|
|
|
|
5_Bayan Budiman Tanggal 19 May 2018 oleh Sobat Budaya. |
Pada zaman dahulu, daratan Aceh dihuni sebuah negeri makmur kaya raya, bernama Negeri Santarira. Negeri itu diperintah oleh seorang raja besar termasyhur keagungannya. Daratan-daratan subur, hutan, dermaga pelabuhan dan samudra yang luas berada di bawah kekuasaannya. Raja Santarira menjadi raja yang paling meugah. Wilayah kekuasaannya meliputi Pasir Putih Ayam Denah, yaitu daerah Riau, antara Sabang dan Pulau Andaman diberi nama Durian Tokok Raja, yakni durian yang ditanam dan ditandai oleh raja sebagai bukti bahwa daerah tersebut berada di bawah pemerintahannya.
Raja Santarira memiliki tiga anak laki-laki. Diantara ketiga anaknya, anak kandungnya hanyalah seorang, diberi nama Sultan Parisi. Anak yang kedua adalah anak seorang menteri, diberi nama Nizam. Sedangkan anaknya yang seorang lagi adalah anak saudagar besar, diberi nama Aria. Ketiga anak laki-laki itu lahir pada waktu dan hari yang sama. Raja Santarira mengasuh ketiga anak itu layaknya anak kandung sendiri, tidak dibedakan satu dengan lainnya. Seluruh rakyat Santarira tidak membedakan ketiganya, tidak ada celah dan cela mana yang anak raja, anak menteri dan anak saudagar. Ketiga putra itu berwajah elok tampan, layaknya anak keturunan raja-raja besar.
Ketiga anak itu sejak bayi diasuh di dalam istana. Seperti adat anak-anak raja, ketika menginjak muda belia Raja Santarira menyuruh ketiga anak itu mengaji ke Negeri Timur.
“Anaknda, kalian telah menginjak dewasa, tiba saatnya meninggalkan istana, mengaji agama, ilmu peperangan dan seluk beluk kehidupan! Pergilah kalian bertiga ke Negeri Timur!” Perintah Raja Santarira.
“Ayahanda! Di mana Negeri Timur itu? Hamba bertiga belum pernah meninggalkan istana, tidak mengetahui dimana Negeri Timur!” Kata Sultan Parisi.
“Berjalanlah kalian ke arah Timur, menumpanglah sebuah kapal dagang menuju negeri itu! Daerah itu bernama Tanjung Balai. Berada di wilayah Asahan. Daerah itu dikuasai Raja Asahan. Di sana banyak orang-orang pandai yang akan mengajar kalian ilmu peperangan dan ilmu sebagai bekalmu menempuh kehidupan dunia dan akhirat!”
Setelah memberi restu, Raja Santarira beserta permaisurinya merestui kepergian anaknya. Setelah mencium tangan ayah bundanya ketiga anak itu meninggalkan kerajaan Santarira, tanpa pengawal dan harta benda. Mereka membawa bekal secukupnya. Dengan berjalan kaki ketiga anak itu menempuh perjalanan. Mula-mula mereka menyusuri sepanjang jalan besar di tengah kota. Tak ada yang mengetahui ketiganya anak raja Santarira. Pakaian mereka sederhana, layaknya pakaian rakyat jelata. Masing-masing menggendong bekal layaknya pengembara. Setelah habis menyusuri jalan-jalan kota, mereka menelapak kampung-kampung dan hutan rimba. Selang berhari-hari tibalah mereka di tepi pelabuhan.
“Kanda, kita telah sampai di pelabuhan! Perahu manakah yang akan membawa kita ke Tanjung Balai?” Tanya Nizam kepada Sultan Parisi.
“Sebaiknya kita cari kabarnya dulu!” usul Aria.
“Ya, tunggulah kalian berdua di sini! Akan kutanyakan kepada awak perahu itu!” Kata Sultan Parisi. Kedua saudaranya menunggu di tempat itu, sambil beristirahat menikmati udara pelabuhan.
“Sungguh mulia Ayahanda kita mengirim ke Negeri Asahan! Jika tidak, kita akan terkurung di dalam istana. Tak akan kita temui hiruk pikuk seperti ini!” Kata Nizam kepada saudaranya.
Mereka serasa menemukan kehidupan yang baru. Berbeda sekali dengan adat kehidupan istana. Kedua anak itu menyaksikan perahu-perahu besar memuat dan menurunkan barang-barang dagangan. Di hadapan mereka berdiri sebuah perahu raksasa sedang memuat barang-barang dari darat. Kuli-kuli mengambil barang-barang dari dalam pedati-pedati yang dibawa para saudagar. Awak kapal sibuk mengatur muatan-muatan kapal. Ada pula kuda-kuda dan kereta yang turut serta dibawa ke atas kapal. Di bagian yang lain, perahu-perahu sedang menurunkan barang-barang. Perahu-perahu yang lain berjajar tenang di tepi dermaga. Tengah mereka menikmati hiruk pikuk suasana baru itu, Sultan Parisi mendekati mereka.
“Itulah perahu yang akan berangkat ke Negeri Asahan. Tak usah ditunda lagi kita berangkat sekarang!” Kata Sultan Parisi sambil menunjuk sebuah perahu raksasa yang siap berangkat.
Ketiga bersaudara itu segera meninggalkan daratan, mereka berjalan menuju sebuah perahu raksasa yang tertambat, siap dilepas dari dermaga. Setelah meminta izin awak perahu, mereka menaiki perahu itu, bergabung dengan penumpang-penumpang yang lain. Perlahan-lahan perahu raksasa itu meninggalkan dermaga Santarira, mengembangkan layarnya, menantang ombak samudra. Negeri Santarira kian tenggelam di kejauhan. Ketiga anak itu terkenang akan negeri dan ayah bundanya.
“Kanda, tidakkah kau merasa sedih, Santarira telah lenyap dari pandangan mata!” kata Nizam dengan mata berkaca-kaca.
“Aku pun begitu!” imbuh Aria.
“Adik, tak ada gunanya kita bersedih. Sebab kita berlayar meninggalkan Santarira untuk menuntut ilmu! Jangan cemaskan ayah dan bunda! Jika ada umur panjang pastilah kita kembali menjejak kampung halaman!” hibur Sultan Parisi kepada kedua adiknya.
Perahu dagang itu semakin jauh meninggalkan Santarira. Setelah berhari-hari berada di tengah lautan tibalah perahu itu mendarat di Pantai Asahan.
“Kita sudah mendarat di Pantai Asahan! Kepada siapa kita akan singgah?” tanya Aria sambil menuruni tangga kapal.
“Ingatlah pesan Ayahanda, sebaiknya kita berjalan menuju istana Raja Asahan! Ada baiknya kita singgah berlindung di tempatnya!”
Maka ketiga anak itu berjalan lagi menuju tengah daratan. Setelah melewati kota pelabuhan, mereka menyusuri jalan-jalan kampung. Pada sore harinya tibalah mereka di istana Raja Asahan. Raja Asahan bergembira menerima ketiga anak itu. Raja Asahan yang telah tua belum dikaruniai seorang anak pun, sehingga kehadiran tiga muda belia ini membahagiakan hatinya.
“Ada apa gerangan kalian datang ke sini dan dari mana asal usul kalian bertiga?” Tanya Raja Asahan sambil menatap ketiga anak itu.
Sultan Parisi segera menghaturkan sembahnya, “Ampun Tuanku, kami bertiga ini putra ayahanda Raja Santarira. Hamba Sultan Parisi dan kedua adik hamba Nizam dan Aria!”
Mendengar nama Raja Santarira, Raja Asahan sangat gembira. Ketiga anak ini tak lain putra sahabatnya. Negeri Santarira telah bertahun-tahun menjalin persahabatan dengan Asahan.
“Tinggallah di sini selama mungkin kalian ingin tinggal. Anggaplah istana sendiri. Anggaplah ayah bundamu sendiri!” Kata Raja Asahan dengan wajah berbinar-binar.
Selama berhari-hari ketiga anak itu tinggal di istana Raja Asahan. Dengan mudah ketiga anak itu menyesuaikan diri dengan kerajaan Asahan. Namun, mereka merasa heran tidak pernah melihat sang permaisuri.
“Ampun Tuanku, di mana sebenarnya Tuanku permaisuri. Hamba bertiga tidak pernah melihatnya?” Tanya Sultan Parisi usai jamuan makan malam.
Mendengar pertanyaan itu, Raja Asahan seperti mendengar dentuman petir yang mengoncangkan dada. Tenggorokannya tercekat hingga membuatnya tersedak. Pertanyaan yang ditakutkan itu akhirnya keluar juga dari mulut putra Raja Santarira.
“Anakku, sebaiknya jangan tanyakan hal itu!” Jawab Raja Asahan sambil memegang lehernya.
“Ampun Tuanku, Tuanku telah menganggap kami bertiga anak sendiri! Kami ingin mengetahui ibunda kami!” kata Sultan Nizam.
“Ampun Tuanku, sewaktu kami datang kemari, sebenarnya hanya ingin singgah melepas lelah barang sebentar sebelum meneruskan langkah ke Tanjung Balai. Oleh karena Tuanku sudah lanjut usia dan tiada berputra kami mau tinggal disini sampai Tuanku meninggal. Katakanlah kepada kami di mana ibunda permaisuri saat ini?” Aria mendesak Raja Asahan.
Sejenak Raja Asahan menenangkan pikirannya. Lelaki tua itu membenahi duduknya.
“Ayahanda, bukankah kami bertiga ini anak sendiri! Ceritakanlah kepada kami dimana ibunda raja?” Kata Sultan Parisi dengan suara lembut.
“Baiklah, kamu bertiga putraku sendiri, bukanlah orang lain. Kalau begitu, akan kuceritakan supaya kalian mengetahuinya. Anakku, permaisuriku sudah sembilan puluh sembilan orang!”
“Mengapa sebanyak itu permaisuri Ayahanda. Dimanakah mereka sekarang?” Tanya Sultan Aria.
“Semuanya telah meninggal tanpa diketahui sebabnya!” Jawab Raja Asahan dengan sedih, air matanya berlinang mengenang permaisuri-permaisurinya.
“Mungkin sudah kehendak Tuhan!” kata Raja Asahan.
“Ayahanda, biarlah mulai sekarang kami bertiga yang akan mencari sebab musababnya.
“Boleh, jika kalian bertiga ingin menolongku! Carilah penyebabnya. Dalam pikiranku mungkin ini kodrat iradat Tuhan!” kata Raja Asahan dengan sedih.
Setelah Raja Asahan istirahat ke peraduannya, ketiga anak itu segera berunding. Mereka mencari cara untuk mengetahui penyebab meninggalnya kesembilan puluh sembilan permaisuri Raja Asahan.
“Bagaimana kita harus memulainya?” Tanya Nizam kepada kedua saudaranya.
“Kita pikirkan bersama. Telah sembilan puluh sembilan permaisuri yang wafat! Semuanya sama, tak diketahui sebab musababnya!” Pikir Sultan Parisi.
Yang paling cerdas di antara ketiganya adalah anak termuda yang bernama Aria. “Permaisuri meninggal selalu setelah hari perkawinan. Ini penyebabnya. Ini yang menjadi kunci kita!”
“Ya, aku setuju! Itulah hal utama yang harus kita selidiki!” Lanjut Sultan Parsi.
“Kalau begitu bagaimana caranya?” Sahut Nizam.
“Mau tak mau sang raja harus kita kawinkan! Kita pilih seorang anak menteri sebagai pengantin perempuan. Pada saat putri itu tidur, kita berjaga-jaga. Kita lihat apa yang menjadi penyebab kematian permaisuri terdahulu!” Usul Aria.
Esok paginya ketiga anak itu menyampaikan hasil perundingan semalam. Raja Asahan kurang setuju dengan rencana itu.
“Aku merasa kasihan dengan calon permaisuriku. Perempuan itu harus mati di malam pengantin. Jikalau benar sudah seratus perempuan yang mati karena kawin denganku!” kata Raja Asahan dengan putus asa.
“Tidak begitu Ayah. Pada saat itu akan kita temukan penyebab kematiannya. Jika Allah mengaruniakan hidup kepada perempuan itu niscaya dia akan tetap hidup!” Sahut Sultan Parisi.
Raja Asahan menimbang-nimbang perkataan ketiga anak asuhnya.
“Benar juga yang kalian sampaikan. Jikalau putri itu diberi hidup niscaya dia tetaplah hidup bersanding denganku!”
“Kalau begitu, ambillah seorang putri dari menteri Ayahanda!”
Raja lalu mengambil anak perempuan perdana menterinya. Anak itu merasa sedih dan ketakutan. Ia sudah mengetahui setiap perempuan yang menikah dengan raja pasti akan mati keesokannya. Perintah Raja senantiasa dituruti. Perdana menteri dan istrinya berlinangan air mata ketika mengantar putri itu ke istana. Mereka dikawinkan hari itu juga.
Upacara ijab kabul segera dilaksanakan. Perdana menteri dan istrinya segera meninggalkan anak itu di istana. Dengan hati berat mereka meninggalkan anaknya. Hari itu dianggap hari kebahagian sekaligus perpisahan. Bahagia karena putrinya dikawinkan dengan Raja sekaligus sedih sebab esok tak akan terlihat lagi hidupnya.
Putri itu tinggal di dalam istana. Malam harinya putri itu tidur dalam peraduan permaisuri. Ketiga anak raja mulai berjaga-jaga. Tanpa sepengetahuan Raja Asahan mereka berjaga-jaga di depan peraduan sang putri.
“Jangan sampai di antara kita ada yang tertidur. Kita benar-benar amati!” kata Aria kepada kedua saudaranya.
“Ya, ambil ini!” Sultan Parisi melempar sebilah pisau kepada adiknya, kemudian dia mencontohkan.
“Sayat tangan kita sedikit. Setelah itu oleskan buah jeruk. Bila rasa pedihnya hilang kalian oleskan lagi, terus menerus supaya kita jangan tertidur.”
“Baiklah!” Aria dan Nizam mengikuti kakaknya. Ketiganya menyayat tangannya dan mengolesinya dengan buah jeruk. Jika rasa pedih hilang mereka mengoleskannya lagi. Begitu terus menerus supaya tak bisa tidur.
Sampai sepertiga malam terakhir mereka tetap berjaga. Hingga melihat seekor ular hitam naik ke loteng, melewati atap peraduan sang putri.
“Hei, lihat seekor ular hitam naik ke atas loteng!” Bisik Sultan Parisi kepada kedua adiknya.
“Ya, mungkin ini yang menyebabkan kematian permaisuri! Ayo kita kejar!”
Ketiga anak itu naik ke atas loteng mengikuti ular itu.
“Ya, benar ular ini berbisa. Inilah ular yang membunuh permaisuri!”
“Kita potong saja dengan pedang kita!” kata Sultan Parisi.
Ketiga anak itu bersama-sama membunuh ular itu. Dalam sekali tebas ular itu putus dan mati. Darahnya mengalir mendekati kamar permaisuri. Ketika ular itu mati sebagian darah memercik ke dada tuan putri. Putri yang sedang tertidur lelap tidak menyadari hal itu.
“Bagaimana ini? Sebagian darah ular mengenai dada Tuan Putri!” kata Nizam.
“Kita harus membersihkannya. Darahnya pun mengandung bisa. Bisa berbahaya jika tidak dibersihkan!” sahut Sultan Parisi.
“Ya, tapi bagaimana cara membersihkannya. Kita tidak berani.” kata Nizam.
“Mengapa tidak berani? Bukankah perempuan ini sekarang telah menjadi ibu kita? Kita usahakan menyelamatkan nyawanya supaya ibunda tetap hidup. Kita harus menyapu darah itu sebelum dia terbangun!” kata Aria.
“Ya, benar, memang dia ibu kita. Kalau kita sudah menyebutnya ibu maka sampai kapan pun dialah ibu kita. Kalau begitu kita harus membersihkannya!” sahut Nizam.
Ketiganya masuk ke dalam peraduan Tuan Putri. Mereka membawa sepotong kain untuk membersihkan darah yang terpecik ke dada tuan putri. Waktu mereka beramai-ramai membersihkannya tiba-tiba permaisuri bangun dan terkejut melihat ketiga anak itu sedang membersihkan dadanya.
“Hai anak celaka. Jadi ini keinginanmu mengapa aku dikawinkan dengan Baginda Raja? Kamu akan melakukan perbuatan yang tidak senonoh kepadaku? Anak tidak tahu balas.” Tuan Putri mencaci-maki ketiga anak itu.
Ketika itu hampir mendekati pagi. Istana menjadi gaduh dan ramai. Mendengar suara orang beramai-ramai Raja pun terbangun dari tidurnya.
“Hai, kenapa kalian ribut? Apa yang terjadi?”
Tuan putri segera menghadap, “Lihatlah ketiga anak angkat Baginda ini. Mereka mengawinkan saya dengan Tuanku karena ingin melakukan hal yang tidak senonoh kepada saya.”
“Apa maksudmu?” Tanya Raja.
“Semalam ketiga anak itu masuk ke bilik hamba. Hendak memperkosa hamba!” kata tuan putri.
Raja tidak menjawab apa-apa, “Sudahlah, jangan ribut lagi, besok pagi persoalannya kita bawa ke pengadilan. Biar hakim istana yang mengadili perkara ini!” kata Raja dengan sabar.
Setelah hari menjelang pagi, tabuh-tabuhan mulai terdengar, bunyi canang dan tambur berpadu bertalu-talu. Istana diramaikan dengan kerumunan orang. Sejak pagi sekali menteri-menteri dan hakim istana telah berkumpul di penghadapan. Mereka menanti sang raja. Ketika Raja datang memasuki penghadapan, tabuh-tabuhan semakin ramai dipukul. Raja segera duduk di singgasana dengan wibawanya. Pakaian kebesaran dikenakan. Raja diikuti ketiga anak angkatnya. Ketiga anak itu duduk di hadapan raja. Penghadapan itu lain dengan hari biasanya. Di istana itu akan diselenggarakan mahkamah peradilan.
Hakim istana telah menduduki mejanya. Menteri-menteri duduk di belakang ketiga anak raja itu. Mula-mula permaisuri mengadukan perkara semalam.
“Ketiga anak raja ini semalam akan melakukan hal tidak senonoh kepada hamba! Benar-benar anak tak tahu membalas budi. Telah lama Baginda Raja memeliharanya, seperti inikah balasannya,” kata putri kepada hakim negeri.
Ketiga anak itu tidak menyahut. Di sela-sela pengadilan itu mereka berbisik-bisik mengatur rencana.
“Kanda apa yang harus kita lakukan? Dengarlah, yang dikatakan sang putri fitnah semata” kata Nizam, “Apakah pasrah saja menerima hukuman!”
“Bagaimana menurutmu, Aria?” kata Sultan Parisi.
“Barangkali kita bisa meluruskan perkara ini dengan ilmu yang kita miliki. Hikayatkan saja Bayan Budiman supaya kita selamat!” usul Aria.
“Baiklah!” kedua kakaknya menyetujui.
Tuan Putri masih menceritakan pangaduannya, “Rupanya mereka menyuruh hamba kawin dengan Baginda supaya mereka dengan bebas berbuat tidak sopan dan kurang ajar kepada hamba. Hamba tidak bisa terima.” Kata permaisuri.
“Ini terserah kepada hakim negeri yang memutuskan perkaranya!” kata Raja Asahan sambil menangis. Raja itu merasa dipermalukan ketiga anaknya. Anak yang selama ini dipelihara dalam istananya ternyata mempunyai budi demikian.
Para kadhi, imam, perdana menteri, menteri dalam dan menteri luar negeri bersepakat.
“Ketiga anak ini patut diberi hukuman yang berat!” kata hakim negeri.
“Sebaiknya hukuman apa yang setimpal dengan perbuatan mereka?”
Mereka nampak sedang berpikir-pikir memutuskan hukuman itu.
“Sebaiknya ketiga anak ini kita jatuhi hukum pancung!” kata perdana menteri.
Ketiga anak itu terkejut setengah mati mendengar hukuman yang akan dijatuhkan kepada mereka.
Ketiga anak itu segera diarak ke tengah alun-alun. Para hulubalang telah menyiapkan tiang gantungan. Mereka dinaikkan ke atas panggung.
“Dengarlah hai rakyatku sekalian!” kata Raja Asahan dihadap seluruh rakyatnya, “Inilah contoh anak yang tidak tahu membalas budi, terlebih kepada Raja. Supaya menjadi pelajaran buat kalian! Tidak boleh tidak, meski ketiga anak ini anakku sendiri tapi hukum tetap dijalankan!”
Semua rakyat mengelu-elukan Raja Asahan. Terlebih para menteri dan imam. Mereka sangat menyetujui ketiga anak itu segera dihukum pancung.
“Cepatlah Raja jatuhkan hukum atas ketiga anak itu!” Suruh perdana menteri.
“Baiklah!” jawab Raja.
Raja memandang ketiga anaknya, “Hukum sudah diputuskan dan selesailah sudah. Bagaimana kalian bertiga, sudah siap menerima?”
“Ampun Baginda, hamba bertiga siap menerima hukuman apa pun! Namun, sebelum hukuman pancung dijatuhkan kepada kami, kami bertiga adalah anak dagang berlayar jauh dari seberang negeri. Izinkan kami bertiga bercerita sebelum menemui ajal. Setelah hamba bertiga bercerita jatuhkanlah hukum yang telah Tuanku tetapkan! Kami rela dipenggal leher kami” kata Sultan Parisi mewakili adik-adiknya.
“Baiklah, bagaimana pun kalian adalah anakku. Baiklah, berhikayatlah kami akan mendengar!” perintah Raja kepada ketiga anak itu. Raja menangis tersedu-sedu karena ketiga anak itu anak-anak yang terbaik.
Aria bercerita mewakili saudaranya. Aria tidak menyebutkan bahwa mereka berjaga-jaga pada malam pengantin. Mereka tidak menjelaskan terus terang bahwa ada seekor ular hitam akan mencelakakan nyawa permaisuri.
“Ada sebuah kisah, “kata Aria, “Bayan Budiman.”
Aria segera bercerita. Seluruh rakyat dan menteri-menteri yang berada di alun-alun itu terdiam, mendengarkan ceritera yang sama sekali belum pernah didengarnya.
Konon, hiduplah seorang raja besar memelihara seekor burung bayan. Bayan itu dipeliharanya sejak kecil. Ketika beranjak dewasa mulai terlihat bulu-bulunya tumbuh menarik hati. Burung itu ditaruhnya dalam sangkar emas di sebuah taman yang indah. Raja menyayangi burung itu. Konon, hanya raja sendirilah yang boleh memberinya makan minum. Hingga burung itu lama-lama menjadi semakin tua. Bulu-bulu cantiknya terlepas satu persatu, hingga gugurlah semuanya. Tak ada lagi sisa-sisa bulu cantik di sekujur tubuhnya. Raja lama-lama tidak menyayangi lagi burung bayan itu.
Tak ada gunanya lagi aku pelihara si bayan. Bulunya rontok, sudah tua. Baik kalau bulunya masih licin berkilau. Lihatlah, tidak menarik sama sekali,” kata Raja sambil mengangkat sangkar emasnya, menunjukkannya kepada permaisuri.
“Lebih baik kita lepaskan saja. Biar mencari rezeki sendiri. Tak patut dipajang di taman ini!” kata Raja.
“Ya, Baginda sebaiknya kita lepaskan saja, supaya terbang dan mencari hidupnya!”
Raja lalu membuka pintu sangkar. Burung itu diambilnya dari sangkar kemudian dilepaskan begitu saja.
“Pergilah, jangan kamu tinggal di sini lagi!” kata Raja. Hingga burung bayan itu melompat pagar taman, lalu terbang semampunya.
“Beginilah rasanya, jika tak ada guna lagi. Maka aku dibuang dicampakkan!” kata burung bayan sambil menangis.
Sukar baginya untuk terbang karena telah sekian lama dikurung dalam sangkar. Bayan itu meninggalkan istana raja, hinggap dari ranting ke ranting kayu hingga sampailah di dalam rimba. Sesampainya di dalam rimba, dia bertemu dengan burung-burung yang lain, namun tak ada yang menyapanya. Tak ada satu pun yang dikenali bayan. Hidupnya terasa sepi. Bayan tersedu-sedu sambil meratapi nasibnya yang malang.
“Beginilah nasibku, sudah tua, tak ada yang mau merawat, di sini aku tak mengenal siapapun. Tak ada gunanya lagi hidupku. Aku lapar, mencari makan aku tak bisa karena aku tak pernah mencari makan sendiri!” Bayan bercucuran air mata.
“Bagaimana aku mencari rezeki Ya Tuhan. Ya Tuhan cabutlah saja nyawaku!” kata bayan putus asa.
Berhari-hari bayan menangis. Siang malam berada di tempat itu. Tak ada burung-burung yang sudi menyapanya. Tubuhnya semakin renta. Tiba-tiba bayan melihat sebatang pohon dengan buah-buah yang telah masak. Bayan mengamat-amati pohon buah itu.
“Pohon apa ini?” Bayan mendekati pohon itu.
“Apakah dapat dimakan buah ini?” Bayan memetik satu buahnya.
“Kalau tidak salah ini pohon beracun, aku pernah melihatnya dalam mimpiku. Mungkinkah ini petunjuk supaya aku cepat mati,” pikirnya.
Bayan segera memakan buah itu. Tak lama kemudian tubuhnya merasakan sakit yang sangat, “Apakah benar aku akan mati? Sakit sekali badanku. Jikalau mati, matilah aku hari ini. Lebih baik mati daripada menderita!” Bayan tak kuat lagi, perlahan-lahan tubuhnya lemas. Bayan terjatuh ke tanah, terkapar tak berdaya.
Tiba-tiba kulit bayan yang sudah tua keriput berubah menjadi kulit muda yang kencang. Setelah itu tumbuh tunas-tunas bulu baru. Bayan terkejut. Dirinya segera melompat-lompat. Bulu-bulu baru muncul dari tubuhnya. Sekejap kemudian tubuhnya dipenuhi dengan bulu-bulu cantik, kembali muda seperti dulu lagi.
“Oh, ajaib sekali!” kata bayan sambil memutar-mutar tubuhnya.
“Mungkin yang aku makan adalah buah simuda-muda!”
Bayan lalu teringat dengan Tuannya., “Raja saat ini sudah tua. Aku dipelihara sejak masih kecil hingga tua begini. Aku dilepaskan karena takdir Tuhan lalu mendapatkan buah simuda-muda ini, sehingga aku menjadi muda seperti dahulu! Sebaiknya saat ini aku balas budi baiknya.”
Bayan memetik sebuah lalu dibawanya terbang ke istana. Tubuhnya yang muda dan kuat mempercepat terbangnya. Bayan hinggap di pintu tengah, tempat raja biasa duduk-duduk. Raja terkejut melihat seekor burung hinggap di hadapannya.
“Hai, siapa kau? Bayan muda?” tanyanya.
“Daulat Tuanku, hambalah bayan yang pernah Tuanku pelihara. Sekarang saya kembali ke istana.” Kata bayan bahagia.
“Benarkah kamu bayanku yang telah kuusir?” Tanya Raja terheran-heran. Ketika diusir bayan itu dalam keadaan tua renta tanpa bulu, kini kembali dengan keadaan yang jauh berubah.
“Benar Tuanku, hambalah bayan Tuanku!” jawab bayan.
Bayan lalu menceritakan peristwa yang menimpa dirinya.
“Hamba menginginkan supaya cepat mati saja. Tetapi hamba lihat sebatang pohon berbuah lebat. Hamba sangka itulah buah pohon yang beracun, karena itulah hamba memakannya sebiji. Tiba-tiba tubuh terasa sakit. Tak lama kemudian tubuh saya ditumbuhi bulu-bulu baru dan hamba menjadi muda kembali.”
“Begitu ceritanya?” Raja mengangguk-angguk mendengar cerita si bayan.
“Oleh karena itu saya kembali ke sini supaya dapat membalas jasa Tuanku. Saya bawa pulang barang sebiji. Jika Tuanku memakannya maka Tuanku akan kembali muda, seperti anak berusia 14 tahun.”
Raja menerima buah itu, “Baiklah, sekarang tinggallah kau di dalam istanaku!” Raja segera menangkap burung itu lalu memasukkannya lagi ke dalam sangkar emasnya.
Raja memikir-mikirkan perkataan bayan, “Jika aku makan buah ini pastilah aku kembali menjadi muda kembali. Tapi, jika aku sendiri yang memakannya dan istriku tidak maka aku akan menjadi muda, sedangkan istriku tetap tua! Lebih baik tak usah kumakan. Lebih baik kutanam saja,” kata Raja.
Buah itu dijadikannya bibit. Setelah tumbuh dan cukup besar buah itu ditanam di dekat taman. Buah itu dinamakannya buah simuda-muda. Batangnya semakin lama tumbuh semakin besar, bercabang-cabang dan mengeluarkan bunga. Raja sering datang untuk melihatnya. Melihat tanaman yang tumbuh subur itu Raja sangat bahagia.
“Ini cukup membuatku menjadi muda kembali,” katanya.
Dari hari ke hari Raja menunggu sampai pohon itu berbuah masak. Selama berbulan-bulan namun buah itu belum ada yang masak. Sekian lama Raja tidak mengunjungi tempat itu. Tanpa sepengetahuannya ada sebuah yang masak. Karena terlalu masak maka buah itu jatuh ke tanah. Buahnya berwarna sangat merah.
Ketika itu ada seekor ular yang lewat ke tempat itu. Waktu dilihatnya ada sebuah simuda-muda yang masak ular itu mematuknya. Setelah merasakan bahwa buah itu tidak enak ular itu segera pergi, meninggalkan buah itu.
Keesokan harinya Raja melihat buah itu, bentuknya sudah setengah hancur dan lunak. Raja memungut buah itu, “Ada sebuah yang sudah jatuh. Sebaiknya kuambil dan kumakan!”
Buah itu langsung dibawa masuk ke istana. Raja ingin sekali memakan buah itu. Warnanya yang merah mengkilat menggoda untuk merasakannya.
“Sebaiknya nanti dulu aku makan, bisa-bisa bayan itu telah menipuku. Bayan mengatakan ini buah simuda-muda karena dia sudah menjadi muda kembali. Tapi, bagaimana pun aku pernah membuat sakit hatinya, “pikir Raja sambil termangu-mangu memegang buah itu, kadang diambil kemudian diletakkan kembali. Begitu seterusnya.
“Biarlah aku mencobanya barang sedikit kepada ayam-ayamku.” Kata Raja.
Buah itu dipotongnya sedikit, berbentuk kecil-kecil sebagai makanan ayamnya. Raja mendekati kandang ayam-ayamnya, irisan buah itu segera ditebarkan. Raja mengamati ayam-ayamnya. Tak lama kemudian terlihat seekor ayam berkejit-kejit kesakitan, setelah itu disusul ayam-ayamnya yang lain. Lama-kelamaan ayam-ayam itu mati. Raja melihat satu persatu ayamnya. Sudah tidak bernafas dan kaku.
“Benarlah si bayan itu bayan haram jadah,” kata Raja. “Air susu dibalas dengan tuba. Dia bermaksud membalasku degan racun. Rupanya dia menginginkan kematianku. Jika ayam itu mati karena memakan buah ini niscaya aku akan mati juga jika memakannya.”
Dengan langkah cepat, Raja menuju tempat si bayan. Bayan sedang benyanyi-nyanyi di dalam sangkarnya. Melihat kedatangan sang Raja, bayan menghaturkan sembahnya. Namun, Raja tidak menyahutnya. Dengan muka merah padam Raja segera menyambar kandang emas itu, dibantingnya ke tanah lalu diinjak-injak dengan kakinya. Bayan amat terkejut. Tidak mengerti mengapa Raja berbuat demikian. Akhirnya sangkar emas itu hancur, bayan terinjak lehernya.
“Susu aku berikan, dengan racun kau membalasnya.” Kata Raja dengan kemarahan yang meluap. Bayan sempat mendengarnya sebelum menemui ajal.
Setelah peristiwa itu Raja segera menyuruh kepada rakyatnya supaya membuat pagar yang kuat untuk memagari pohon itu. Pohon simuda-muda itu berubah nama menjadi situba-tuba.
“Buatlah pagar serapat mungkin supaya tidak ada yang memetik dan memakan buah berbahaya ini!”
Pagar dibuat rapat dan tinggi hingga tak ada seorang pun yang bisa melewati pohon buah itu. Dalam sedikit hari pohon itu berbuah amat lebat, warnanya merah mengkilap. Menarik hati setiap orang yang melihatnya dari luar pagar.
Raja dan permaisurinya pun semakin tua. Setelah melihat istrinya menjadi tua renta, berkuranglah rasa sayang Raja kepada istrinya. Raja jarang sekali mengunjungi istana permaisurinya. Raja itu mempunyai seorang istri lagi yang jauh lebih muda. Oleh karena itu Raja tidak mengunjunginya lagi, tinggal bersama istri mudanya di balairung.
Tuan putri yang sudah tua menjadi sakit-sakitan, setiap hari menangis meratapi nasibnya sebab Raja tidak pernah pulang mengunjunginya lagi. Tuan putri itu menanggung rindu-dendam kepada Raja.
“Ya Tuhan, mengapa Raja tidak pernah pulang? Hati saya malu. Beginilah kalau sudah tua, akhirnya disia-siakan. Daripada menanggung aib lebih baik hamba mati.” Katanya sambil meratap. Perempuan itu duduk merenung-renung, mencari cara untuk bunuh diri.
“Jikalau Raja benar-benar sudah melupakanku, hari ini aku akan menemui ajalku!” tangisnya timbul lagi.
Di sela-sela kesedihannya, tiba-tiba permaisuri teringat kepada buah situba-tuba yang kini sudah berpagar rapat.
“Bukankah jauh di depanku sana ada tumbuh pohon simuda-muda!” pikirnya, “Meski orang tak boleh masuk aku akan mencoba menyelinap ke sana. Sekarang pohon sedang berbuah masak-masaknya! Biarlah aku makan buah situba-tuba itu. Aku bahagia jika mati karena memakan buah itu.”
Permaisuri segera turun dari istana. Malam itu juga berjalan menuju pohon situba-tuba. Tak ada pengawal jaga yang melihat kepergiannya. Permaisuri membabat pagar dengan parangnya. Setelah cukup untuk menyelinap, maka perempuan itu segera menyelinap.
“Aku petik satu yang matang,” bisiknya.
Permaisuri segera membawa pulang buah itu ke istananya. Sesampainya di istana, buah itu diletakkannya di atas meja. Permaisuri menangis sejadi-jadinya sambil menatap buah itu, “Aku akan mati sebab makan racun.” Katanya.
Buah itu dibelah-belah kemudian dimakannya sampai tak ada sisa. Setelah memakan buah itu, badannya merasa tidak enak, sendi tulangnya terasa sakit.
“Rupanya inilah rasanya orang mau mati.” Katanya sambil menahan rasa sakit.
Setelah rasa sakit itu hilang, tiba-tiba kulitnya yang keriput perlahan-lahan berubah menjadi kencang dan muda kembali. Permaisuri heran karena setelah rasa sakit itu hilang dirinya belum mati. Masih terkapar di dalam istana. Setelah dilihat kulitnya kencang kembali, putri itu tertegun-tegun.
“Benarkah ini aku, menjadi muda kembali?”
Permaisuri berdiri di depan cermin. Ternyata dirinya sudah cantik kembali, muda seperti usia 14 tahun.
“Bukankah saya tidak bermimpi? Oh, mungkin yang kumakan itu bukan buah situba-tuba, melainkan buah simuda-muda.”
Suatu hari, Raja menemui masalah besar. Masalah itu bisa dipecahkan asalkan menemukan sebuah surat wasiat yang pernah dibuat ayahnya. Raja tidak ingat lagi dimana menyimpan surat itu.
“Mungkin surat itu kusimpan di rumah istriku yang tua,” katanya.
Raja kemudian memanggil perdana menterinya, “Hai Perdana Menteri, pergilah ke rumah pemaisuriku, surat itu mungkin tersimpan di rumahnya. Tolong ambilkan surat yang tersimpan di dalam lemarinya dan bawa kemari!” perintah Raja.
“Baiklah,” sahut perdana menteri.
Perdana menteri pergi ke istana permaisuri. Sesampainya di sana, laki-laki itu sangat terkejut melihat seorang putri cantik di depan istana. Putri itu sedang duduk sambil merangkai bunga. Perdana menteri terkejut kemudian turun lagi.
“Hei perdana menteri, mengapa turun?” Tanya putri tiba-tiba.
“Apakah benar Tuanku permaisuri?” Tanya perdana menteri dengan was-was.
“Ya, akulah permaisuri! Ada perlu apa!”
“Tidak ada Tuanku!”
Perdana menteri segera meninggalkan istana itu, berlari-lari menghadap Raja, menghaturkan apa yang baru saja dilihatnya.
“Apa, permaisuriku menjadi muda kembali? Tidak mungkin!” kata Raja.
“Cobalah Baginda lihat sendiri. Hamba sebenarnya tidak yakin, tapi kenyataan. Tuan putri muda lagi seperti gadis 14 tahun.”
Mereka berjalan menuju istana permaisuri.
“Permaisuriku, coba katakan mengapa jadi begini? Mengapa menjadi muda kembali?” Tanya Raja.
“Karena Tuanku sudah lama menyia-nyiakan hamba, hamba menjadi putus asa, hamba merasa malu dan terhina. Lebih baik hamba mati. Hamba teringat, bukankah di sana ada pohon situba-tuba yang dibawa si bayan, yang pernah dikatakannya buah simuda-muda. Bukankah ayam-ayam Tuanku mati ketika memakan buah itu? Hamba mencurinya satu dari kebun Tuanku, hamba bawa pulang kemudian hamba makan semuanya. Dengan harapan hamba segera mati menemui ajal. Dengan takdir Tuhan, setelah hamba makan buah itu seperti inilah jadinya.” Kata permaisuri.
“Jadi, buah situba-tuba itu yang telah kau makan?”
“Ya.”
“Mungkin kau menipu saya!”
“Ampun Tuanku, tiada sekali-kali hamba berdusta. Buah itulah yang telah hamba makan. Kalau Tuanku tidak percaya, Perdana menteri petiklah satu buah itu, dipotong lalu dimakan.”
Perdana menteri menyelinap ke kebun lalu memetik buah situba-tuba itu sebanyak sebiji. Sesampainya di istana permaisuri, buah itu dipotong-potong. Raja lalu memakannya. Setelah Raja makan, badannya terasa sakit. Setelah rasa sakit itu hilang, badannya terangsang, tulang-tulangnya menjadi kuat, kulitnya yang keriput berubah menjadi kencang kembali.
Raja terheran-heran, melihat kulitnya yang muda kembali, tulang-tulangnya menjadi kuat, “Tidak mimpikah ini?” tanyanya.
“Bukankah hamba tidak berbohong?” Tanya permaisuri.
“Kalau begitu benarlah si bayan itu. Waktu menemukan buah itu saya tidak memeriksanya. Buah itu telah dimakan ular sehingga racunnya tertinggal. Lalu kuambil keputusan membunuh bayan itu. Ya Allah betapa aku menyesal. Besarlah dosaku kepada si bayan. Ya Allah, ya Tuhanku!” Raja menangis sejadi-jadinya, menyesal karena telah membunuh bayan tanpa diperiksa terlebih dulu. Meski dalam keadaan menyesal dan meratap-ratap Raja itu terlihat gagah karena telah menjadi muda kembali.
Aria sudah selesai menunaikan cerita penutupan itu, ”Itulah cerita si bayan budiman Tuanku, sekarang kami bersedia dihukum pancung. Kami rela dipenggal leher kami sekarang juga!” kata Aria.
Perdana menteri tiba-tiba menyela, “Ampun Daulat Tuanku, kita harus memeriksa dahulu perkara ketiga anak ini, jangan gopah-gopoh melakukan pekerjaan supaya kita tidak menyesal. Kita periksa dulu sebab musabab perkaranya. Kita periksa tempat kejadian semalam!”
“Sekarang, periksalah seisi istana, jika ada sesuatu yang bisa menjadi petunjuk yang ada hubungannya dengan kejadian semalam cepat katakan kepadaku,” perintah Raja kepada menteri-menteri dan pegawai istana.
Mereka segera berkeliling istana, memeriksa sudut-sudut istana dan parit-parit yang ada di dalam benteng. Tak ditemukan sesuatu yang mencurigakan di dalam istana. Ketika sampai di parit terapung-apung seekor bangkai ular hitam. Ular itu terpotong menjadi empat bagian. Itulah ular yang dibunuh ketiga anak raja itu. Karena yang memotong tiga orang maka bangkai ular itu terpotong menjadi empat bagian.
Keempat potong ular itu segera dihaturkan di depan Raja. Raja mengamati tubuh ular yang terpotong itu, “Hai anakku mengapa ada bangkai ular di parit di dalam istana. Aku yakin ini perbuatan kalian.!”
“Ampun Daulat Tuanku, kami menginginkan supaya mempunyai ibu. Oleh karena itu kami kawinkan Ayahanda dengan seorang anak perdana menteri. Semalam, kami berjaga-jaga, barangkali menemukan sesuatu yang menjadi penyebab matinya permaisuri ayahanda yang terdahulu. Biasanya peristiwa terjadi pada malam pengantin yang pertama. Kami diam-diam berjaga di depan bilik peraduan permaisuri. Pada sulus terakhir kami melihat seekor ular hitam menaiki loteng menuju ke dalam mahligai sang putri. Maka kami serentak memancung ular itu. Pedang kami masing-masing mengenai ular itu sehingga tubuhnya terpotong menjadi empat bagian. Ketika ular itu sudah terpotong tanpa sengaja darahnya memercik ke dada Tuan Putri. Karena tuan putri telah menjadi permaisuri Raja, maka kami menganggapnya sebagai ibu kami. Dengan sepotong kain kami bersihkan darah itu supaya jangan terlalu lama menempel ke dada tuan putri sebab darah ular itu mengandung racun mematikan. Waktu kami sedang menyapu darah itu tiba-tiba sang putri bangun terkejut dan kami dicaci-maki tanpa ditanyakan dahulu apa sebabnya. Itulah sebabnya ada bangkai ular di parit. Dan itulah sebabnya mengapa sampai sekarang permaisuri masih hidup”.
“Apakah benar seperti itu?” Tanya Raja, “Sekarang aku tanyakan kepada semua menteri yang ada di sini!”
“Mengapa kita menjatuhkan hukuman tanpa kita ketahui dahulu sebab musababnya. Tanpa memeriksa perkara sebenarnya, kita tidak berhak menjatuhkan hukuman. Beginilah akibatnya jika melakukan putusan tanpa diperiksa terlebih dulu! Sebaiknya kita urungkan perkara memalukan ini!” kata hakim negeri.
“Tapi, ada satu hal lagi yang perlu kita putuskan, bukan hanya perkara ketiga anak itu. Sebenarnya putri ini jangan kita kawinkan dengan Baginda. Jelas permaisuri tidak setingkat dengan raja. Inilah kata orang ‘pada panggang jangan diberikan kuah. Jika diberi kuah maka kuah itu akan berhenti. Dia tidak sesuai dengan raja, apalagi menjadi permaisuri. Kita urungkan dia menjadi permaisuri!” kata menteri kepala.
“Tidak layaknya seorang putri, apalagi permaisuri mencaci maki. Inilah maksudnya pada panggang jangan diletakkan kuah.” Kata hakim negeri.
Dalam persidangan itu diputuskan perkara perceraian Raja dengan anak menteri itu. Mereka masing-masing menjadi jada dan duda. Tuan putri dikembalikan kepada orang tuanya. Putri itu sangat menyesal karena telah memaki-maki ketiga anak raja itu. Ketiga anak raja itu tetap tinggal di istana. Mereka tetap bertekad akan meninggalkan istana untuk melanjutkan perjalanan mereka. Selama ini menuntut ilmu telah tertunda.
Mereka bertiga mengatakan maksudnya, “Daulat Ayahanda, sudah saatnya kami bertiga melanjutkan perjalanan ke Tanjung Balai!”
Dengan berat hati Raja melarang mereka, “Jangan pergi dahulu anakku! Ayah telah tua dan tak beranak. Tunggulah sampai aku meninggal!” katanya.
Negeri Asahan memiliki wilayah yang luas. Masih ada kerajaan-kerajaan kecil yang berada di bawahnya. Daerahnya membentang sampai di Tanjung Pura dan Langkat. Suatu hari Raja Langkat mengantarkan upeti kepada Raja Asahan, demikian pula Raja Tanjung Pura. Masing-masing mengantar pajak dan mempersembahkan seorang putrinya. Mufakatlah Raja dengan ketiga anak itu, Raja Asahan dikawinkan dengan Putri Langkat. Perkawinan diadakan dengan meriah. Semua berharap inilah permaisuri Raja Asahan yang terakhir.
“Sekarang keinginan Tuanku sudah tercapai, tiba saatnya kami bertiga melanjutkan perjalanan kami menuntut ilmu. Kami bertiga harus meninggalkan istana ini!” kata Sultan Parisi.
“Baiklah aku izinkan. Jika kalian akan melanjutkan perjalanan, salah satu diantara kalian harus tetap tinggal di sini bersamaku!”
Ketiga anak itu bermufakat.
“Kakandalah yang sebaiknya tinggal di sini, karena kakanda lah yang paling tua dan bisa mendampingi Raja!” usul Aria. Nizam pun setuju.
“Baiklah kalau begitu, aku harus melepaskan kalian!”
“Baiklah, kami berdua akan melanjutkan perjalanan menuntut ilmu!”
Di hari itu juga Sultan Parisi berpisah dengan adiknya. Sultan Parisi tinggal sebagai putra mahkota Negeri Asahan.
Selama bertahun-tahun raja kawin, tak ada lagi ular hitam yang mencelakakan istrinya. Mereka tinggal dengan damai tenteram di dalam istana hingga lahirlah seorang anak perempuan. Pendek cerita, setelah besar anak gadisnya dikawinkan dengan Sultan Parisi. Perkawinan ini menyebabkan hubungan Aceh dengan Asahan menjadi semakin baik. Setelah Raja Asahan meninggal yang menggantikannya tahta kerajaan adalah Sultan Parisi. Sultan Parisi menjadi Raja Asahan dan Asahan berada di bawah kekuasaan Aceh. Oleh karena itu Aceh berbatas dari Pasir Putih Ayam Denah sampai Durian Tokok Raja.
NAHKODA SEKAM
Pada zaman dahulu tersebutlah laki-laki bernama Nahkoda Kadir. Pekerjaannya berlayar mengarungi samudra dan singgah di pulau-pulau yang jauh, membawa barang dagangan yang laku dijual. Begitulah kehidupan Nahkoda Kadir, berdagang sekaligus menjadi nahkoda perahu botnya sendiri.
Suatu hari Nahkoda Kadir berlayar ke Pulau Penang. Perahu bot itu membawa barang dagangan dari Aceh. Rotan, damar, dan jernang telah dikepak dengan rapi. Nahkoda Kadir mengumpulkannya dari para pedagang setempat kemudian menjualnya ke Pulau Penang. Barang-barang dagangan ini laku keras karena tidak dijumpai di Pulau Penang.
Setelah berjam-jam mengendari perahu botnya. Nahkoda Kadir mendarat di Pulau Penang. Nahkoda Kadir memerintahkan awak perahunya supaya berjaga-jaga. Nahkoda Kadir berjalan ke darat mencari saudagar yang mau membeli barang-barangnya. Tak lama kemudian Nahkoda Kadir bertemu dengan seorang saudagar yang berperawakan seperti dirinya. Saudagar besar itu berasal dari India, bernama Gulam Ahmad. Nahkoda Kadir sendiri pada mulanya juga berasal dari India. Ketika mereka bertemu, seolah menemukan sahabat karibnya, sama-sama berasal dari India. Mereka lalu berbicara dalam bahasa Hindustan. Hanya mereka berdua yang tahu mengerti bahasa itu.
“Assalamu’alaikum,” sapa Nahkoda Kadir.
“’Alaikum salam,” jawab Gulam Ahmad seraya mengulurkan tangan dan memeluk Nahkoda Kadir.
“Bukankah Nahkoda berangkat dari Aceh? Pasti membawa barang-barang dagangan dari Aceh!” kata Gulam Ahmad.
“Ya, Saudagar. Saya berangkat dari Aceh. Saya bawa damar, rotan, dan jernang!” jawab Nahkoda Kadir.
“Sudah ada orang lain yang mau membeli barangmu itu?”
“Belum ada.”
“Kalau begitu, bawalah kemari barang daganganmu itu. Aku akan membelinya!” perintah Gulam Ahmad.
“Baiklah! Berapa Saudagar akan membelinya?”
“Jernang sekati akan kubeli 145 rupiah, damar 95 rupiah, rotan 65 rupiah per ikat. Bagaimana?” Tanya Gulam Ahmad.
“Baiklah, akan saya ambil!”
Nahkoda Kadir lalu beranjak menuju perahu botnya. Sungguh mujur nasibnya hari ini, setibanya di Penang sudah ada saudagar India siap membeli dagangannya. Anak buahnya segera diperintah untuk membongkar perahu bot yang berisi berikat-ikat barang dagangan itu.
“Angkutlah barang-barang itu kepada toko Gulam Ahmad!” perintah Nahkoda Kadir kepada anak buahnya.
Setelah semua beres, seluruh barang dinaikkan ke dalam motor prah untuk diangkut ke toko Gulam Ahmad.
“Periksa dan hitung dulu semuanya” perintah Nahkoda Kadir setelah sampai di depan toko Gulam Ahmad.
Barang-barang itu dikeluarkan, ada petugas yang memeriksa dan menghitung-hitung sambil membuat catatan. Sambil menunggu barang dagangan selesai dihitung Nahkoda Kadir masuk ke dalam toko Gulam Ahmad, melihat barang-barang yang dijual di dalam toko itu. Di toko itu semua barang lengkap tersedia. Toko Gulam Ahmad besar dan bertingkat. Pelayannya sangat banyak. Jenis barang dagangan bermacam-macam. Tingkat atas dengan tingkat bawah terdiri dari barang dagangan yang berbeda-beda. Lebih lengkap dibanding toko-toko yang berjajar di sampingnya.
“Lebih baik aku berbelanja di sini saja, sebab semua kebutuhan yang kuinginkan ada tersedia di sini!” pikir Nahkoda Kadir.
Nahkoda Kadir segera mengambil barang-barang yang diperlukannya. Kain, sabun, alat-alat rumah tangga. Semua diambilnya. Mula-mula tak ada keinginan membeli barang pecah belah, karena melihat toko itu menyediakan berbagai peralatan, Nahkoda Kadir tertarik untuk mengambilnya.
“Barang-barang ini sudah kita beli. Angkutlah nanti ke dalam perahu!” perintah Nahkoda Kadir kepada anak buahnya.
Mangkuk, piring, gelas, cambung dikemas dengan rapi supaya tidak pecah dalam perjalanan. Setelah rapi, barang-barang itu ditaruh di dalam peti. Nahkoda Kadir juga membeli peralatan dari tembaga. Barang ini langka di Aceh.
“Semua barang yang kamu ambil sudah saya perkirakan harganya. Macam-macam barang yang kau ambil. Ada barang halus mudah pecah, barang kasar, yang itu rombengan, “kata Gulam Ahmad sambil menunjuk barang-barang yang sudah dikemas, “Kira-kira semuanya berharga 250.000 rupiah. Setelah kuhitung harga damar, rotan dan jernang yang kau bawa, masih ada sisa uang 36.000. Bisa kau tukar lagi dengan barang, atau kau ambil uangnya juga boleh!”
“Saya kira sudah cukup. Barang-barang ini sudah lengkap. Uang sisanya saya bawa pulang saja. Nanti jika ada barang lagi saya akan beli lagi.”
“Ya, sebaiknya kita kerjasama, jika Saudagar membawa damar, rotan atau jernang bawalah kesini lagi! Kalau ada papan juga boleh bawa ke sini. Kalau ada papan yang lebih bagus, bawa juga kesini, meskipun mahal saya akan membelinya!” kata Gulam Ahmad.
“Ya, saya ada tukang kayu di Aceh. Berapa ukuran papan yang Saudagar inginkan?” Tanya Nahkoda Kadir.
“Kira-kira tebalnya 1 inci, lebarnya 8 inci, dan panjangnya 5,5 meter. Saya akan membeli papan itu 175 rupiah. Langsung saya bayar. Bagaimana?”
“Ya. Besok saya bawa!”
Setelah berbicara dengan Gulam Ahmad, Nahkoda Kadir segera meninggalkan toko itu. Barang-barangnya diangkut ke dalam perahu botnya. Anak buahnya segera mengepak barang-barang itu, diaturnya di dalam kapalnya yang kecil.
“Jika kau ringkas mengaturnya pasti perahuku bisa memuatnya!” kata Nahkoda Kadir kepada anak buahnya yang sedang menarik tali-tali, supaya perahu kecil itu mampu memuat barang dagangannya.
Setelah barang-barang memenuhi perahu, anak buah Nahkoda Kadir mencari bekal untuk pelayaran mereka kembali ke Aceh. Mereka mencari beras, roti dan minuman.
“Nanti pukul delapan kita berangkat. Langit cerah, angin baik sekali hari ini, pasti pelayaran kita akan lebih cepat. Bagaimana?”
“Ya, semuanya sudah lengkap. Siap berangkat!” jawab awak kapalnya.
Pukul 08.30 malam angin Utara Timur Laut mulai berhembus. Angin ini yang membantu laju perahu mereka. Nahkoda Kadir siap mengemudikan perahunya. Mereka siap-siap berlayar ke Aceh. Perahu bot itu berpasang tiga keping layar bernama layer bulu ayam. Malam itu juga mereka berangkat. Mengarungi malam di tengah lautan, menantang ombak dan buih lautan. Perahu itu berlayar dengan lancar. Ketika pagi tiba mereka telah melewati Pulau Putih. Pada siang harinya telah tampak Gunung Geureudong.
“Lihatlah, sudah nampak puncak Gunung Geureudong. Empat jam lagi tentu akan sampai ke Kuala Raja!” kata Nahkoda Kadir.
“Ya, semoga angin kencang berhembus ke sana, supaya cepat laju perahu kita!”
Tujuan mereka adalah Kuala Raja (Panto Raja Sigli). Nahkoda Kadir bertempat tinggal di Peudeuk, Trienggadeng. Jika pulang, perahunya dilabuhkan di Kuala Raja.
Empat jam kemudian mereka tiba di Pelabuhan Kuala Raja. Nahkoda Kadir segera memerintahkan anak buahnya membongkar barang dagangan yang dibawanya dari Pulau Penang. Barang-barang itu dipindahkannya ke dalam motor prah. Esok paginya barang itu akan dijual di Pasar Aceh. Usai semuanya beres, Nahkoda Kadir segera pulang ke rumahnya, membawa oleh-oleh dari Pulau Penang. Dia pulang besama Apa Geumpa.
Apa Geumpa adalah jiran paling setia yang rumahnya berdekatan dengan Nahkoda Kadir. Mereka besebelahan. Anak buah kapalnya tinggal di perahu. Semua awak kapalnya bertempat tinggal di Meunasah Pucak, jauh dari pelabuhan.
Sesampainya di rumah, Nahkoda Kadir segera naik ke rumahnya. Diketuk-ketuk pintu rumahnya. Istrinya tinggal bersama orang tuanya yang menderita TBC. Setiap hari terbatuk-batuk. Pada malam hari jelas sekali suara batuknya. Nahkoda Kadir mendengar suara mertuanya sedang terbatuk-batuk.
“Apakah semua sudah tertidur?” kata Nahkoda Kadir sambil mengetuk pintu depan.
Istrinya yang sudah tertidur bangun ketika mendengar suara itu, “Coba Ibu dengar. Suara siapa di bawah? Sepertinya Abang Nahkoda!” kata istrinya ragu-ragu. Perempuan itu takut kalau-kalau datang orang merampok. Malam telah larut, hanya mereka berdua yang tinggal di rumah.
“Benar, itu suara Abangmu. Mungkin sudah pulang!” jawab Ibunya.
“Tak biasanya Abang Nahkoda pulang secepat ini! Biasanya berlayar lebih dari seminggu. Sekarang baru tiga hari sudah pulang. Aneh.” pikir istrinya.
“Halimah, rezeki itu tak bisa disangka-sangka. Jikalau memang sudah rezekinya pasti dengan mudah abangmu meraihnya. Cepatlah bukakan pintu,” perintah ibunya.
Nahkoda Kadir turun lagi dari rumahnya. Sambil menunggu pintu dibuka, laki-laki itu menuju ke sumur untuk mencuci kakinya, sebab adat di rumah itu, jikalau masuk ke rumah haruslah kaki dalam keadaan bersih dari najis. Nahkoda Kadir menimba air, menggoyang-goyangkan timba supaya suaranya nyaring didengar.
Istrinya segera menyalakan lampu lalu memasangnya, lalu membukakan pintu.
“Sudah pulang Abang?” katanya.
“Ya!” jawab Nahkoda Kadir.
“Secepat ini?” Nahkoda Kadir tidak menjawab.
Usai mencuci kakinya, laki-laki itu naik lagi ke rumahnya, “Kamu rumah tinggal, saya laut pergi, kapal angin bawa. Nasib, untung ada baik, kalau itu angin sudah putar tadi saya tidak pulang sini”. Nahkoda Kadir berbicara dengan struktur bahasa India. Halimah geleng-geleng kepala sambil kebingungan karena tidak mengerti maksud suaminya. Kebetulan istrinya agak bodoh, tidak mengerti bahasa Hindustan meski Nahkoda Kadir sering mengajarinya. Nahkoda Kadir menceritakan perjalanannya dari Pulau Penang. Jika angin laut tiba-tiba berputar haluan makan dirinya tak akan sampai secepat ini.
“Mengapa lama sekali kaubuka pintu? Asyik sekali tidur di rumah!” kata Nahkoda Kadir.
Istrinya tidak menjawab. Barang bawaan suaminya segera dibawanya ke dapur.
“Banyak sekali barang yang Abang bawa!” sahut istrinya.
“Ya, sebaiknya kau masak ikan itu, aku lapar sekali!” kata Nahkoda Kadir.
Halimah pun lalu memasak ikan itu. Nahkoda Kadir menunggu sambil duduk-duduk di ruang tengah.
Kebetulan di loteng rumahnya tersimpan kulit yang sudah mengering. Pada malam hari, tikus-tikus asyik berkejaran di dalam kulit itu.
Nahkoda Kadir berkata, “O…hayu kreh kro para kre kro cupak kareng belakai keumah, seungap mie balen!”
Nahkoda Kadir menyangka kucing sedang ribut-ribut di atas loteng.
“Apa yang diucapkan Abangmu?” Tanya mertuanya kepada Halimah yang sedang memasak.
“Tidak tahu Bu!”
Halimah lalu bertanya kepada Nahkoda Kadir, “Apa yang baru saja Abang ucapkan?”
“Kamu tidak tahu ya, ada kucing ribut-ribut di atas loteng.”
“Itu bukan kucing, tikus sedang asik bermain di dalam gulungan kulit!” kata istrinya. Setelah mereka mengusir tikus itu hidangan telah disiapkan. Nahkoda Kadir makan dengan lahap ditemani istrinya.
Esok paginya, setelah selesai mandi dan sarapan pagi, Nahkoda Kadir duduk-duduk di beranda rumahnya sambil berbincang-bincang dengan istrinya. Nahkoda Kadir menceritakan pertemuannya dengan Saudagar Gulam Ahmad.
“Seluruh barang bawaan dari Aceh dibeli oleh Gulam Ahmad itu. Saudagar itu amat jujur dan mulailah hubungan baik denganku! Semua barang-barang dari Penang kubeli dari tokonya yang besar. Hari ini aku harus mengantar barang-barang dagangan itu ke pasar.”
“Baiklah kalau begitu, semakin lancar rezeki Abang Nahkoda. Kapan lagi Nahkoda akan berlayar?” tanya Halimah.
“Sekarang dengarkan lagi apa yang akan saya katakan! Lima hari lagi, pada hari Sabtu aku akan berangkat lagi ke Penang. Ada barang pesanan yang harus aku antar ke sana. Kamu tinggal di rumah baik-baik. Uang belanja aku tinggalkan secukupnya. Selama saya tidak pulang, kamu jangan berbuat serong dengan laki-laki lain!”
Istrinya amat terkejut mendengar pesan itu, “Mengapa Abang seperti ini sekarang? Apakah pernah saya berbuat serong?” katanya dengan agak marah.
“Tidak Halimah, aku percaya kau istriku yang setia. Itu hanya peringatan supaya kau lebih hati-hati sebab aku tak bisa menjagamu setiap waktu!” tandas Nahkoda Kadir.
“Baiklah Abang! Akan kuingat pesanmu.” Jawab Halimah.
Setelah agak siang, Nahkoda Kadir meninggalkan rumahnya. Barang-barang yang telah diturunkan dari perahu segera dibawanya ke pasar. Anak buahnya mengangkut barang-barang itu kemudian disetor ke toko-toko. Nahkoda Kadir mengawasi kerja mereka. Setelah semua beres, Nahkoda Kadir mendatangi tukang kayu yang dikenalnya dengan baik. Laki-laki itu segera memesan papan yang telah dipesan Gulam Ahmad.
Nahkoda Kadir bertetangga dengan seorang anak muda bernama Yatim. Usia Yatim lebih muda dari Nahkoda Kadir, hampir sebaya dengan Halimah. Sejak kecil, Yatim terkenal nakal. Teman-teman bermainnya sering dipukul atau dicurangi. Perangainya juga jahat, suka menghasut dan merayu gadis-gadis kampung.
Halimah memiliki banyak perhiasan, gelang, kalung, cincin, anting-anting. Setiap Nakhoda Kadir pergi berlayar pastilah Halimah dibawakan oleh-oleh kesayangannya. Sebab Nahkoda Kadir sangat mencintai Halimah.
Yatim merasa iri melihat Halimah memiliki banyak perhiasan, tak pernah kekurangan uang mesti setiap hari kerjanya hanya duduk-duduk saja di rumah. Yatim berpikir, bagaimana caranya merayu Halimah supaya mau menjadi istrinya.
“Aku harus menyingkirkan si Kadir!” gumamnya sambil mencari cara.
Laki-laki itu sedang duduk-duduk di teras rumahnya sambil memandangi rumah Nahkoda Kadir.
“Lebih baik datang ke sana, bukankah Nahkoda sedang berlayar ke Penang!” kata Yatim dengan semangat. Laki-laki itu segera berjalan ke rumah Halimah, pura-pura bermain.
“Halimah, sedang apa kau?” sapa Yatim.
“Oh, Bang Yatim. Sedang menunggu ibu! Mari!” Halimah membuka pintu, disuruhnya Yatim duduk di ruang tamu.
Yatim segera memasuki rumah itu. Alangkah terpananya melihat rumah Nahkoda Kadir telah jauh berubah. Aneka hiasan dipajang di dinding dan almari, bermacam-macam. Barang-barang hiasan itu tak ada di jumpai di Aceh. Kursi-kursi tamu yang lama tak tahu lagi ditaruh dimana, kini ganti dengan kursi berlapis empuk, berhias ukiran angsa-angsa. Yatim terkagum-kagum.
“Apa yang kau lihat?” sapa Halimah membuyarkan lamunan Yatim.
“Rumahmu sudah jauh berubah! Kaya raya sekali sekarang!”
“Ah, itu Abang Nahkoda yang mengusahakan.” Jawab Halimah.
“Halimah, apa yang kau ketahui tentang Nahkoda Kadir selama ini?”
“Maksudmu? Aku tidak mengerti!”
“Engkau belum tahu, sayang sekali. Engkau harus tahu sejak sekarang. Aku berkewajiban harus memberitahukannya kepadamu!” kata Yatim dengan serius, “Suamimu seorang Keling, manusia paling jahat dan tidak dapat dipercaya. Ia suka pergi kemana-mana untuk berzina. Kau tidak tahu karena asyik tinggal di rumah saja. Ia asyik berzina sepanjang hari. Di mana dia berlabuh…”
“Ah, Bang Yatim, bicara apa kau? Saya tidak percaya kalau tidak melihatnya sendiri,” kata Halimah.
“Itulah kamu, belum juga percaya. Seperti adat orang Keling. Berzina itu hal biasa. Suamimu itu banyak gundiknya, dimana dia berlabuh maka akan singgah di tempat wanita-wanita!”
“Ah, aku tidak percaya! Aku lebih mengenal Abang Nahkoda dibanding kau!”
Selama dua hari, Yatim berturut-turut datang ke rumah Halimah untuk meyakinkan Halimah. Halimah tetap tidak mempercayai omongan Yatim.
“Coba Halimah kamu pikir-pikir. Setiap saat ia bepergian! Pernahkah selama pergi dia mengingatmu! Coba kalau suamimu bukan Nahkoda Kadir. Bandingkan!”
“Bicara apa kamu ini!” Halimah tetap tidak yakin.
“Selama berbulan-bulan dia meninggalkan rumah! Laki-laki mana betah tanpa wanita! Kau ditinggal…!”
“Sudahlah Bang Yatim. Abang Nahkoda hanya mencintaiku seorang. Hanya aku wanita pujaannya!”
“Ya, dia memang selalu membelikan barang-barang perhiasan yang kau senangi supaya kamu tidak berprasangka buruk. Kau selalu diberinya cukup uang supaya tetap menyangka bahwa dia laki-laki baik. Padahal dia sedang asik mendatangi rumah-rumah lacur!” si Yatim bercerita berapi-api.
Halimah berpikir dalam hati, apakah benar yang dikatakan Yatim bahwa suaminya demikian itu.
“Suamiku paling menyayangi aku. Tidak mungkin berbuat serong!”
Halimah gelisah. Perkataan Yatim segera dikatakan kepada ibunya.
“Bu, Bang Yatim menceritakan tentang Abang Nahkoda. Katanya Bang Kadir asik melacur selama bepergian!” Halimah menceritakan panjang lebar apa yang disampaikan Yatim.
“Aduh, kamu ini. Jangan dengarkan omongan Yatim. Dia pemalas, penghasut, selalu menjelek-jelekkan orang! Hidupmu sudah senang dan bahagia, suamimu cukup menyayangimu! Makan minum cukup, tinggal di rumah bagus, perhiasan ada, uang tak pernah kurang. Kalau suamimu asik melacur tentu semua hartanya habis diberikan kepada pelacurnya! Apakah benar, menurutmu suamimu itu berbuat serong?” kata ibunya dengan pandangan tajam. Halimah terdiam, benar juga perkataan ibunya.
“Suamimu pergi siang malam merantau di lautan, mencari nafkah hanya untuk engkau. Jangan dengarkan omongan Yatim! Dia itu buaya darat, haus harta! Hidupnya miskin karena tak mau bekerja. Dia iri terhadap suamimu!”
Ketika mereka berbicara Yatim sedang berada di bawah rumah, bermaksud bermain ke rumah Halimah. Dia mendengar ibunya mengatakan dia orang jahat, buaya darat, pemalas.
“Kurang ajar mereka membicarakanku! Tunggulah pembalasanku!” kata Yatim dengan kemarahan yang dipendam.
Yatim segera pergi ke rumah Teungku Akob. Teungku Akob terkenal mempunyai magi hitam, ilmu tenung. Ilmu-ilmu jahat itu berguna untuk mengguna-gunai dan mencelakakan orang. Yatim mendatangi rumah orang tua itu.
Yatim menceritakan semua maksudnya kepada Teungku Akob. Laki-laki tua itu mengangguk-angguk seraya tersenyum, “Itu perkara mudah, Yatim. Aku bisa melakukannya kapan saja. Tapi, ada ongkosnya!” katanya sambil tersenyum memperlihatkan gigi-giginya yang berbaris.
“Baiklah Teuku, kalau ongkos tidak masalah. Berapapun Teungku minta akan saya bayar, asalkan buatlah Halimah itu menderita!” kata Yatim dengan nada geram.
Teungku Akob segera mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan untuk menggunai-gunai Halimah. Tak lama kemudian Teungku Akob membaca mantra-mantra, mengirimkan bala kepada Halimah. Malam harinya bala itu telah sampai mengenai Halimah.
Halimah terkejut ketika merasakan perutnya begitu sakit. Perempuan itu segera bangkit menemui ibunya, “Bu, mengapa perutku sesakit ini, seperti orang datang bulan. Baru dua hari kemarin selesai nifas. Mengapa rasanya seperti datang bulan lagi!” keluh Halimah.
Selama tiga bulan faraj Halimah mengalami pendarahan. Sudah dicari obat-oabatan, bahkan pergi ke tabib, tak ada juga yang berhasil menghentikan haidnya. Halimah merasa cemas, hingga Nahkoda Kadir pulang ke rumah.
Halimah segera mengadukan peristiwa itu kepada suaminya. Nahkoda Kadir kecewa karena tak bisa melepas keinginannya bercinta dengan Halimah. Laki-laki itu turut sedih melihat penderitaan Halimah, penyakit apa gerangan yang menimpa istrinya.
“Abang Nahkoda, maafkan Halimah!” kata Halimah sambil menitikkan air mata.
“Tak apa, penyakit itu datang bukan kehendakmu. Baiklah sekarang aku pergi mencarikan obatnya!”
Nahkoda Kadir termenung-menung di depan rumahnya. Mengingat-ingat tabib-tabib yang pernah dikenalnya selama berlayar.
“Seingatku di Pulau Penang ada seorang tabib India yang pandai mengobati segala penyakit. Baiklah besok aku berlayar kesana, biar kubawa Halimah!”
Kabar keberangkatan Nahkda Kadir bersama Halimah ke Pulau Penang terdengar oleh Yatim. Mereka berangkat ke Penang bukan untuk berniaga melainkan mencari obat untuk sakit Halimah. Yatim merasa cemas, sebab tabib yang tinggal di Penang terkenal pandai dan bisa mengembalikan tenung. Lebih tinggi ilmunya dibanding ahli nujum Teungku Akob.
“Aku cemas, jika bala itu dikembalikan. Pasti aku juga yang akan kena. Lebih baik kucegah mereka berangkat ke Penang!”
Yatim buru-buru datang ke rumah Nahkoda Kadir,
“Nahkoda, aku dengar kalian berdua akan pegri ke Penang mencari tabib, benarkah?” Tanya Yatim.
“Ya, esok pagi kami berangkat! Sebelum sakit Halimah bertambah parah!” jawab Nahkoda Kadir.
“Bagaimana kalau ditunda dulu. Aku dengar di sini ada pula seorang tabib yang pandai menyembuhkan berbagai penyakit. Bagaimana?” kata Yatim.
“Kau mau mencarikannya!”
“Tentu saja mau, saya datang kemari untuk menawarkan bantuan!”
“Baiklah kalau begitu akan kuurungkan berlayar ke Pulau Penang. Carikan obat untuk istriku!”
“Itu soal mudah Nahkoda, tapi membutuhkan uang banyak. Sebab aku lihat sakit istrimu sudah berbulan-bulan!”
“Boleh saja, saya punya itu uang, asalkan Halimah bisa sembuh. Berapa kamu minta uang, saya kasih!” kata Nahkoda Kadir kepada Yatim.
Yatim meminta uang, jumlahnya banyak, hampir sama dengan biaya perjalanan ke Pulau Penang. Nahkoda Kadir meluluskan semua permintaan itu.
Setelah menerima uang Yatim langsung menuju ke rumah Teungku Akob.
“Teungku, sembuhkanlah Halimah. Setelah itu, buatlah Halimah tergila-gila padaku dan membenci Nahkoda Kadir itu. Berapapun akan saya bayar. Lihatlah aku bawa banyak uang!” Yatim memamerkan uang di dalam poket besar yang didapat dari Nahkoda Kadir.
Melihat banyaknya uang itu Teungku Akob amat tertarik. Laki-laki tua itu segera menyiapkan bahan-bahan.
“Baiklah, sekarang penyakit Halimah itu sudah sembuh. Aku buatkan ramuan ini. Campurkan minyak ini dengan minyak rambut Halimah. Jika digunakan maka rasa bencinya kepada Nahkoda akan timbul, perlahan-lahan dia akan tertarik padamu!”
“Baiklah Teungku!” Yatim segera memberi Teungku Akob separuh uang yang didapat dari Nahkoda Kadir.
Saat itu juga penyakit Halimah telah sembuh. Nahkoda Kadir amat bahagia karena Halimah sudah sembuh. Laki-laki itu menemui Yatim untuk mengucapkan terima kasih.
“Terimakasih sobat, berkat bantuanmu sembuhlah penyakit istriku. Esok hari aku tinggal lagi untuk berlayar. Hatiku sudah tenang karena Halimah kini sudah sehat!” kata Nahkoda sambil menepuk bahu Yatim. Yatim tersenyum-senyum.
Esok paginya, Nahkoda Kadir berpamitan dengan istri dan ibunya. Nahkoda itu telah berjani dengan Gulam Ahmad akan mengantar barang dagangan ke Pulau Penang.
“Apa tak bisa Abang menundanya barang sehari dua hari!” bujuk istrinya.
“Tidak bisa, aku terlanjur berjanji dengan Gulam Ahmad, jika sampai terlambat saudagar itu akan berpindah ke lain pedagang. Akan berkuranglah langganan kita!”
“Baiklah Abang. Akan kutunggu sampai kau pulang!”
Pagi itu juga Nahkoda Kadir bertolak ke Pulau Penang, memimpin awak-awak perahunya.
Siang harinya ketika Halimah sedang istirahat tidur siang, diam-diam Yatim memasuki rumah Halimah. Laki-laki itu menuju ke bilik tidur Halimah. Tak ada yang melihat kedatangannya. Halimah dan ibunya tengah tertidur lelap.
“Aku harus mencampur minyak ini dengan minyak rambut Halimah. Nanti seusai keramas pastilah Halimah akan tergila-gila padaku. Pelan-pelan Kadir akan disingkirkannya!” kata Yatim.
Yatim segera mengambil minyak rambut yang ada di atas meja kemudian discampurnya dengan minyak pemberian Teungku Akob.
Nahkoda Kadir berdagang di Pulau Penang. Setelah barang dagangannya laku dibeli orang, kali ini Nahkoda banyak membeli barang-barang perhiasan yang indah serta kain-kain halus dari India dan sutera China. Barang-barang yang dibeli untuk Halimah lebih bagus dibanding yang sudah-sudah.
“Pastilah istriku sangat senang, semoga cepat menyembuhkan sisa-sisa sakitnya.”
Nahkoda Kadir sangat mencintai Halimah. Di sepanjang pelayaran hanya Halimah saja yang senantiasa diingat-ingatnya.
Dalam waktu sepuluh hari, perahu bot Nahkoda Kadir telah tiba lagi di Kuala Raja. Nahkoda Kadir segera menuju ke rumahnya.
“Halimah, ini Abang. Bukakan pintu!” kata Nahkoda Kadir sambil mengetuk pintu.
Tak ada sahutan suara dari dalam rumah, hanya terdengar suara ibunya yang batuk-batuk. Kembali Nahkoda Kadir mengetuk pintu, kali ini lebih dikeraskan. Tak ada pula sahutan dari dalam. Nahkoda Kadir pura-pura turun, langkahnya dibikin keras menghentak-hentak lantai kayu supaya Halimah mendengar. Tak ada juga sahutan dari dalam rumah.
“Telah tidurkah Halimah! Masa tidak mendengar sedikitpun suaraku!”
Nahkoda Kadir segera menuju ke sumur, membasuh kakinya. Sengaja tali timbanya ditariknya kuat-kuat sehingga menimbulkan bunyi yang keras, namun tak jua Halimah keluar dari rumahnya.
Halimah mendengar suaminya berteriak-teriak memanggilnya, setelah itu disusul bunyi berderak-derak lantai kayu, bunyi timba yang melengking-lengking. Perempuan itu enggan keluar, melingkarkan tubuhnya sambil membenahi selimutnya. Lampu bilikpun sengaja dibiarkan mati. Suara suaminya tak didengar. Ada perasaan benci terhadap Nahkoda Kadir. Perempuan itu kini percaya suaminya suka melacur di mana-mana.
“Memang adat orang Keling seperti itu!” pikirnya.
Sudah lelah Nahkoda Kadir memanggil, naik turun tangga, tak mau juga istrinya membukakan pintu. Rasa kantuk menyerangnya. Nahkoda Kadir segera pergi ke samping rumahnya. Di sana dia duduk dulu beristirahat sambil menunggu pintu dibuka. Jengki itu yang sering digunakan untuk menumbuk padi. Ada setumpukan sekam padi. Karena sangat lelahnya Nahkoda Kadir merebahkan tubuhnya di atas sekam itu. Lama-kelamaan tertidur pulas. Hingga siang hari Nahkoda Kadir masih terlelap.
Saat itu tetangganya hilir mudik melewati rumah Nahkoda Kadir. Mereka melihat Nahkoda yang masih tertidur lelap di atas sekam.
“Halimah, lihatlah suamimu tidur dalam sekam!” kata salah satu tetangganya.
Mendengar berita itu tetangganya berdatangan ke rumah Nahkoda Kadir, melihat Nahkoda Kadir yang masih tertidur pulas di atas sekam. Halimah segera turun dari rumahnya. Sangat terkejut ketika melihat banyak orang berkerumun seraya menyebut-nyebut suaminya Nahkoda Sekam. Karena mendengar keributan itu Nahkoda Kadir terbangun. Ada perasaan malu karena dirinya menjadi tontonan orang.
“Semalam saya pulang, kenapa engkau tidak mau membuka pintu? Kamu tidak menghiraukan saya lagi. Jika kau tidak menyayangiku, aku pun bisa meninggalkanmu! Saya akan bercerai denganmu!” Ancam Nahkoda Kadir kepada istrinya. Melihat Nahkoda Kadir marah-marah, satu per satu tetangganya meninggalkan rumah itu.
“Abang Nahkoda, aku khilaf!” kata Halimah setelah ingat suaminya.
“Mengapa semalam aku sangat membencinya,” pikirnya sambil diliputi perasaan menyesal.
Pagi itu juga Nahkoda Kadir pergi ke kantor Penghulu. Tempat itulah dirinya pernah melakukan ijab kabul perkawinannya dengan Halimah. Nahkoda Kadir bermaksud mengajukan cerai.
“Ampun Daulat Raja,” kata Nahkoda Kadir sambil mengangkat kedua tangannya, “Saya datang kemari bermaksud menceraikan istri saya. Halimah, anak Pak Majid tak sudi lagi kepada saya. Saya akan menceraikannya. Sepulang saya dari berdagang ke Pulau Penang dia tak membukakan pintu hingga saya tertidur di dalam sekam. Alangkah dihinakannya saya. Orang-orang menyebut saya Nahkoda sekam. Saya sangat malu Tuanku! Lebih baik istri saya yang tidak setia itu saya ceraikan sekarang ini juga!”
“Begini Nahkoda, “ kata Penghulu, “Sekali ini harus kau ampuni kesilafan istrimu, berdamailah lagi dengannya. Untuk sekali dua kamu coba memaafkan, nanti jika terulang ketiga kalinya baru boleh kau ajukan perceraian!” kata penghulu memberikan nasihat.
Nahkoda Kadir mengangkat kesepuluh jarinya di atas kepala, “Saya tidak akan mencabut perkataan saya. Saat ini juga Halimah saya ceraikan. Saya tidak akan pulang lagi ke rumah Halimah. Biarlah semua harta benda untuknya. Saya akan mencari istri yang setia!”
Penghulu terpaksa menuruti keinginan Nahkoda Kadir. Penghulu tak bisa lagi mendamaikan mereka. Akhirnya penghulu mengirim surat cerai yang telah ditandatangani Nahkoda Kadir kepada Halimah. Jatuhlah talak atas Halimah.
Halimah terkejut ketika mendapat surat cerai itu. Tak diduga sebelumnya Nahkoda Kadir benar-benar telah menceraikannya.
Seusai dari kantor hulubalang, Nahkoda Kadir datang ke rumah mertuanya, Teungku Majid.
“Bapak, hari ini Halimah telah saya ceraikan, telah putuslah hubungan di antara kami berdua! Semua perhiasan dan harta benda tidak akan saya minta. Biarlah rumah itu ditempati Halimah dengan ibunya!”
“Anakku, mengapa buru-buru kau memutuskan hal itu?” Tanya Teungku Majid dengan heran. Laki-laki itu tidak menginginkan anaknya bercerai dengan Nahkoda Kadir.
“Semua sudah terlanjur, sudah saya pikirkan masak-masak. Halimah tidak setia kepada saya, untuk apa saya menyayangiya. Saya tidak senang lagi. Saya akan kawin dengan orang lain yang benar-benar mencintai saya dan saya mencintainya pula!”
Teungku Majid tak dapat mencegah keinginan Nahkoda Kadir. Saat itu juga putuslah hubungan silaturahmi mereka. Halimah sedih, berhari-hari meratapi kesedihannya. Melihat peristiwa itu Yatim amat gembira.
Setelah perceraian, Nahkoda Kadir mengumpulkan barang-barang dagangan untuk dibawa ke Pulau Penang. Bersama awak-awak kapalnya laki-laki itu segera berlayar meninggalkan Kuala Raja. Dia telah bersumpah tak akan kembali ke Kuala Raja. Setelah pulang dari Pulau Penang, Nahkoda Kadir berlabuh dan menggelar barang dagangannya di Lueng Putue.
“Di sinilah akan kucari seorang istri yang setia,” pikirnya.
Namun, selama berdagang dan tinggal di Lueng Putue tidak ditemukan perempuan yang mencuri hatinya. Nahkoda Kadir meninggalkan Lueng Putue dan bergerak ke daerah Meureudu. Di Meureudu Nahkoda Kadir berkenalan dengan Tuan Musa. Tuan Musa seorang sudagar India yang kaya raya.
Mulailah Nahkoda Kadir bekerja sama dengan saudagar itu. Tuan Musa tertarik dengan keuletan Nahkoda Kadir, maka Nahkoda Kadir dikawinkan dengan anak perempuannya bernama Latifah. Hasil perkawinan ini memperoleh tiga anak, dua orang laki-laki dan seorang perempuan. Seorang anak laki-lakinya dikirim ke India supaya menuntut ilmu, sedang yang lainnya tinggal bersama ibunya.
Nahkoda Kadir menetap di Meureudu. Di sana perniagaannya mengalami kejayaan. Toko-tokonya banyak, berjualan aneka jenis barang dari murah hingga sangat mahal. Nahkoda Kadir membeli barang-barang dari perahu-perahu dagang yang singgah di kota itu. Lama-kelamaan Nahkoda Kadir diangkat menjadi syahbandar. Nahkoda Kadir mendirikan istana yang megah, ditempati istrinya dan kedua anaknya yang bernama Nazar Syah dan Ali Akbar. Keluarga Nahkoda Kadir terkenal karena sangat kaya raya dan dermawan. Semakin banyak harta yang disedekahkan maka rezekinya akan datang berlipat ganda.
Suatu hari, Nahkoda Kadir berlayar lagi ke tempat lain. Perahu dagangnya mendaratlah sampai di Sigli. Di sana kawin lagi dengan perempuan Aceh keturunan India bernama Biyah. Perempuan itu berasal dari Kampung Kramat. Bersama istrinya, Nahkoda Kadir membangun dua pintu toko di jalan Gam Masjid. Demikianlah, perniagaannya maju pesat seperti di Meureudeu. Pada akhir hayatnya Nahkoda Kadir menderita penyakit kusta. Meski telah diusahakan berbagai pengobatan, penyakit yang dideritanya tak bisa disembuhkan hingga akhirnya meninggal di Pasi Lhok.
Sumber: https://aning99.wordpress.com/page/2/
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dala... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |