Jalatunda yang berasal dari jala yang ditinggalkan Sunan Kalijaga saat dirinya diperintahkan mencari sumber mata air untuk berwudhu-nya para wali yang pada saat itu sedang mengadakan pertemuan. Sumur Jalatunda ini dikenal dengan Zam-zam-nya Cirebon.
sumber :
www.thearoengbinangproject.com
arney.wordpress.com
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja
Jembatan Plunyon merupakan bagian dari wisata alam Plunyon-Kalikuning yang masuk kawasan TNGM (Taman Nasional Gunung Merapi) dan wisatanya dikelola Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) setempat, yaitu Kalikuning Park. Sargiman, salah seorang pengelola wisata alam Plunyon-Kalikuning, menjelaskan proses syuting KKN Desa Penari di Jembatan Plunyon berlangsung pada akhir 2019. Saat itu warga begitu penasaran meski syuting dilakukan secara tertutup. Jembatan Plunyon yang berada di Wisata Alam Plunyon-Kalikuning di Cangkringan, Kabupaten Sleman. Lokasi ini ramai setelah menjadi lokasi syuting film KKN Desa Penari. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan zoom-in-whitePerbesar Jembatan Plunyon yang berada di Wisata Alam Plunyon-Kalikuning di Cangkringan, Kabupaten Sleman. Lokasi ini ramai setelah menjadi lokasi syuting film KKN Desa Penari. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan "Syuting yang KKN itu kebetulan, kan, 3 hari, yang 1 hari karena gunungnya tidak tampak dibatalkan dan diu...