Urang Banjar memang tidak mengenal sistem rumah panjang atau rumah betang seperti pada kebanyakan suku Dayak. Namun demikian tidak semua Dayak juga mengenal sistem rumah panjang atau rumah betang. Dayak Maanyan dan Dayak Meratus memiliki sistem bentuk rumah adat yang sama dengan rumah adat Banjar. Hal ini mungkin disebabkan kedua suku ini masih adalah satu rumpun nenek moyang. Namun kali ini kita akan fokus pada proses pembangunan rumah adat Banjar.
Rumah adat Banjar disebut dengan rumah bubungan tinggi yang memiliki beberapa variasi bentuk, namun utamanya selalu membentuk pola cacak burung atau dalam bahasa dayaknya disebut lampak lampinak – pola seperti salib. Namun kali ini kita hanya akan membahas proses pembuatan rumah adat banjar.
Seperti kebudayaan orang pada jaman dahulu, budaya gotong royong dalam membangun rumah adalah juga adat yang dilakukan oleh Urang Banjar baik untuk membuat atap dari daun rumbia, memasang tongkat, tiang sampai memasang lantai dilakukan secara bergotong royong sesama masyarakat kampung teresebut. Namun ada juga pekerjaan-pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh tukang rumah yang mengerti tata cara dan perhitungan pembangunan rumah tersebut.
Setelah selesai tongkat-tongkat rumah dipasang gala-galanya maka segera dipasang semacam lantai darurat dengan menggunakan bahan papan yang ada. Menjelang maghrib maka akan dilakukan kegiatan “BERSEMBAHYANGAN” bersama warga masyarakat kampung juga diundang seorang TUAN GURU (Alim Ulama)
Acara persembahyangan dimulai dengan melakukan sholat maghrib diatas rumah yang sudah dibangun lantai darurat tersebut, selesai sembahyang maghrib dilanjutkan dengan membaca surat Yasin, shalawat dan sembahyang tahajud. Kemudian dilanjutkan dengan sembahyang isya lalu diadakan acara selamatan dengan pembacaan doa, selesai prosesi itu semua dilanjutkan dengan makan bersama.
Pada malam harinya rumah tersebut harua ditiduri oleh seseorang dengan nyala lampu sepanjang malam.
Selesai melakukan sembahyang subuh maka akan dilakukan acara “MEMUAT TIHANG” biasanya akan dilakukan oleh Tuan Guru (Kiayi) sambil membacakan shalawat bersama mendirikan tiang rumah biasanya ada 4 atau 5 buah tiang. Biasanya juga tiang itu sudah siap sejak sore dan diletakan didekat tempat yang akan dipasang tersebut.
Pada bagian atas dari tiang tersebut akan diikatkan ketupat atau disebut KATUPAT BANGSUL – Yaitu ketupat dengan bentuk lancip supaya anggota keluarga sering “bangsul” atau sering datang berkunjung, disamping beberapa hiasan yang dibuat dari daun enau atau daun kelapa muda. Setelah tiang didirikan biasanya tiang akan digoyang-goyangkan dan ketupat tadi akan berjatuhan lalu anak-anak akan ramai berebutan ketupat tadi, lalu dilanjutkan dengan pembacaan shalawat.
Disamping ketupat juga disediakan nasi lemak / nasi ketan, telur dan inti (terbuat dari parutan kelapa dan gula merah). Ada filosofi dari sajian-sajian ini yaitu nasi lemak/nasi ketan melambangkan agar anggota keluarga selalu lekat atau disebut bajumpulut, ketupat bangsul agar anggota keluarga selalu bangsul atau berkunjung. Inti supaya rumah kelihatan manis dipandang dan HINTALU atau telor biasanya disukai orang.
Perkakas untuk bangunan terutama tiang dan tongkat yang terdiri dari kayu ulin biasanya diperiksa dengan seksama oleh seorang ahli yang disebut MALIM, kalau-kalau ada yang tidak baik sebab jika tiang/tongkat yang tidak baik dipercaya bisa membawa sial bagi penghuninya seperti kematian, wabah sakit penyakit dll. Begitu juga dengan lokasi tanah akan diperiksa oleh malim tadi apakah lokasinya baik atau tidak. Rumah yang baik menghadap kejalan dan kearah “Matahari Hidup” sebab dipercaya sebagai “Perajakian” atau sering mendapat rezeki.
Sumber: https://folksofdayak.wordpress.com/2017/01/12/adat-mendirikan-rumah-pada-budaya-banjar/
Sumber daya air merupakan sebuah unsur esensial dalam mendukung keberlangsungan kehidupan di bumi. Ketersediaan air dengan kualitas baik dan jumlah yang cukup menjadi faktor utama keseimbangan ekosistem serta kesejahteraan manusia. Namun, pada era modern saat ini, dunia menghadapi krisis air yang semakin mengkhawatirkan (Sari et al., 2024). Berkurangnya ketersediaan air disebabkan oleh berbagai faktor global seperti pemanasan, degradasi lingkungan, dan pertumbuhan penduduk yang pesat. Kondisi tersebut menuntut adanya langkah-langkah strategis dalam pengelolaan air dengan memperhatikan berbagai faktor yang tidak hanya teknis, tetapi juga memperhatikan sosial dan budaya masyarakat. Salah satu langkah yang relevan adalah konservasi air berbasis kearifan lokal. Langkah strategis ini memprioritaskan nilai-nilai budaya masyarakat sebagai dasar dalam menjaga sumber daya air. Salah satu wilayah yang mengimplementasikan konservasi berbasis kearifan lokal yaitu Goa Ngerong di kecamatan Rengel,...
Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak,Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman),...
Prajurit pemanah dari komunitas pemanah berkuda indonesia (KPBI) mengikuti Festival Keraton Nusantara 2017. mewakili kesultanan kasepuhan cirebon. PAKAIAN: terdiri dari ikat kepala/ totopong khas sunda jenis mahkuta wangsa. kain sembongb berwarnaungu di ikat di pinggang bersamaan dengan senjata tajam seperti golok dan pisau lalu baju & celana pangsi sunda. dengan baju corak ukiran batik khas sunda di bagian dada. untuk alas kaki sebagian besar memakai sendal gunung, namun juga ada yang memakai sepatu berkuda. BUSUR: sebagian besar memakai busur dengan model bentuk turkis dan ada juga memakai busur model bentuk korea. ANAK PANAH: Semua nya memakai anak panah bahan natural seperti bambu tonkin, kayu mapple & kayu spruce QUIVER (TEMPAT ANAK PANAH): Semua pemanah menggunakan quiver jenis backside quiver atau hip quiver . yaitu quiver yang anak panah di pasang di pinggang dan apabila anak panah di pasang di dalam quiver , nock anak panah menghadap ke belaka...
aksi pertunjukan pusaka dan pasukan kesultanan kacirebonan dari balaikota cirebon sampai ke keraton kacirebonan
Para pasukan penjaga keraton Sumedang larang