Perkawinan dalam masyarakat Muna sangat unik yang berbeda dengan Suku lainnya di Indonesia. Sistem perkawinan ini telah ada semenjak dahulu kala sebelum masuknya agama Islam di Muna. Setelah datangnya Islam dan diterimanya agama ini oleh seluruh rakyat Muna, sistem perkawinan yang dahulunya tetap tidak berubah terutama yang berhubungan dengan masalah mahar (mas kawin). Yang berubah hanyalah proses ijab kabul-nya saja yang mengikuti ajaran Islam sebagai perkawinan dalam Islam.
Pada suatu ketika salah seorang Cucu Raja La Ode Husein (La Ode Husein bergelar Omputo Sangia) yang bernama Wa Ode Kadingke (Putri La Ode Zainal Abidin yang menjadi Kapitalau Lasehao, mungkin semacam Adipati di Jawa) menikah dengan orang Asing (Suku Bugis). Perkawinan tersebut ditantang keras oleh Raja Muna yang saat itu bernama La Ode Sumaili yang tidak lain adalah saudara sepupu Wa Ode Kadingke. Alasan Raja menentang perkawinan tersebut adalah bertentangan dengan syariat Islam. Akan tetapi Wa Ode Kadingke yang tidak lain adalah cucu Raja, tidak menerima hal itu dan mengatakan kepada Raja La Ode Sumaili bahwa perkawinan dalam Islam yang dilihat hanyalah pada sisi ketakwaannya dalam arti seiman dalam Islam dan perkawinan tersebut tetap dilanjutkan sebab Wa Ode Kadingke juga mendapat restu sekaligus dukungan dari Sultan Buton.
Karena Raja menentang terus perkawinan tersebut, maka Wa Ode Kadingke menyatakan bahwa La Ode Sumaili harus diperangi, yang pada akhirnya perang tidak dapat dielakkan. Perang pun terjadi dan pasukan Wa Ode Kadingke yang dibantu oleh pasukan bantuan dari Kesultanan Buton mengalahkan La Ode Sumaili. Dari kekalahan ini, La Ode Sumaili ditangkap
dan diberi hukuman cambuk sampai mati sehinngga setelah wafat diberi gelar Omputo Ni Sombo (Raja yang dihukum cambuk).
Dengan wafatnya Raja, maka Dewan Sara Muna (semacam DPR di Negara kita sekarang ini) memutuskan mengangkat Anak Wa Ode Kadingke dengan Daeng Marewa yang bernama La Ode Saete menjadi Raja Muna namun karena masih kecil (kanak-kanak) maka diputuskan bahwa yang memangka Jabatan Raja sementara adalah Bonto Balano (Perdana Menteri) dan jika raja telah dewasa, maka Jabatan raja secara otomatis akan diberikan kepada La Ode Saete.
Raja La Ode Sumaili menentang perkawinan karena menurutnya bertentangan dengan syariat Islam, padahal sebenarnya Raja tahu bahwa jika telah seiman sebenarnya perkawinan tetap dapat dilangsukan. Namun banyak kalangan menduga bahwa pertentangan antara Raja La Ode Sumaili dengan Wa Ode Kadingke adalah masalah adat saja sebab kemungkinan saat itu adat perkawinan dalam masyarakat muna belum mengatur perkawinan dengan suku asing.
Walaupun penulis tidak tahu secara pasti, akan tetapi menurut cerita orang tua, Dewan Sara mengadakan sidang adat muna di mana ketetapan tersebut berlaku hingga sekarang. Dalam masyarakat Muna mengenal juga sistem stratifikasi social sebagai mana dalam Agama Hindu. Sistem Stratifikasi tersebut ditetapkan pada masa Raja Sugi Manuru (Raja Muna VI ayah dari La Kila Ponto yang pernah menjadi Raja Konawe, lalu Raja Muna dan menjadi Sultan Buton). Raja Sugi Manuru adalah sang raja besar yang sering melakukan perjalanan ke kerajaan-kerajaantetangga misalnya Buton, Konawe, bahkan sampai ke Ternate. Dalam kunjungannya ke Ternate, Raja Sugi Manuru kawin denganputri Raja ternate dan hasil perkawinanya ini dkaruniahi seorang putri yang bernama Welanda. Kemungkinan Raja Ternate saat itu adalah Ayah Raja Hairun sebelum masuk Islam.
1. Pemilihan jodoh
Sebelum melakukan pelamaran kadang kala orang tua sering memilihkan jodoh untuk anaknya, namun hal ini sudah tidak dijumpai lagi dalam kalangan masyarakat suku Muna. Pada hakekatnya pemilihan jodoh ini, orang tua bercita-cita agar anaknya dapat kawin dengan seorang yang cocok dan disenanginya. Oleh karena itu, sebelum orang tua mengambil keputusan terhadap jodoh anaknya, terlebih dahulu mereka mengadakan penilaian kepada perempuan yang akan dilamar. Penilaian ini tidak hanya dilakukan oleh orang tua, tetapi peranan kaum kerabat sangat menentukan pula yang menjadi ukuran penilaian adalah kecantikan, keturunan, agamanya, kekayaan, budi pekerti, serta akhlaknya (Arifin, wawancara, 27 Januari 2010).
Apabila seorang laki-laki bermaksud melangsungkan perkawinan sedapat mungkin hal tersebut orang tua merundingkan dengan kaum kerabat dan anak yang bersangkutan.
2. Pertunangan
Perkawinan timbul setelah adanya persetujuan antara kedua belah pihak calon pengantin untuk selanjutnya melangsungkan perkawinan. Dan persetujuan ini dicapai oleh kedua belah pihak setelah terlebih dahulu melakukan lamaran atau peminangan yaitu suatu permintaan atau pertimbangan yang dikemukakan yang biasanya oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Pertemuan yang pertama kalinya untuk membicarakan kehendak mengadakan perkawinan ini di daerah Muna di namakan (katangka) yang mengandung arti permintaan dalam bentuk pernyataan kehendak dari suatu pihak kepada pihak lain untuk maksud mengadakan (ingin melaksanakan) ikatan perkawinan.
Pertunangan baru mengikat apabila dari pihak laki-laki (pihak yang meminang) sudah memberikan kepada pihak perempuan (pihak yang di pinang) suatu tanda pengikat yang kelihatan yang di sebut (singkaru). Tanda pengikat dimaksud diberikan kepada keluarga pihak perempuan atau kepada orang tua pihak perempuan atau kepada bakat mempelai perempuan sendiri yang di pinang), dan dibeberapa daerah (Minangkabau). Tanda pengikat ini diberikan timbal balik oleh masing-masing pihak. Dalam hal ini nampak juga masuknya budaya barat (Eropa) dimana peresmian pertunangan itu disertai acara Tukar Cincin (Over Rings) menurut adat hal ini tidak membawa akibat hukum bagi hukum adat itu sendiri, jadi pertunangan tidak dilakukan dengan acara Tukar Cincin atau Over Rings, akan tetapi pertunangan tetap sah dan mengikat apabila pihak yang dilamar telah menerima tanda pengikat dari pihak yang melam
Dibeberapa daerah biasanya tanda lamaran itu dapat berupa:
- Sirih pinang
- Sejumlah uang (mas kawin, uang adat)
- Makanan matang
- Bahan pakaian
- Perhiasan,dan
- Hasil perkebunan
Tanda lamaran tersebut disampaikan oleh juru bicara pihak pelamar kepada pihak yang dilamar dengan bahasa dan peribahasa adat, yang indah, sopan, santun, dan penuh hormat dengan memperkenalkan para anggota rombongan yang datang, hubungan kekerabatan satu persatu dengan calon mempelai pria. Begitu pula juru bicara dari pihak wanita yang dilamar akan menyatakan penerimaannya dengan bahasa dan peribahasa adat.
Setelah selesai kata-kata sambutan kedua belah pihak maka barang-barang tanda lamaran itu diteruskan kepada tokoh-tokoh adat, keluarga/kerabat wanita, kemudian kedua belah pihak mengadakan perundingan tentang hal-hal sebagai berikut :
a. Besarnya uang jujur (uang adat, dan mas kawin).
b. Besarnya uang permintaan (biaya perkawinan) dari pihak wanita.
c. Bentuk perkawinan dan kedudukan suami isteri setelah perkawinan.
d. Perjanjian-perjanjian perkawinan
e. Kedudukan harta perkawinan.
f. Acara dan upacara adat perkawinan.
g. Waktu dan tempat upacara.
Tidak semua acara dan upacara perkawinan tersebut dilaksanakan oleh para pihak yang akan melaksanakan perkawinan, hal ini tergantung pada keadaan, kemampuan dan masyarakat adat yang bersangkutan. Pada masyarakat suku Muna dalam upacara adat perkawinan Nampak sekali sifat atau ciri khususnya seperti halnya pada masyarakat Tongkuno. Pada masyarakat suku Muna dikenal beberapa tahapan dalam proses pelaksanaan adat perkawinan yaitu pemilihan jodoh, pertunangan, peminangan, kawin,
Berikut ini akan diuraikan mengenai tahapan-tahapan pelaksanaan adat perkawinan suku muna sebagai berikut:
3. Pelamaran
Bila ada persetujuan dapatlah dilakukan pelamaran, sebaliknya bila orang tua tidak setuju sedangkan anak yang bersangkutan sangat menginginkannya dapatlah terjadi perkawinan lari (Pofileigho). Dalam kebudayaan Muna, kawin lari(Pofileigho) masih sering di gunakan apabila mempelai pria mempunyai keterbatsan ekonomi untuk melamar mempelai wanita
Pada tahapan ini langkah pertama yang dilakukan setelah adanya kesepakatan dari pihak laki-laki, yaitu menghungi orang tua pihak perempuan bahwa mereka akan berkungjung kerumah orang tua perempuan melalui jugur bicara adat. Setelah itu bila orang tua perempuan bersedia untuk menerima kedatangan mereka, keluarga pihak laki-laki bersama juru bicara adanya berkunjung kerumah orang tua perempuan tersebut dengan membawa sebuah bungkusan yang merupakan “kabintingia” (talang kecil persegi empat).
Terjadinya suatu perkawinan dalam masyarakat Muna pada dasarnya mempunyai suatu proses dan upacara tertentu yang harus dan mutlak untuk dilaksanakan sebab telah menjadi ketentuan hukum adat perkawinan dan telah menjadi tradisi masyarakat Muna.
Dalam proses pelaksanaan perkawinan di daerah Muna tidak dapat dianggap remeh dan harus ditaati karena perkawinan itu menurut keterangan La Ode Sabora bahwa:
“Dalam menghadapi perkawinan baik pihak calon suami istri maupun keluarga kedua belah pihak ada dua jalan yang ditempuh yakni,
“Selamat atau mati” dan juga dalam membicarakan adat perkawinan mudah tetapi sulit, tetapi mudah (momuda maka nohali, nohali maka nomuda)” (Arifin 27 Januari 2010)
Berdasarkan keterangan diatas bahwa dalam menghadapi suatu proses perkawinan menyangkut proses penyelesaian adatnya baik calon suami istri maupun keluarga kedua belah pihak, harus mempersiapkan jiwa yang lebih rasional dan keimanan yang lebih mendalam agar dalam proses penyelesaian adat perkawinan nanti berjalan dengan mulus serta tidak menimbulkan benturan antara delegasi.
Dalam proses perkawinan adat Muna sebelum mempelai pria dan mempelai wanita menuju pelaminan maka terlebih dahulu di adakan serah terima pinangan atau yang dalam bahasa muna disebut dengan kafeena.Pinagan(kafeena) ini di bawah oleh anak-anak dari keluarga kedua mempelai yang terdiri dari anak laki-laki dan anak perempuan.
4.Kuliner Yang Biasa ada pada Saat Pesta
a.Lapa-Lapa
Lapa, biasa yang menjadi sebuatan bagi masyarakat Muna, sudah menjadi tradisi Muna ketika datang hari besar agama dan acara-acara lainnya, lapa menjadi sajian khusus, cara membuat dan bahanya sangat simple hanya dengan menggunakan janur lalu dimasukan beras ketan putih yang telah di olah dengan beberapa bumbu masak kemudian setelah menjadi setengah matang lalu di rebus ulang.
b.Waje
Waje, sama dengan cucur, jenis penganan tradisional Muna yang bahannya terdiri dari beras ketan merah dan gula merah, hanya saja cara membuatnya yang berbeda. sebelum di olah beras ketan harus di rendam semalaman agar lekatannya lebih maksimal dan ketika di olah hasilnya akan mengembang kemudian beras ketan dimasak terlebih dahulu dengan cara di kukus setengah masak lalu di masukan ke dalam wajan yang di campurkan dengan gula merah, setelah masak di anginkan dengan beralaskan daun pisan segar lalu di potong-potong hingga menjadi beberapa bagian. penganan ini juga menjadi sajian utama ketika ada pesta perayaan hari besar, pesta nikah dan syukuran.
c.Cucur
Cucur, jenis penganan tradisional Muna yang bahannya terbuat dari tepung beras ketan, gula merah dan telur, uniknya...penganan ini tidak semua orang dapat membuatnya, untuk membentuk bulat dan berkelut pada tengahnya, harus menggunakan keahlian khusus. penganan ini biasa disajikan pada perayaan pesta perkawinan, dan acara syukuran, kalau mengenai rasanya di jamin menggoyahkan lidah anda.
Untuk jajaran lauk ada 1 yang khas yang mana lauk yang sering disajikan dalam acara-acara sacral suku Muna yaitu:
a.Ayam Kaparende
Untuk jajaran lauk ada 1 yang khas
Ayam Kaparende, itulah sebuatan dari masakan khas daerah Muna, yang dalam proses masaknya tidak menggunakan berbagai macam bumbu dapur seperti yang banyak terlihat pada daerah lain, bahan-bahannya hanya terdiri dari Daging ayam segar, garam secukupnya penyedap rasa, cabai, dan yang paling utama adalan daun buah Kedondong yang membuat lidah siperasa akan ketagihan untuk mencicipinya. Harus orang yang ahlinya juga yang membuat ayam kaparende ini baru rasanya akan sedap. Jika tidak jangan harap rasanya akan lezat.
Dan kuliner lain yang biasa di hadirkan
1. Sanggara (pisang goreng)
2. Kue tolban (bolu)
3. Ngkea-ngkea
4. Ayam goreng
5. Tak lupa buah dan sayur kelor bening ,tumis dan lain-lain
Kesemua makanan di atas di susun dalam suatu tempa yakni dalam haroa dan sebelumdi konsumsi terlebih dahulu dibacakan do’a oleh moji (ahli agama) baru di santap bersama.Dalam adat muna tradisi baca-baca dilaksanakan tidakhanya diadakan dalam perkawinan, tetapi juga dalam acara-acara sakral lain seperti hari raya idul fitri, idul adha dan acara-acara kebudayaan lainya.
Dalam masyarakat Muna di kenal dengan 4 golongan yaitu:
1. Golongan kaomu
2. Golongan walaka atau golongan sara
3. Golongan anangkolaki
4. Golongan maradika
Dalam ke empat golongan tersebut berbedah-bedah nilai uang maharnya seperti :
1. Golongan kaomu (La ode) menikahi golongan kaomu (Wa ode) atau golongan bawahnya, maharnya senilai 20 boka (saat ini 1 boka bernilai Rp.24.000)
2. Jika golongan walaka menika degan golongan kaomu maka maharnya senilai 35 boka. Akan tetapi kalau menikah dengan golongan walaka juga maharnya bernilai 10 boka 10 suku (1 suku bernila 0,25 boka jadi 10 boka 10 suku sekitar 12,5 boka) akan tetapi golongan sara-kaomu maharnya adalah 15 boka. Golongan sara kaomu (perempuan sara-kaomu) artinya ayahnya golongan walaka sememtara ibunya golongan kaomu.
3. Jika golongan anangkolaki menikahi golongan kaomu, maka maharnya adalah 75 boka. Jika menikahi golongan walaka maharnya adalah 35 boka akan tetapi jika menikahi golongan anangkolaki juga atau dibawahnya maharnya adalah 7 boka 2 suku ( atau 7,5 boka)
4. Jika golongan mardika menikahi golongan kaomu maharnya adalah 2 x 75 boka jika menikahi golongan walaka maharnya adalah 75 boka jika menikahi anangkolaki maharnya 7 boka 2 suku (7,5 boka)
Setelah uang mahar tersebut sudah di setujui dari kedua belah pihak antara keluarga pihak perempuan dan keluarga pihak laki-laki prosesi perkawinan dapat terlaksanakan.
: Kabupaten Muna,
Ewa Wuna dalam bahasa Muna berarti Silat. Ewa Wuna dipentaskan sebagai tari penyambutan dimainkan oleh 6 orang terdiri dari 2 orang pemain badik atau kris dan 3 orang penari bermain parang, tombak dan bendera. Permainan ini diiringi oleh musik Rambi Wuna juga dimainkan 5 orang pengiring musik. Seluruh pemain berusaha menyerang akan tetapi terhalang oleh seorang pemain Petombi (pemegang bendera) sehingga seluruh pemain terhindar dari bahaya. Hal ini berarti rasa kemanusiaan lebih berarti dari pada ketajaman senjata demi kedamaian dan persatuan.
Setelah semua tahapan-tahapan diatas telah dilaksanakan maka sepasang muda-mudi dalam adat Muna, telah resmi menjadi suami istri.
Kesimpulan perkawinan kabupaten muna
Dalam kesimpulan hukum adat yang ada di daerah Sulawesi tenggara khususnya (Muna) memiliki ciri atau corak seperti ciri tradisional/turun temurun dan ciri kebersamaan atau komunal karana meraka masih sangat memegan kebudayaan-nya dan mereka juga masih menjujung tinggi arti kebersamaan dalam bermasyarakat serta saling bantu membatu dan dalam masyrakat Muna bantu membatu atau kebersemaan itu sudah di jadikan tradisi dalam kehidupan mereka
Saran perkawinan kabupaten muna
Karya tulis ilmiah ini, dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi tenaga pengajar atau guru pada mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia agar melihat potensi kebudayaan daerah (tradisi lisan) yang bisa dikemas sebagai alat pembelajaran bermuatan karakter disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan zaman.Untuk peneliti selanjutnya, khususnya yang meneliti kebudayaan daerah diharapkan dapat ikut ambil bagian untuk dapat menyempurnakan karya ilmiah ini.
Sumber:
http://lahamuha.blogspot.co.id/2014/04/adat-pernikahan-suku-muna.html