Bahan : 200 gram beras, cuci bersih 100 gram ikan 1 buah wortel, kupas,parut 50 gram bayam, siangi 1 sdt garam 1 liter air Cara Membuat: 1. Campur beras dengan air dan garam, tim hingga setengah matang 2. masukan ikan, wortel, dan bayam. 3. tim kembali hingga semua bahan lunak Sumber: https://books.google.co.id/books?id=NB41nT0klx0C&pg=PA400&lpg=PA400&dq=resep+bau+peapi&source=bl&ots=MqBT26lHvJ&sig=rQ07bxmQf1bpfKcf-k4DZNDyS8E&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjQ3qDD-bXZAhVEQLwKHdN-B4IQ6AEIfzAM#v=onepage&q=resep%20bau%20peapi&f=false
Bahan-bahan 4 porsi 200 gram Tepung Sagu basah 12 buah Pisang ambon lumatkan 60 gram Kelapa muda parut 2 sdm Gula pasir 1/2 sdt Garam 2 sdm Margarine cair Pelengkap : Susu coklat atau susu putih Madu Keju parut Langkah 15 menit Campur sagu, kelapa parut, pisang, garam dan gula dan margarine aduk hingga tercampur rata. Panaskan teflon lalu masukkan adonan jepa secukupnya kemudian tipiskan dengan ketebalan sesuai selera lalu tutup biarkan sesaat. Setelah satu sisihnya matang kemudian balik agar kedua sisinya matang. Angkat kemudian tata dipiring, beri susu lalu taburi dengan keju parut lalu lipat sperti crepe. Sajikan dengan siraman madu. Nikmat disantap selagi hangat. Bahannya mudah masak cepat, sederhana dengan rasa yang enak. Bisa dibeli di: Pasar Somba, Somba, Kec. Sendana, Kab. Majene, Sulawesi Barat https://cookpad.com/id/resep/1731412-jep...
Ule'-Ule' merupakan bubur kacang hijau khas Mandar. Secara umum tidak ada perbedaan antara ule-ule dengan bubur kacang hijau lainnya, namun pada bahan yang digunakan ule-ule ada penambahan “tarreang”. Tanaman “tarreang” merupakan tanaman dari keluarga suku rumput-rumputan (Poaceae) yang berkerabat dengan padi, namun yang membedakannya adalah bentuk buah yang bulir dan bulat. Tanaman satu ini adalah sumber karbohidrat utama pada zaman dahulu di daerah Mandar. Bukan hanya itu, selain lebih bergizi, makanan-makanan lokal kita memiliki makna atau simbol di balik penggunaannya. Alias tidak asal buat untuk kemudian dihidangkan. Misalnya di bulan Muharram, bulan yang mana “tarreang” laku keras, selalu dibuat “ule-uleq” atau bubur. Paling banter bubur kacang hijau dan bubur jawawut. Mengapa dibuat “ule-uleq”? Ada dua alasan, pertama rasanya yang manis, kedua namanya itu adalah pengharapan, agar rezek...
Bahan: 2 ekor ikan kakap segar(boleh juga ikan lain misalnya bawal, ikan baronang, tapi umumnya menggunakan ikan karang). Disiangi, dibersihkan lalu dibaluri garam dan perasan air jeruk nipis. Sisihkan. 3 buah cabai merah 1 sdt merica 6 butir bawang merah (boleh ditambah bawang putih 2 siung) 3 butir kemiri 3 batang serai yang segar,iris tipis 1 buah jeruk nipis Garam secukupnya 1 lembar daun pisang untuk membungkus ikan. 2 sdm minyak kelapa. Cara Membuat: Tumbuk sampai halus cabai,merica,bawang merah,kemiri,serai dan garam. Tambahkan perasan air jeruk nipis. Aduk dengan minyak Kelapa sampai rata. Bakar ikan sampai matang di atas bara api. Olesi dengan bumbu halus, bakar sejenak lalu dibalik. Olesi lagi dengan bumbu. Demikian seterusnya setiap kali selesai dibalik diolesi bumbu. Sampai bumbunya habis dan merata pada permukaan ikan. Setelah bumbu rata, bungkus ikan...
Nenek Pakande adalah seorang nenek siluman yang sering menjadi momok bagi masyarakat Bugis di daerah Soppeng, Sulawesi Selatan. Nenek siluman itu adalah manusia kanibal yang sakti mandraguna. Ia sangat suka makan daging manusia, terutama daging anak-anak. Itulah sebabnya, masyarakat setempat memanggilnya Nenek Pakande. Dalam bahasa Bugis, kata pakande berasal dari kata pakkanre-kanre tau yang berarti suka makan daging manusia. Suatu ketika, seorang pemuda yang cerdik bernama La Beddu berupaya untuk mengusir Nenek Pakande karena kelakuannya telah meresahkan seluruh warga. Mampukah La Beddu mengusir Nenek Pakande dari negeri itu? Ikuti kisahnya dalam cerita Nenek Pakande berikut ini! * * * Alkisah, di daerah Sulawesi Selatan ada sebuah negeri yang bernama Soppeng. Penduduk negeri itu senantiasa hidup tenteram, damai, dan sejahtera. Mata pencaharian utama mereka adalah bertani. Setiap hari mereka bekerja di sawah dengan hati tenang dan damai. Pada suatu ketika, suasan...
I Tui-Tuing adalah seorang pemuda miskin yang tinggal di sebuah kampung di daerah Mandar, Sulawesi Barat, Indonesia. I Tui-Tuing dalam bahasa Mandar terdiri dari dua kata, yaitu i yang berarti “si” (menunjuk pada dia lelaki ataupun perempuan), dan tui-tuing yang berarti ikan terbang. Jadi, I Tui-Tuing berarti si laki-laki ikan terbang atau manusia ikan. Menurut cerita, I Tui-Tuing pernah melamar keenam putri seorang juragan. Dari keenam putri juragan tersebut, hanya putri ketiga bernama Siti Rukiah yang bersedia menerima lamarannya. --- Alkisah, di sebuah kampung di daerah Mandar, Sulawesi Barat, ada sepasang suami-istri miskin yang senantiasa hidup rukun dan bahagia. Namun, kebahagiaan mereka belum terasa lengkap, karena belum memiliki anak. Untuk itu, hampir setiap malam mereka senantiasa berdoa kepada Tuhan agar dikarunai seorang anak. “Ya Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, karuniakanlah kepada kami seorang anak laki-laki, walaupun bent...
ABSTRACT Mappandesasi ritual is an oral folklore tradition, a folklore which form is a compiled of oral and non-oral elements. Oral tradition connects generation of past, present and future. Oral tradition inherited from generation to generation, in everyday life, thoughts, sayings, and behavior of individual or group is the real implementation of the text. This research is a qualitative-descriptive research and uses deep interview and observation method. The result of this research show that the ritual is usually performed before fishermans goes fishing, as a gesture of asking for safety and fortune to the sasi guardian and also performed after fishing to thank the sasi guardian for granting them safety and fortune. In mappandesasi ritual, the people prepare some equipment as a ritual medium. It consist of cattle, beke, and mannu as the sacrificial animal. Keywords: ritual, sasi, fisherman, and Mandar ABSTRAK Ritual mappandesasi me...
Samba` Paria adalah seorang gadis cantik jelita yang tinggal bersama adiknya di sebuah rumah panggung di tengah hutan di daerah Mandar, Sulawesi Barat, Indonesia. Pada suatu hari, Raja Mandar bersama beberapa orang pengawalnya menculik Samba` Paria. Mengapa Raja Mandar menculiknya? Lalu bagaimana nasib Samba` Paria selanjutnya? Temukan jawabannya dalam cerita Samba` Paria berikut ini. Alkisah, Di daerah Mandar, Sulawesi Barat, hidup seorang gadis cantik jelita bersama seorang adiknya yang masih berumur sepuluh tahun. Kedua kakak beradik itu adalah yatim piatu. Mereka hidup rukun dan saling menyayangi. Mereka tinggal di sebuah rumah panggung peninggalan orang tua mereka yang berada di tengah hutan belantara, jauh dari permukiman penduduk. Dari kejauhan, rumah mereka hampir tidak kelihatan, karena selain tertutupi pepohonan rindang di sekitarnya, juga diselubungi oleh tanaman paria (pare) yang menjalar mulai dari tiang, tangga, dinding, hingga ke atap rumahnya...
Dahulu di sebuah bukit Napo di daerah Tammajarra, Puloweli Mandar berdiri sebuah Kerajaaan Balanipa yang dipimpin oleh Raja Balanipa yang sudah tiga puluh tahun tidak pernah mau turun dari jabatannya. Raja Balanipa menginginkan berkuasa selamanya. Ia mempunyai dua anak laki-laki dan dua anak perempuan. Akan tetapi, kedua anak Iaki-Iakinya sudah dibunuh olehnya, karena ia tidak mau mewariskan jabatan Raja kepada dua anak Iaki-Iakinya itu. Sang Permaisuri tidak bisa berbuat apa-apa, ia selalu merasa cemas jika sedang mengandung. Ia takut anak yang dikandungnya itu seorang bayi laki-laki lalu akan dibunuh lagi oleh suaminya. Pada suatu hari, sang Permaisuri sedang mengandung, sebentar lagi ia akan melahirkan, pada saat itu Raja Balanipa hendak pergi berburu dalam waktu yang lama. Maka sang Raja berpesan kepada panglima Puang Mosso untuk menjaga permaisurinya dan juga meminta untuk membunuh bayinya apabila yang lahir adalah bayi laki-laki. Setelah itu, berangkatlah Raja Balanipa...