|
|
|
|
5_Nahkoda Sekam Tanggal 19 May 2018 oleh Sobat Budaya. |
Pada zaman dahulu tersebutlah laki-laki bernama Nahkoda Kadir. Pekerjaannya berlayar mengarungi samudra dan singgah di pulau-pulau yang jauh, membawa barang dagangan yang laku dijual. Begitulah kehidupan Nahkoda Kadir, berdagang sekaligus menjadi nahkoda perahu botnya sendiri.
Suatu hari Nahkoda Kadir berlayar ke Pulau Penang. Perahu bot itu membawa barang dagangan dari Aceh. Rotan, damar, dan jernang telah dikepak dengan rapi. Nahkoda Kadir mengumpulkannya dari para pedagang setempat kemudian menjualnya ke Pulau Penang. Barang-barang dagangan ini laku keras karena tidak dijumpai di Pulau Penang.
Setelah berjam-jam mengendari perahu botnya. Nahkoda Kadir mendarat di Pulau Penang. Nahkoda Kadir memerintahkan awak perahunya supaya berjaga-jaga. Nahkoda Kadir berjalan ke darat mencari saudagar yang mau membeli barang-barangnya. Tak lama kemudian Nahkoda Kadir bertemu dengan seorang saudagar yang berperawakan seperti dirinya. Saudagar besar itu berasal dari India, bernama Gulam Ahmad. Nahkoda Kadir sendiri pada mulanya juga berasal dari India. Ketika mereka bertemu, seolah menemukan sahabat karibnya, sama-sama berasal dari India. Mereka lalu berbicara dalam bahasa Hindustan. Hanya mereka berdua yang tahu mengerti bahasa itu.
“Assalamu’alaikum,” sapa Nahkoda Kadir.
“’Alaikum salam,” jawab Gulam Ahmad seraya mengulurkan tangan dan memeluk Nahkoda Kadir.
“Bukankah Nahkoda berangkat dari Aceh? Pasti membawa barang-barang dagangan dari Aceh!” kata Gulam Ahmad.
“Ya, Saudagar. Saya berangkat dari Aceh. Saya bawa damar, rotan, dan jernang!” jawab Nahkoda Kadir.
“Sudah ada orang lain yang mau membeli barangmu itu?”
“Belum ada.”
“Kalau begitu, bawalah kemari barang daganganmu itu. Aku akan membelinya!” perintah Gulam Ahmad.
“Baiklah! Berapa Saudagar akan membelinya?”
“Jernang sekati akan kubeli 145 rupiah, damar 95 rupiah, rotan 65 rupiah per ikat. Bagaimana?” Tanya Gulam Ahmad.
“Baiklah, akan saya ambil!”
Nahkoda Kadir lalu beranjak menuju perahu botnya. Sungguh mujur nasibnya hari ini, setibanya di Penang sudah ada saudagar India siap membeli dagangannya. Anak buahnya segera diperintah untuk membongkar perahu bot yang berisi berikat-ikat barang dagangan itu.
“Angkutlah barang-barang itu kepada toko Gulam Ahmad!” perintah Nahkoda Kadir kepada anak buahnya.
Setelah semua beres, seluruh barang dinaikkan ke dalam motor prah untuk diangkut ke toko Gulam Ahmad.
“Periksa dan hitung dulu semuanya” perintah Nahkoda Kadir setelah sampai di depan toko Gulam Ahmad.
Barang-barang itu dikeluarkan, ada petugas yang memeriksa dan menghitung-hitung sambil membuat catatan. Sambil menunggu barang dagangan selesai dihitung Nahkoda Kadir masuk ke dalam toko Gulam Ahmad, melihat barang-barang yang dijual di dalam toko itu. Di toko itu semua barang lengkap tersedia. Toko Gulam Ahmad besar dan bertingkat. Pelayannya sangat banyak. Jenis barang dagangan bermacam-macam. Tingkat atas dengan tingkat bawah terdiri dari barang dagangan yang berbeda-beda. Lebih lengkap dibanding toko-toko yang berjajar di sampingnya.
“Lebih baik aku berbelanja di sini saja, sebab semua kebutuhan yang kuinginkan ada tersedia di sini!” pikir Nahkoda Kadir.
Nahkoda Kadir segera mengambil barang-barang yang diperlukannya. Kain, sabun, alat-alat rumah tangga. Semua diambilnya. Mula-mula tak ada keinginan membeli barang pecah belah, karena melihat toko itu menyediakan berbagai peralatan, Nahkoda Kadir tertarik untuk mengambilnya.
“Barang-barang ini sudah kita beli. Angkutlah nanti ke dalam perahu!” perintah Nahkoda Kadir kepada anak buahnya.
Mangkuk, piring, gelas, cambung dikemas dengan rapi supaya tidak pecah dalam perjalanan. Setelah rapi, barang-barang itu ditaruh di dalam peti. Nahkoda Kadir juga membeli peralatan dari tembaga. Barang ini langka di Aceh.
“Semua barang yang kamu ambil sudah saya perkirakan harganya. Macam-macam barang yang kau ambil. Ada barang halus mudah pecah, barang kasar, yang itu rombengan, “kata Gulam Ahmad sambil menunjuk barang-barang yang sudah dikemas, “Kira-kira semuanya berharga 250.000 rupiah. Setelah kuhitung harga damar, rotan dan jernang yang kau bawa, masih ada sisa uang 36.000. Bisa kau tukar lagi dengan barang, atau kau ambil uangnya juga boleh!”
“Saya kira sudah cukup. Barang-barang ini sudah lengkap. Uang sisanya saya bawa pulang saja. Nanti jika ada barang lagi saya akan beli lagi.”
“Ya, sebaiknya kita kerjasama, jika Saudagar membawa damar, rotan atau jernang bawalah kesini lagi! Kalau ada papan juga boleh bawa ke sini. Kalau ada papan yang lebih bagus, bawa juga kesini, meskipun mahal saya akan membelinya!” kata Gulam Ahmad.
“Ya, saya ada tukang kayu di Aceh. Berapa ukuran papan yang Saudagar inginkan?” Tanya Nahkoda Kadir.
“Kira-kira tebalnya 1 inci, lebarnya 8 inci, dan panjangnya 5,5 meter. Saya akan membeli papan itu 175 rupiah. Langsung saya bayar. Bagaimana?”
“Ya. Besok saya bawa!”
Setelah berbicara dengan Gulam Ahmad, Nahkoda Kadir segera meninggalkan toko itu. Barang-barangnya diangkut ke dalam perahu botnya. Anak buahnya segera mengepak barang-barang itu, diaturnya di dalam kapalnya yang kecil.
“Jika kau ringkas mengaturnya pasti perahuku bisa memuatnya!” kata Nahkoda Kadir kepada anak buahnya yang sedang menarik tali-tali, supaya perahu kecil itu mampu memuat barang dagangannya.
Setelah barang-barang memenuhi perahu, anak buah Nahkoda Kadir mencari bekal untuk pelayaran mereka kembali ke Aceh. Mereka mencari beras, roti dan minuman.
“Nanti pukul delapan kita berangkat. Langit cerah, angin baik sekali hari ini, pasti pelayaran kita akan lebih cepat. Bagaimana?”
“Ya, semuanya sudah lengkap. Siap berangkat!” jawab awak kapalnya.
Pukul 08.30 malam angin Utara Timur Laut mulai berhembus. Angin ini yang membantu laju perahu mereka. Nahkoda Kadir siap mengemudikan perahunya. Mereka siap-siap berlayar ke Aceh. Perahu bot itu berpasang tiga keping layar bernama layer bulu ayam. Malam itu juga mereka berangkat. Mengarungi malam di tengah lautan, menantang ombak dan buih lautan. Perahu itu berlayar dengan lancar. Ketika pagi tiba mereka telah melewati Pulau Putih. Pada siang harinya telah tampak Gunung Geureudong.
“Lihatlah, sudah nampak puncak Gunung Geureudong. Empat jam lagi tentu akan sampai ke Kuala Raja!” kata Nahkoda Kadir.
“Ya, semoga angin kencang berhembus ke sana, supaya cepat laju perahu kita!”
Tujuan mereka adalah Kuala Raja (Panto Raja Sigli). Nahkoda Kadir bertempat tinggal di Peudeuk, Trienggadeng. Jika pulang, perahunya dilabuhkan di Kuala Raja.
Empat jam kemudian mereka tiba di Pelabuhan Kuala Raja. Nahkoda Kadir segera memerintahkan anak buahnya membongkar barang dagangan yang dibawanya dari Pulau Penang. Barang-barang itu dipindahkannya ke dalam motor prah. Esok paginya barang itu akan dijual di Pasar Aceh. Usai semuanya beres, Nahkoda Kadir segera pulang ke rumahnya, membawa oleh-oleh dari Pulau Penang. Dia pulang besama Apa Geumpa.
Apa Geumpa adalah jiran paling setia yang rumahnya berdekatan dengan Nahkoda Kadir. Mereka besebelahan. Anak buah kapalnya tinggal di perahu. Semua awak kapalnya bertempat tinggal di Meunasah Pucak, jauh dari pelabuhan.
Sesampainya di rumah, Nahkoda Kadir segera naik ke rumahnya. Diketuk-ketuk pintu rumahnya. Istrinya tinggal bersama orang tuanya yang menderita TBC. Setiap hari terbatuk-batuk. Pada malam hari jelas sekali suara batuknya. Nahkoda Kadir mendengar suara mertuanya sedang terbatuk-batuk.
“Apakah semua sudah tertidur?” kata Nahkoda Kadir sambil mengetuk pintu depan.
Istrinya yang sudah tertidur bangun ketika mendengar suara itu, “Coba Ibu dengar. Suara siapa di bawah? Sepertinya Abang Nahkoda!” kata istrinya ragu-ragu. Perempuan itu takut kalau-kalau datang orang merampok. Malam telah larut, hanya mereka berdua yang tinggal di rumah.
“Benar, itu suara Abangmu. Mungkin sudah pulang!” jawab Ibunya.
“Tak biasanya Abang Nahkoda pulang secepat ini! Biasanya berlayar lebih dari seminggu. Sekarang baru tiga hari sudah pulang. Aneh.” pikir istrinya.
“Halimah, rezeki itu tak bisa disangka-sangka. Jikalau memang sudah rezekinya pasti dengan mudah abangmu meraihnya. Cepatlah bukakan pintu,” perintah ibunya.
Nahkoda Kadir turun lagi dari rumahnya. Sambil menunggu pintu dibuka, laki-laki itu menuju ke sumur untuk mencuci kakinya, sebab adat di rumah itu, jikalau masuk ke rumah haruslah kaki dalam keadaan bersih dari najis. Nahkoda Kadir menimba air, menggoyang-goyangkan timba supaya suaranya nyaring didengar.
Istrinya segera menyalakan lampu lalu memasangnya, lalu membukakan pintu.
“Sudah pulang Abang?” katanya.
“Ya!” jawab Nahkoda Kadir.
“Secepat ini?” Nahkoda Kadir tidak menjawab.
Usai mencuci kakinya, laki-laki itu naik lagi ke rumahnya, “Kamu rumah tinggal, saya laut pergi, kapal angin bawa. Nasib, untung ada baik, kalau itu angin sudah putar tadi saya tidak pulang sini”. Nahkoda Kadir berbicara dengan struktur bahasa India. Halimah geleng-geleng kepala sambil kebingungan karena tidak mengerti maksud suaminya. Kebetulan istrinya agak bodoh, tidak mengerti bahasa Hindustan meski Nahkoda Kadir sering mengajarinya. Nahkoda Kadir menceritakan perjalanannya dari Pulau Penang. Jika angin laut tiba-tiba berputar haluan makan dirinya tak akan sampai secepat ini.
“Mengapa lama sekali kaubuka pintu? Asyik sekali tidur di rumah!” kata Nahkoda Kadir.
Istrinya tidak menjawab. Barang bawaan suaminya segera dibawanya ke dapur.
“Banyak sekali barang yang Abang bawa!” sahut istrinya.
“Ya, sebaiknya kau masak ikan itu, aku lapar sekali!” kata Nahkoda Kadir.
Halimah pun lalu memasak ikan itu. Nahkoda Kadir menunggu sambil duduk-duduk di ruang tengah.
Kebetulan di loteng rumahnya tersimpan kulit yang sudah mengering. Pada malam hari, tikus-tikus asyik berkejaran di dalam kulit itu.
Nahkoda Kadir berkata, “O…hayu kreh kro para kre kro cupak kareng belakai keumah, seungap mie balen!”
Nahkoda Kadir menyangka kucing sedang ribut-ribut di atas loteng.
“Apa yang diucapkan Abangmu?” Tanya mertuanya kepada Halimah yang sedang memasak.
“Tidak tahu Bu!”
Halimah lalu bertanya kepada Nahkoda Kadir, “Apa yang baru saja Abang ucapkan?”
“Kamu tidak tahu ya, ada kucing ribut-ribut di atas loteng.”
“Itu bukan kucing, tikus sedang asik bermain di dalam gulungan kulit!” kata istrinya. Setelah mereka mengusir tikus itu hidangan telah disiapkan. Nahkoda Kadir makan dengan lahap ditemani istrinya.
Esok paginya, setelah selesai mandi dan sarapan pagi, Nahkoda Kadir duduk-duduk di beranda rumahnya sambil berbincang-bincang dengan istrinya. Nahkoda Kadir menceritakan pertemuannya dengan Saudagar Gulam Ahmad.
“Seluruh barang bawaan dari Aceh dibeli oleh Gulam Ahmad itu. Saudagar itu amat jujur dan mulailah hubungan baik denganku! Semua barang-barang dari Penang kubeli dari tokonya yang besar. Hari ini aku harus mengantar barang-barang dagangan itu ke pasar.”
“Baiklah kalau begitu, semakin lancar rezeki Abang Nahkoda. Kapan lagi Nahkoda akan berlayar?” tanya Halimah.
“Sekarang dengarkan lagi apa yang akan saya katakan! Lima hari lagi, pada hari Sabtu aku akan berangkat lagi ke Penang. Ada barang pesanan yang harus aku antar ke sana. Kamu tinggal di rumah baik-baik. Uang belanja aku tinggalkan secukupnya. Selama saya tidak pulang, kamu jangan berbuat serong dengan laki-laki lain!”
Istrinya amat terkejut mendengar pesan itu, “Mengapa Abang seperti ini sekarang? Apakah pernah saya berbuat serong?” katanya dengan agak marah.
“Tidak Halimah, aku percaya kau istriku yang setia. Itu hanya peringatan supaya kau lebih hati-hati sebab aku tak bisa menjagamu setiap waktu!” tandas Nahkoda Kadir.
“Baiklah Abang! Akan kuingat pesanmu.” Jawab Halimah.
Setelah agak siang, Nahkoda Kadir meninggalkan rumahnya. Barang-barang yang telah diturunkan dari perahu segera dibawanya ke pasar. Anak buahnya mengangkut barang-barang itu kemudian disetor ke toko-toko. Nahkoda Kadir mengawasi kerja mereka. Setelah semua beres, Nahkoda Kadir mendatangi tukang kayu yang dikenalnya dengan baik. Laki-laki itu segera memesan papan yang telah dipesan Gulam Ahmad.
Nahkoda Kadir bertetangga dengan seorang anak muda bernama Yatim. Usia Yatim lebih muda dari Nahkoda Kadir, hampir sebaya dengan Halimah. Sejak kecil, Yatim terkenal nakal. Teman-teman bermainnya sering dipukul atau dicurangi. Perangainya juga jahat, suka menghasut dan merayu gadis-gadis kampung.
Halimah memiliki banyak perhiasan, gelang, kalung, cincin, anting-anting. Setiap Nakhoda Kadir pergi berlayar pastilah Halimah dibawakan oleh-oleh kesayangannya. Sebab Nahkoda Kadir sangat mencintai Halimah.
Yatim merasa iri melihat Halimah memiliki banyak perhiasan, tak pernah kekurangan uang mesti setiap hari kerjanya hanya duduk-duduk saja di rumah. Yatim berpikir, bagaimana caranya merayu Halimah supaya mau menjadi istrinya.
“Aku harus menyingkirkan si Kadir!” gumamnya sambil mencari cara.
Laki-laki itu sedang duduk-duduk di teras rumahnya sambil memandangi rumah Nahkoda Kadir.
“Lebih baik datang ke sana, bukankah Nahkoda sedang berlayar ke Penang!” kata Yatim dengan semangat. Laki-laki itu segera berjalan ke rumah Halimah, pura-pura bermain.
“Halimah, sedang apa kau?” sapa Yatim.
“Oh, Bang Yatim. Sedang menunggu ibu! Mari!” Halimah membuka pintu, disuruhnya Yatim duduk di ruang tamu.
Yatim segera memasuki rumah itu. Alangkah terpananya melihat rumah Nahkoda Kadir telah jauh berubah. Aneka hiasan dipajang di dinding dan almari, bermacam-macam. Barang-barang hiasan itu tak ada di jumpai di Aceh. Kursi-kursi tamu yang lama tak tahu lagi ditaruh dimana, kini ganti dengan kursi berlapis empuk, berhias ukiran angsa-angsa. Yatim terkagum-kagum.
“Apa yang kau lihat?” sapa Halimah membuyarkan lamunan Yatim.
“Rumahmu sudah jauh berubah! Kaya raya sekali sekarang!”
“Ah, itu Abang Nahkoda yang mengusahakan.” Jawab Halimah.
“Halimah, apa yang kau ketahui tentang Nahkoda Kadir selama ini?”
“Maksudmu? Aku tidak mengerti!”
“Engkau belum tahu, sayang sekali. Engkau harus tahu sejak sekarang. Aku berkewajiban harus memberitahukannya kepadamu!” kata Yatim dengan serius, “Suamimu seorang Keling, manusia paling jahat dan tidak dapat dipercaya. Ia suka pergi kemana-mana untuk berzina. Kau tidak tahu karena asyik tinggal di rumah saja. Ia asyik berzina sepanjang hari. Di mana dia berlabuh…”
“Ah, Bang Yatim, bicara apa kau? Saya tidak percaya kalau tidak melihatnya sendiri,” kata Halimah.
“Itulah kamu, belum juga percaya. Seperti adat orang Keling. Berzina itu hal biasa. Suamimu itu banyak gundiknya, dimana dia berlabuh maka akan singgah di tempat wanita-wanita!”
“Ah, aku tidak percaya! Aku lebih mengenal Abang Nahkoda dibanding kau!”
Selama dua hari, Yatim berturut-turut datang ke rumah Halimah untuk meyakinkan Halimah. Halimah tetap tidak mempercayai omongan Yatim.
“Coba Halimah kamu pikir-pikir. Setiap saat ia bepergian! Pernahkah selama pergi dia mengingatmu! Coba kalau suamimu bukan Nahkoda Kadir. Bandingkan!”
“Bicara apa kamu ini!” Halimah tetap tidak yakin.
“Selama berbulan-bulan dia meninggalkan rumah! Laki-laki mana betah tanpa wanita! Kau ditinggal…!”
“Sudahlah Bang Yatim. Abang Nahkoda hanya mencintaiku seorang. Hanya aku wanita pujaannya!”
“Ya, dia memang selalu membelikan barang-barang perhiasan yang kau senangi supaya kamu tidak berprasangka buruk. Kau selalu diberinya cukup uang supaya tetap menyangka bahwa dia laki-laki baik. Padahal dia sedang asik mendatangi rumah-rumah lacur!” si Yatim bercerita berapi-api.
Halimah berpikir dalam hati, apakah benar yang dikatakan Yatim bahwa suaminya demikian itu.
“Suamiku paling menyayangi aku. Tidak mungkin berbuat serong!”
Halimah gelisah. Perkataan Yatim segera dikatakan kepada ibunya.
“Bu, Bang Yatim menceritakan tentang Abang Nahkoda. Katanya Bang Kadir asik melacur selama bepergian!” Halimah menceritakan panjang lebar apa yang disampaikan Yatim.
“Aduh, kamu ini. Jangan dengarkan omongan Yatim. Dia pemalas, penghasut, selalu menjelek-jelekkan orang! Hidupmu sudah senang dan bahagia, suamimu cukup menyayangimu! Makan minum cukup, tinggal di rumah bagus, perhiasan ada, uang tak pernah kurang. Kalau suamimu asik melacur tentu semua hartanya habis diberikan kepada pelacurnya! Apakah benar, menurutmu suamimu itu berbuat serong?” kata ibunya dengan pandangan tajam. Halimah terdiam, benar juga perkataan ibunya.
“Suamimu pergi siang malam merantau di lautan, mencari nafkah hanya untuk engkau. Jangan dengarkan omongan Yatim! Dia itu buaya darat, haus harta! Hidupnya miskin karena tak mau bekerja. Dia iri terhadap suamimu!”
Ketika mereka berbicara Yatim sedang berada di bawah rumah, bermaksud bermain ke rumah Halimah. Dia mendengar ibunya mengatakan dia orang jahat, buaya darat, pemalas.
“Kurang ajar mereka membicarakanku! Tunggulah pembalasanku!” kata Yatim dengan kemarahan yang dipendam.
Yatim segera pergi ke rumah Teungku Akob. Teungku Akob terkenal mempunyai magi hitam, ilmu tenung. Ilmu-ilmu jahat itu berguna untuk mengguna-gunai dan mencelakakan orang. Yatim mendatangi rumah orang tua itu.
Yatim menceritakan semua maksudnya kepada Teungku Akob. Laki-laki tua itu mengangguk-angguk seraya tersenyum, “Itu perkara mudah, Yatim. Aku bisa melakukannya kapan saja. Tapi, ada ongkosnya!” katanya sambil tersenyum memperlihatkan gigi-giginya yang berbaris.
“Baiklah Teuku, kalau ongkos tidak masalah. Berapapun Teungku minta akan saya bayar, asalkan buatlah Halimah itu menderita!” kata Yatim dengan nada geram.
Teungku Akob segera mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan untuk menggunai-gunai Halimah. Tak lama kemudian Teungku Akob membaca mantra-mantra, mengirimkan bala kepada Halimah. Malam harinya bala itu telah sampai mengenai Halimah.
Halimah terkejut ketika merasakan perutnya begitu sakit. Perempuan itu segera bangkit menemui ibunya, “Bu, mengapa perutku sesakit ini, seperti orang datang bulan. Baru dua hari kemarin selesai nifas. Mengapa rasanya seperti datang bulan lagi!” keluh Halimah.
Selama tiga bulan faraj Halimah mengalami pendarahan. Sudah dicari obat-oabatan, bahkan pergi ke tabib, tak ada juga yang berhasil menghentikan haidnya. Halimah merasa cemas, hingga Nahkoda Kadir pulang ke rumah.
Halimah segera mengadukan peristiwa itu kepada suaminya. Nahkoda Kadir kecewa karena tak bisa melepas keinginannya bercinta dengan Halimah. Laki-laki itu turut sedih melihat penderitaan Halimah, penyakit apa gerangan yang menimpa istrinya.
“Abang Nahkoda, maafkan Halimah!” kata Halimah sambil menitikkan air mata.
“Tak apa, penyakit itu datang bukan kehendakmu. Baiklah sekarang aku pergi mencarikan obatnya!”
Nahkoda Kadir termenung-menung di depan rumahnya. Mengingat-ingat tabib-tabib yang pernah dikenalnya selama berlayar.
“Seingatku di Pulau Penang ada seorang tabib India yang pandai mengobati segala penyakit. Baiklah besok aku berlayar kesana, biar kubawa Halimah!”
Kabar keberangkatan Nahkda Kadir bersama Halimah ke Pulau Penang terdengar oleh Yatim. Mereka berangkat ke Penang bukan untuk berniaga melainkan mencari obat untuk sakit Halimah. Yatim merasa cemas, sebab tabib yang tinggal di Penang terkenal pandai dan bisa mengembalikan tenung. Lebih tinggi ilmunya dibanding ahli nujum Teungku Akob.
“Aku cemas, jika bala itu dikembalikan. Pasti aku juga yang akan kena. Lebih baik kucegah mereka berangkat ke Penang!”
Yatim buru-buru datang ke rumah Nahkoda Kadir,
“Nahkoda, aku dengar kalian berdua akan pegri ke Penang mencari tabib, benarkah?” Tanya Yatim.
“Ya, esok pagi kami berangkat! Sebelum sakit Halimah bertambah parah!” jawab Nahkoda Kadir.
“Bagaimana kalau ditunda dulu. Aku dengar di sini ada pula seorang tabib yang pandai menyembuhkan berbagai penyakit. Bagaimana?” kata Yatim.
“Kau mau mencarikannya!”
“Tentu saja mau, saya datang kemari untuk menawarkan bantuan!”
“Baiklah kalau begitu akan kuurungkan berlayar ke Pulau Penang. Carikan obat untuk istriku!”
“Itu soal mudah Nahkoda, tapi membutuhkan uang banyak. Sebab aku lihat sakit istrimu sudah berbulan-bulan!”
“Boleh saja, saya punya itu uang, asalkan Halimah bisa sembuh. Berapa kamu minta uang, saya kasih!” kata Nahkoda Kadir kepada Yatim.
Yatim meminta uang, jumlahnya banyak, hampir sama dengan biaya perjalanan ke Pulau Penang. Nahkoda Kadir meluluskan semua permintaan itu.
Setelah menerima uang Yatim langsung menuju ke rumah Teungku Akob.
“Teungku, sembuhkanlah Halimah. Setelah itu, buatlah Halimah tergila-gila padaku dan membenci Nahkoda Kadir itu. Berapapun akan saya bayar. Lihatlah aku bawa banyak uang!” Yatim memamerkan uang di dalam poket besar yang didapat dari Nahkoda Kadir.
Melihat banyaknya uang itu Teungku Akob amat tertarik. Laki-laki tua itu segera menyiapkan bahan-bahan.
“Baiklah, sekarang penyakit Halimah itu sudah sembuh. Aku buatkan ramuan ini. Campurkan minyak ini dengan minyak rambut Halimah. Jika digunakan maka rasa bencinya kepada Nahkoda akan timbul, perlahan-lahan dia akan tertarik padamu!”
“Baiklah Teungku!” Yatim segera memberi Teungku Akob separuh uang yang didapat dari Nahkoda Kadir.
Saat itu juga penyakit Halimah telah sembuh. Nahkoda Kadir amat bahagia karena Halimah sudah sembuh. Laki-laki itu menemui Yatim untuk mengucapkan terima kasih.
“Terimakasih sobat, berkat bantuanmu sembuhlah penyakit istriku. Esok hari aku tinggal lagi untuk berlayar. Hatiku sudah tenang karena Halimah kini sudah sehat!” kata Nahkoda sambil menepuk bahu Yatim. Yatim tersenyum-senyum.
Esok paginya, Nahkoda Kadir berpamitan dengan istri dan ibunya. Nahkoda itu telah berjani dengan Gulam Ahmad akan mengantar barang dagangan ke Pulau Penang.
“Apa tak bisa Abang menundanya barang sehari dua hari!” bujuk istrinya.
“Tidak bisa, aku terlanjur berjanji dengan Gulam Ahmad, jika sampai terlambat saudagar itu akan berpindah ke lain pedagang. Akan berkuranglah langganan kita!”
“Baiklah Abang. Akan kutunggu sampai kau pulang!”
Pagi itu juga Nahkoda Kadir bertolak ke Pulau Penang, memimpin awak-awak perahunya.
Siang harinya ketika Halimah sedang istirahat tidur siang, diam-diam Yatim memasuki rumah Halimah. Laki-laki itu menuju ke bilik tidur Halimah. Tak ada yang melihat kedatangannya. Halimah dan ibunya tengah tertidur lelap.
“Aku harus mencampur minyak ini dengan minyak rambut Halimah. Nanti seusai keramas pastilah Halimah akan tergila-gila padaku. Pelan-pelan Kadir akan disingkirkannya!” kata Yatim.
Yatim segera mengambil minyak rambut yang ada di atas meja kemudian discampurnya dengan minyak pemberian Teungku Akob.
Nahkoda Kadir berdagang di Pulau Penang. Setelah barang dagangannya laku dibeli orang, kali ini Nahkoda banyak membeli barang-barang perhiasan yang indah serta kain-kain halus dari India dan sutera China. Barang-barang yang dibeli untuk Halimah lebih bagus dibanding yang sudah-sudah.
“Pastilah istriku sangat senang, semoga cepat menyembuhkan sisa-sisa sakitnya.”
Nahkoda Kadir sangat mencintai Halimah. Di sepanjang pelayaran hanya Halimah saja yang senantiasa diingat-ingatnya.
Dalam waktu sepuluh hari, perahu bot Nahkoda Kadir telah tiba lagi di Kuala Raja. Nahkoda Kadir segera menuju ke rumahnya.
“Halimah, ini Abang. Bukakan pintu!” kata Nahkoda Kadir sambil mengetuk pintu.
Tak ada sahutan suara dari dalam rumah, hanya terdengar suara ibunya yang batuk-batuk. Kembali Nahkoda Kadir mengetuk pintu, kali ini lebih dikeraskan. Tak ada pula sahutan dari dalam. Nahkoda Kadir pura-pura turun, langkahnya dibikin keras menghentak-hentak lantai kayu supaya Halimah mendengar. Tak ada juga sahutan dari dalam rumah.
“Telah tidurkah Halimah! Masa tidak mendengar sedikitpun suaraku!”
Nahkoda Kadir segera menuju ke sumur, membasuh kakinya. Sengaja tali timbanya ditariknya kuat-kuat sehingga menimbulkan bunyi yang keras, namun tak jua Halimah keluar dari rumahnya.
Halimah mendengar suaminya berteriak-teriak memanggilnya, setelah itu disusul bunyi berderak-derak lantai kayu, bunyi timba yang melengking-lengking. Perempuan itu enggan keluar, melingkarkan tubuhnya sambil membenahi selimutnya. Lampu bilikpun sengaja dibiarkan mati. Suara suaminya tak didengar. Ada perasaan benci terhadap Nahkoda Kadir. Perempuan itu kini percaya suaminya suka melacur di mana-mana.
“Memang adat orang Keling seperti itu!” pikirnya.
Sudah lelah Nahkoda Kadir memanggil, naik turun tangga, tak mau juga istrinya membukakan pintu. Rasa kantuk menyerangnya. Nahkoda Kadir segera pergi ke samping rumahnya. Di sana dia duduk dulu beristirahat sambil menunggu pintu dibuka. Jengki itu yang sering digunakan untuk menumbuk padi. Ada setumpukan sekam padi. Karena sangat lelahnya Nahkoda Kadir merebahkan tubuhnya di atas sekam itu. Lama-kelamaan tertidur pulas. Hingga siang hari Nahkoda Kadir masih terlelap.
Saat itu tetangganya hilir mudik melewati rumah Nahkoda Kadir. Mereka melihat Nahkoda yang masih tertidur lelap di atas sekam.
“Halimah, lihatlah suamimu tidur dalam sekam!” kata salah satu tetangganya.
Mendengar berita itu tetangganya berdatangan ke rumah Nahkoda Kadir, melihat Nahkoda Kadir yang masih tertidur pulas di atas sekam. Halimah segera turun dari rumahnya. Sangat terkejut ketika melihat banyak orang berkerumun seraya menyebut-nyebut suaminya Nahkoda Sekam. Karena mendengar keributan itu Nahkoda Kadir terbangun. Ada perasaan malu karena dirinya menjadi tontonan orang.
“Semalam saya pulang, kenapa engkau tidak mau membuka pintu? Kamu tidak menghiraukan saya lagi. Jika kau tidak menyayangiku, aku pun bisa meninggalkanmu! Saya akan bercerai denganmu!” Ancam Nahkoda Kadir kepada istrinya. Melihat Nahkoda Kadir marah-marah, satu per satu tetangganya meninggalkan rumah itu.
“Abang Nahkoda, aku khilaf!” kata Halimah setelah ingat suaminya.
“Mengapa semalam aku sangat membencinya,” pikirnya sambil diliputi perasaan menyesal.
Pagi itu juga Nahkoda Kadir pergi ke kantor Penghulu. Tempat itulah dirinya pernah melakukan ijab kabul perkawinannya dengan Halimah. Nahkoda Kadir bermaksud mengajukan cerai.
“Ampun Daulat Raja,” kata Nahkoda Kadir sambil mengangkat kedua tangannya, “Saya datang kemari bermaksud menceraikan istri saya. Halimah, anak Pak Majid tak sudi lagi kepada saya. Saya akan menceraikannya. Sepulang saya dari berdagang ke Pulau Penang dia tak membukakan pintu hingga saya tertidur di dalam sekam. Alangkah dihinakannya saya. Orang-orang menyebut saya Nahkoda sekam. Saya sangat malu Tuanku! Lebih baik istri saya yang tidak setia itu saya ceraikan sekarang ini juga!”
“Begini Nahkoda, “ kata Penghulu, “Sekali ini harus kau ampuni kesilafan istrimu, berdamailah lagi dengannya. Untuk sekali dua kamu coba memaafkan, nanti jika terulang ketiga kalinya baru boleh kau ajukan perceraian!” kata penghulu memberikan nasihat.
Nahkoda Kadir mengangkat kesepuluh jarinya di atas kepala, “Saya tidak akan mencabut perkataan saya. Saat ini juga Halimah saya ceraikan. Saya tidak akan pulang lagi ke rumah Halimah. Biarlah semua harta benda untuknya. Saya akan mencari istri yang setia!”
Penghulu terpaksa menuruti keinginan Nahkoda Kadir. Penghulu tak bisa lagi mendamaikan mereka. Akhirnya penghulu mengirim surat cerai yang telah ditandatangani Nahkoda Kadir kepada Halimah. Jatuhlah talak atas Halimah.
Halimah terkejut ketika mendapat surat cerai itu. Tak diduga sebelumnya Nahkoda Kadir benar-benar telah menceraikannya.
Seusai dari kantor hulubalang, Nahkoda Kadir datang ke rumah mertuanya, Teungku Majid.
“Bapak, hari ini Halimah telah saya ceraikan, telah putuslah hubungan di antara kami berdua! Semua perhiasan dan harta benda tidak akan saya minta. Biarlah rumah itu ditempati Halimah dengan ibunya!”
“Anakku, mengapa buru-buru kau memutuskan hal itu?” Tanya Teungku Majid dengan heran. Laki-laki itu tidak menginginkan anaknya bercerai dengan Nahkoda Kadir.
“Semua sudah terlanjur, sudah saya pikirkan masak-masak. Halimah tidak setia kepada saya, untuk apa saya menyayangiya. Saya tidak senang lagi. Saya akan kawin dengan orang lain yang benar-benar mencintai saya dan saya mencintainya pula!”
Teungku Majid tak dapat mencegah keinginan Nahkoda Kadir. Saat itu juga putuslah hubungan silaturahmi mereka. Halimah sedih, berhari-hari meratapi kesedihannya. Melihat peristiwa itu Yatim amat gembira.
Setelah perceraian, Nahkoda Kadir mengumpulkan barang-barang dagangan untuk dibawa ke Pulau Penang. Bersama awak-awak kapalnya laki-laki itu segera berlayar meninggalkan Kuala Raja. Dia telah bersumpah tak akan kembali ke Kuala Raja. Setelah pulang dari Pulau Penang, Nahkoda Kadir berlabuh dan menggelar barang dagangannya di Lueng Putue.
“Di sinilah akan kucari seorang istri yang setia,” pikirnya.
Namun, selama berdagang dan tinggal di Lueng Putue tidak ditemukan perempuan yang mencuri hatinya. Nahkoda Kadir meninggalkan Lueng Putue dan bergerak ke daerah Meureudu. Di Meureudu Nahkoda Kadir berkenalan dengan Tuan Musa. Tuan Musa seorang sudagar India yang kaya raya.
Mulailah Nahkoda Kadir bekerja sama dengan saudagar itu. Tuan Musa tertarik dengan keuletan Nahkoda Kadir, maka Nahkoda Kadir dikawinkan dengan anak perempuannya bernama Latifah. Hasil perkawinan ini memperoleh tiga anak, dua orang laki-laki dan seorang perempuan. Seorang anak laki-lakinya dikirim ke India supaya menuntut ilmu, sedang yang lainnya tinggal bersama ibunya.
Nahkoda Kadir menetap di Meureudu. Di sana perniagaannya mengalami kejayaan. Toko-tokonya banyak, berjualan aneka jenis barang dari murah hingga sangat mahal. Nahkoda Kadir membeli barang-barang dari perahu-perahu dagang yang singgah di kota itu. Lama-kelamaan Nahkoda Kadir diangkat menjadi syahbandar. Nahkoda Kadir mendirikan istana yang megah, ditempati istrinya dan kedua anaknya yang bernama Nazar Syah dan Ali Akbar. Keluarga Nahkoda Kadir terkenal karena sangat kaya raya dan dermawan. Semakin banyak harta yang disedekahkan maka rezekinya akan datang berlipat ganda.
Suatu hari, Nahkoda Kadir berlayar lagi ke tempat lain. Perahu dagangnya mendaratlah sampai di Sigli. Di sana kawin lagi dengan perempuan Aceh keturunan India bernama Biyah. Perempuan itu berasal dari Kampung Kramat. Bersama istrinya, Nahkoda Kadir membangun dua pintu toko di jalan Gam Masjid. Demikianlah, perniagaannya maju pesat seperti di Meureudeu. Pada akhir hayatnya Nahkoda Kadir menderita penyakit kusta. Meski telah diusahakan berbagai pengobatan, penyakit yang dideritanya tak bisa disembuhkan hingga akhirnya meninggal di Pasi Lhok.
Sumber: https://aning99.wordpress.com/page/1/
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dala... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |