ADAT LAMARAN DI LAMONGAN
Lamongan selain memiliki keunikan dalam bahasanya, masakan, juga memiliki adat yang unik. Salah satu adat yang unik tersebut adalah kebiasaan dalam prosesi lamaran. Disebagian besar kota di Jawa Timur, lelaki biasanya melamar perempuan. Tetapi di Kabupaten lamongan justru perempuan yang melamar lelaki. Hal tersebut termasuk dialami oleh penulis.
Dalam prosesi lamaran hal yang dibicarakan oleh pelamar adalah kesdiaan calon mempelai putra menerima calon mempelai putri, kesepakatan hari pernikahan dan kesepakatan lain. Pelamar umumnya adalah orang tua calon mempelai putri atau keluarga yang dianggap tua si keluarga putri. Sedangkan yang menerima tamu biasanya adalah orang tua calon mempelai putra. Kadang-kadang calon pengantin putra ikut menemui tamu.
Pada zaman dahulu pelamar biasanya membawa makanan sebagai berikut : gemblong, wingko, pisang, Nasi besrta lauknya, lemet, dan rengginang. Di masa sekarang bawaan tersebut lebih bervariasi. ada yang masih mempertahankan bawaan tersebut ada pula yang mengantinya dengan makanan modern saat ini, misalnya roti, daln lain sebagainya.
Konon kabarnya adat lamaran "Perempuan Melamar Lalaki" di Kabupaten Lamongan dimulai dari sebuah cerita rakyat. Ada dua versi cerita rakyat yang berkembang di masyarakat Lamongan yang menceritakan asal usul "Perempuan Melamar Lalaki". Versi yang mashur adalah cerita rakyat dengan judul " Panji Laras Liris", yang kedua adalah cerita rakyak " Demang Paciran Melamar Putri Bawean".
Kisah "Panji Laras Liris" sebagaimana dikisahkan oleh Ahmad Chambali, 65 Laki-laki, Budayawan Lamongan,Jawa – Indonesia alamat Groyok Lamongan, Kamis, 23 Juli 2009 dan ditulis Rochimatul Izati, Mahasiswi, Jawa –Indonesia beralamat Kelurahan Sukomulyo Lamongan sebagai berikut.
LEGENDA PANJI LARAS PANJI LIRIS
BAHASA INDONESIA
Jaman dahulu, hiduplah Panji Laras Panji Liris. mereka adalah keturunan dari Mbah Lamong, anak dari Raden Panji Dewo Kaloran. Panji Laras Panji Liris adalah pemuda tampan, dengan perawakan tinggi, kulitnya putih bersih, kumisnya tipis, pandai bekerja, dan dikenal ahli kanuragan. Banyak yang berusaha mendekat dan mengambil hati Panji Laras Panji Liris. tetapi Panji Laras Panji Liris tidak mau sebab mereka masih ingin mencari ilmu dan ingin merantau ke beberapa pesantren di luar kabupaten Lamongan.
Waktu Panji Laras dan Panji Liris merantau ke arah selatan dengan berpakaian santri, baju taqwa, celana landing, dengan memakai sandal kulit memakai sarung putih dengan keris yang terselip, namun tidak seperti biasanya keris yang terselip belakang pinggang, keris orang Lamongan itu diletakkan di depan. Hal ini sebagai pertanda bahwa orang Lamongan adalah orang yang bertanggungjawab dan suka melindungi kaum wanita.
Saat merantau ke arah selatan itu, Panji Laras dan Panji Liris dikawal oleh punggawanya yang bertugas untuk menunjukkan jalan, mulai dari kali Lamong kemudian berjalan ke arah selatan melewati Jombang, Nganjuk ke Tlatah Kertosono. dalam pengembaraannya itulah Panji Laras dan Panji Liris sering bermain sabung ayam di setiap tempat yang disinggahinya. Anehnya setiap itu pula ayam Panji Laras dan Panji Liris selalu menang tidak pernah terkalahkan seperti ayam Sawunggaling yang juga tak terkalahkan.
Dahulu, di tempat permainan sabung ayam itu oleh orang laki-laki selain digunakan menyabung ayam juga dijadikan ajang untuk unjuk kekuatan. Siapa yang menang atau paling sakti biasanya dijadikan figur atau pemimpin, dijadikan Lurah, Demang, juga dijadikan Patih seperti ceritanya Patih Gajah Mada yang berasal dari Lamongan. Beradu jago dan beradu kerbau zaman dulu itu sama saja.
Kebiasaan tersebut merupakan adat kebiasaan orang Hindu. Seperti yang terjadi di Bali, orang laki-laki pekerjaannya hanya beradu jago ayam. Sedangkan yang perempuan pergi ke sawah, bekerja. Di Lamongan ini Panji Laras Panji Liris mengadu jago di telatah Jombang ke selatan menuju kali Berantas yang terdiri dari 23 penyeberangan, sedangkan kali Solo ada 40 penyeberangan.
Panji Laras Panji Liris mengadu jago dari mulai tempat yang kecil sampai tempat yang luas. Akhirnya berita tentang kehebatan ayam aduan Panji Laras Panji Liris terdengar oleh Tumenggung Kertosono yaitu Dewa Kaloran. Adipati kertosono adalah saudara Ki Ageng Panuluh dari Singosari yang menjadi saudara seperguruan.
“Katanya, kok, ada dua pemuda yang selalu menang, itu pemuda dari mana,” Tanya ki Ageng Panuluh kepada Patihnya.
“Oh, mereka dari Lamongan tuanku. Mereka adalah Panji Laras Panji Liris cucunya Adipati Surajaya. ke sini sabung ayam untuk mencari teman dan ingin mengetahui dunia luar.”
“Ya, sudah, suruh ke sini saja,” kata adipati kertosono, Ki Ageng Panuluh.
Setelah itu, adipati kertosono Ki Ageng Panuluh diundang ke pendopo kadipaten Kertosono-Kediri. Setelah sampai di sana mereka dijamu dengan penuh kehormatan karena dari Kadipaten Lamongan. Tidak hanya itu saja, mereka ditawari untuk mengadu ayam di kedaton Kertosono. Adu jago pun dimulai, di mulai dengan ayamnya demang, jagonya patih sampai jagonya adipati Ki Ageng Panuluh. Kesemuanya kalah digebrak jagonya Panji Laras Panji Liris. Dan akhirnya mereka mendapat hadiah atas kemenangan ayamnya.
Pada waktu itulah, anak Ki Ageng Panuluh yang bernama Andansari dan Andanwangi yang sangat cantik, kulitnya kuning langsat, mengetahui ada dua pemuda tampan yang memenangkan adu jago di kaputren Magersari. Mengetahui ketampanan dan asal-usul Panji Laras Panji Liris, kedua putri dari Kertosono tersebut jatuh cinta. Tidak hanya Andansari dan Andanwangi saja yang jatuh cinta, Panji Laras dan Panji Liris pun juga jatuh hati.
Setelah sampai di Lamongan, Panji Laras dan Panji Liris menghadap ayahnya, Raden Panji Dewo Kaloran untuk menyampaikan maksudnya meminang Andansari dan Andanwangi. Mengetahui keinginan anaknya, Raden Panji Dewo Kaloran akhirnya menyetujui. Dengan syarat kedua putri dari Kertosono tersebut harus membawa genuk dan kipas dari batu dengan cara digendong dan harus berjalan kaki dari Kertosono ke Lamongan. Genuk dan kipas dari batu itu, boleh dipikul, disunggi, namun tidak boleh dinaikkan perahu atau kuda saat menyebrang kali Lamongan.
Persyaratan yang diajukan oleh keluarga Panji Laras dan Panji Liris akhirnya disetujui oleh pihak keluarga Andansari dan Andanwangi dari Kertosono. Mereka tidak menganggap syarat-syarat yang diajukan pihak Lamongan itu sulit. Justru, bagi mereka sangat mudah karena mereka memiliki kesaktian untuk melakukan hal itu.
Sesuai kesepakatan yang telah dibuat, suatu hari Andansari dan Andanwangi meninggalkan Kertosono untuk menuju Lamongan. Keduanya memanggul genuk dan kipas dari batu menuju ke arah utara. Ternyata tidak hanya Andansari dan Andanwangi saja yang menuju Lamongan, di belakangnya juga terlihat ayahandanya, patih dan para pengawal dari Kadipaten Kertosono.
Sungguh aneh Andansari dan Andanwangi sedikitpun tak merasakan lelah membawa beban berat yang mereka bawa. Bahkan, keduanya dapat berlari dengan cepat seperti tidak membawa beban sama sekali. Ternyata keduanya memiliki dan mewarisi ilmu kanuragan tingkat dari ayahnya, Ki Ageng Panuluh.
Sesampainya di kali Lamong, tepatnya di sekitar desa Babatan, tanpa sepengetahuan rombongan dari Kertosono, ternyata Panji Laras dan Panji Liris beserta sejumlah pengawalnya telah lama menunggu. Mereka bersembunyi di seberang kali yang sedang di lewati Andansari dan Andanwangi dan rombongannya. Pada saat itulah, Panji Laras dan Panji Liris menyaksikan suatu kejadian yang aneh. Yaitu mereka melihat kaki Andansari dan Andanwangi tidak menginjak air saat menyeberang, melayang seperti terbang. Ada pendapat lain yang mengatakan, bahwa saat Andansari dan Andanwangi menyebrang, Panji Laras dan Panji Liris melihat kaki calon istri mereka berbulu lebat seperti kakinya kuda.
Melihat kejadian tersebut, hati Panji Laras dan Panji Liris gundah dan bersedih. keduanya hampir tak percaya bahwa calon istrinya yang begitu cantik ternyata memiliki kaki yang menakutkan, berbulu seperti kaki kuda.
“Bagaimana ini, aku mempunyai calon istri yang wajahnya cantik tapi kakiknya kok seperti itu, ini kan menakutkan orang.”
“Adikku Panji Liris, bagaimana ini? Apakah tidak sebaiknya perjodohan ini digagalkan saja. Sebelum ketahuan oleh mereka kalau kita menyambut di sini. Maksudku tadi, menyambutnya karena aku ingin mengetahui lebih jelas kecantikan calon istriku. Dan hampir saja tadi aku menyambutnya tapi keburu mengetahui kalau kaki calon istri kita itu begitu menakutkan. Kalau begini, ayo pulang saja ke Lamongan.”
Akhirnya, Panji Laras dan Panji Liris kembali pulang ke Lamongan melewati jalan Mantup, lewat Kalikapas Joto Sanur terus masuk ke kota. Mereka menuju pendopo Kabupaten Lamongan (sekarang bekas gedung bioskop Garuda sebelum pindah ke Tumenggungan). Jadi, kadipaten itu dulu terletak di desa Bandung belakang kecamatan yang sekarang jadi gedung bioskop.
Sesampainya di pedopo kadipaten mereka menghadap ayahnya dan menceritakan kejadian yang mereka lihat. “Bagaimana ayahanda, ananda ini mau mempunyai istri tapi calon istriku yang melamar ke sini kok kakinya seperti itu.” Jelas Panji Laras dan Panji Liris.
“Ya Allah, kok begini ya, coba aku usahakan apakah perjodohan ini bisa digagalkan atau tidak? Setelah mengucapkan demikian, ketiganya bergegas menuju luar pendopo untuk menyambut rombongan Andansari dan Andanwangi. Mereka melihat Andansari dan Andanwangi memanggul genuk dan menenteng tepas yang terbuat dari batu dengan begitu enteng. Hal ini menandakan keduanya benar-benar sakti.
Mendekati Kadipaten Lamongan sebelah barat kecamatan yang terletak di daerah Balong Banteng itu, Andansari dan Andanwangi berserta ayahnya Ki Ageng Panuluh dengan sejumlah pasukannya dicegat di daerah Demangan. Di sana mereka diminta untuk menaruh genuk dan tepas batunya di sekitar telogo bandung. Namun, setiap kali Andansari dan Andanwangi menaruhnya di tempat itu tetap tidak bisa. Akhirnya mereka hanya bisa menangis.
“Bagaimana ini, kamu bisa membawanya ke sana kemari tapi hanya menaruhnya di sini saja tidak bisa?” kata Ki Ageng Panuluh.
“Wah, ini pasti ada yang tidak beres. Ini pasti diberi pagar gaib oleh orang-orang Lamongan.”
Oleh orang-orang Kertosono ditandingi, namun Lamongan tetap ilmu orang Lamongan lebih sakti, dan lebih tinggi. Setelah itu, Andansari dan Andanwangi hanya bisa menangis dan terus menangis karena ia tidak dapat meletakkan genuk dan tepas batunya di sana. Karena lamanya menangis keduanya pun pingsan dan kemudian menghembuskan nafas terakhirnya di depan kecamatan. Di tempat itulah sekarang, nama Andanwangi diabadikan menjadi nama sebuah jalan.
Pihak Kertosono tidak bisa menerima kematian Andanwangi, dan terjadilah pertempuran yang dasyhat di daerah Bandung menuju ke timur sampai ke Sidoarjo Tlogo Anyar bahklan sampai ke Tambak Jurit. Saudara Andanwangi yang bernama Andansari akhirnya meninggal dalam peperangan tersebut. Ada pendapat yang mengatakan bahwa ia mati bunuh diri, mayatnya kemudian diletakkan di Kali Bumbung yang kemudian dikenal dengan nama Rondo Kuning. Banyaknya prajurit yang meninggal dunia, belum lagi sang Tumenggung Ki Ageng Panuluh yang juga meninggal membuat pasukan Kertosono yang masih hidup, akhirnya menyerah di Tumapel. Dari pihak Kertosono pada waktu itu dibantu oleh Ki Ageng Ongso yang menyerang dari dari arah timur yang akhirnya juga dapat dikalahkan dan menyerah. Jadi, itulah asal-usulnya prajurit Tumapel Singosari alias saudara seperguruan yang ikut mengirim pertunangan namun berubah menjadi perang.
Pada tahun 1885 genuk dan tepas batu itu ditemukan di sekitar telaga Bandung yang kemudian pada tahun 1922 dibawa ke masjid Jami’ Lamongan dan diletakkan di depannya hingga sekarang.
Jadi, condro sengkolo berdirinya Lamongan. Bagaimana ceritanya, tadi kok membawa barang bawaan genuk dan tepas batu itu sebagai mas kawin. Semua itu, hanya ingin menunjukkan bahwa perkawinan yang berbeda agama itu tidak baik bagi Islam. Meskipun semuanya siap dan sepakat serta sama-sama cinta tetap tidak dapat diteruskan sehingga terjadilah adu kesaktian sampai peperangan. Andansari dan Andanwangi memilih lebih baik mati daripada tidak mendapatkan seorang suami karena malu, maka dia yang satu bunuh diri dan yang satu terbunuh di dalam peperangan. Terjadilah waktu itu pertempuran antar daerah yaitu dalam peralihan penguasa Hindu Budha diganti oleh penguasa Islam.
-----------------------------------------------------oooooo---------------------------------------------------------
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja