Dikampung Pasie, berdekatan dengan Paya Senara daerah Krueng Raya, Nanggroe Aceh Darussalam. Pada zaman dahulu, berdiamlah di tempat tersebut satu keluarga terdiri dari bapak, ibu dan seorang anaknya laki-laki bernama Amat. Amat, sering juga di panggil ” Agam ” ( Dalam Istiadat Aceh, panggilan Agam adalah untuk seorang anak laki-laki maupun perempuan di panggil Inong). Keluarga ini tergolong miskin. Pekerjaan sehari-hari adalah mengolah sabut dan garam. kulit kelapa yang umunya dibuang orang, mereka kumpulkan, lalu direndamkan dalam lumpur. Setelah beberapa lama, rendaman itu diangkat, di bersihkan. Isinya yang sedikit membusuk dibuang sehingga tinggal seratnya saja. Serta ini diolah atau dipintal menjadi jenis tali sabut. Untuk memasak, mereka menggunakan kulit kelapa, pelepah dan daunnya sebagai kayu api. Sedangkan bagi orang kaya semua itu dibuang atau tidak dibutuhkan dalam kebutuhan mereka, cuma dibutuhkan untuk api unggun dalam kandang lembu mereka untuk...
Beberapa waktu yang lalu. Brigadista pernah mengulas mengenai keindahan seni tari Guel, yang berasal dari Provinsi nangroe Aceh darussalam. Ternyata, dalam masyarakat Aceh, ada sebuah cerita rakyat yang mengiringi perkembangannya. Sebuah Cerita rakyat yang menceritakan asal- usul dari tari gayo tersebut. berikut kisah yang berasal dari cerita rakyat Aceh tentang asal mula Tari guel, ASAL MULA TARI GUEL Konon, tari Guel berasal dari dua orang putera SultanJohor, Malaysia, bernama Muria dan adiknya yang bernama Segenda. Alkisah, pada suatu hari kedua kakak-beradik itu disuruh oleh orang tuanya menggembala itik di tepi laut. Sambil menggembala, untuk mengisi kebosanan, mereka bermain layang-layang. Suatu saat, datanglah angin kencang yang membuat layang-layang mereka putus. Secara spontan mereka berusaha sekuat tenaga mengejar layang-layangnya yang putus itu, sehingga lupa pada itik-itik yang harus mereka jaga. Karena kelengahan ini, itik-itik ya...
Pada zaman dahulu kala, di sebuah kampung antah berantah, hidulah sepasang suami istri. Mereka merupakan sebuah keluarga yang sangat miskin. Rumahnya dari pelepah daun rumbia yang didirikan seperti pagar sangkar puyuh. Atap rumah mereka dari daun rumbia yang dianyam. Tidak ada lantai semen atau papan di rumah tersebut, kecuali tanah yang diratakan dan dipadatkan. Di sana tikar anyaman daun pandan digelar untuk tempat duduk dan istirahat keluarga tersebut. Demikianlah miskinnya keluarga itu. Rumah mereka pun jauh dari pasar dan keramaian. Namun demikian, suami-istri yang usianya sudah setengah abad itu sangat rajin beribadah. “Istriku,” kata sang suami suatu malam. “Sebenarnya apakah kesalahan kita sehingga sudah di usia begini tua, kita belum juga dianugerahkan seorang anak pun. Padahal, aku tak pernah menyakiti orang, tak pernah berbuat jahat kepada orang, tak pernah mencuri walaupun kita kadang tak ada beras untuk tanak.”...
Pada zaman dahulu kala, di sebuah kampung antah berantah, hidulah sepasang suami istri. Mereka merupakan sebuah keluarga yang sangat miskin. Rumahnya dari pelepah daun rumbia yang didirikan seperti pagar sangkar puyuh. Atap rumah mereka dari daun rumbia yang dianyam. Tidak ada lantai semen atau papan di rumah tersebut, kecuali tanah yang diratakan dan dipadatkan. Di sana tikar anyaman daun pandan digelar untuk tempat duduk dan istirahat keluarga tersebut. Demikianlah miskinnya keluarga itu. Rumah mereka pun jauh dari pasar dan keramaian. Namun demikian, suami-istri yang usianya sudah setengah abad itu sangat rajin beribadah. “Istriku,” kata sang suami suatu malam. “Sebenarnya apakah kesalahan kita sehingga sudah di usia begini tua, kita belum juga dianugerahkan seorang anak pun. Padahal, aku tak pernah menyakiti orang, tak pernah berbuat jahat kepada orang, tak pernah mencuri walaupun kita kadang tak ada beras untuk tanak.”...
Banta Berensyah adalah seorang anak laki-laki yatim dan miskin. Ia sangat rajin bekerja dan selalu bersabar dalam menghadapi berbagai hinaan dari pamannya yang bernama Jakub. Berkat kerja keras dan kesabarannya menerima hinaan tersebut, ia berhasil menikah dengan seorang putri raja yang cantik jelita dan dinobatkan menjadi raja. Alkisah, di sebuah dusun terpencil di daerah Nanggro Aceh Darussalam, hiduplah seorang janda bersama seorang anak laki-lakinya yang bernama Banta Berensyah. Banta Berensyah seorang anak yang rajin dan mahir bermain suling. Kedua ibu dan anak itu tinggal di sebuah gubuk bambu yang beratapkan ilalang dan beralaskan dedaunan kering dengan kondisi hampir roboh. Kala hujan turun, air dengan leluasa masuk ke dalamnya. Bangunan gubuk itu benar-benar tidak layak huni lagi. Namun apa hendak dibuat, jangankan biaya untuk memperbaiki gu...
Alkisah, di Negeri Alas, Nanggroe Aceh Darussalam, ada sebuah kerajaan yang diperintah oleh seorang raja yang arif dan bijaksana. Seluruh rakyatnya selalu patuh dan setia kepadanya. Negeri Alas pun senantiasa aman dan damai. Namun satu hal yang membuat sang Raja selalu bersedih, karena belum dikaruniai seorang anak. Sang Raja ingin sekali seperti adiknya yang sudah memiliki seorang anak. Pada suatu hari, sang Raja duduk termenung seorang diri di serambi istana. Tanpa disadarinya, tiba-tiba permaisurinya telah duduk di sampingnya. “Apa yang sedang Kanda pikirkan?” tanya permaisuri pelan. “Dindaku tercinta! Kita sudah tua, tapi sampai saat ini kita belum mempunyai seorang putra yang kelak akan mewarisi tahta kerajaan ini,” ungkap sang Raja. “Dinda mengerti perasaan Kanda. Di...
Konon, di negeri Semeulue, tersebutlah seorang raja yang kaya -raya. Raja itu sangat disenangi oleh rakyatnya, karena kedermawanannya. Namun, ia tidak memiliki anak setelah sepuluh tahun menikah dengan permaisurinya. Oleh karena sudah tidak tahan lagi ingin punya keturunan, Raja itu pun pergi bersama permaisurinya ke hulu sungai yang airnya sangat dingin untuk berlimau dan bernazar, agar dikaruniai seorang anak yang kelak akan mewarisi tahta kerajaan. Tempat yang akan dituju itu berada sangat jauh dari keramaian. Untuk menuju ke sana, mereka harus menyusuri hutan belantara, menyeberangi sungai -sungai, serta mendaki dan menuruni gunung . Mereka pun berangkat dengan membawa bekal secukupnya. Setiba kedua suami-istri di sana, mereka mulai melaksanakan maksud dari kedatangan mereka. Setelah sehari-semalam berlimau dan bernazar, mereka pun kembali ke istana. Setelah menunggu berhari-hari dan berminggu-minggu, akhirnya doa mereka ter...
Alkisah, di sebuah daerah di Kapupaten Aceh Tenggara, hiduplah seorang janda bersama dengan seorang anak laki-lakinya yang bernama Si Kepar. Ayah dan ibu si Kepar bercerai sejak si Kepar masih berusia satu tahun, sehingga ia tidak mengenal sosok ayahnya. Sebagai anak yatim, Si Kepar sering diejek oleh teman-teman sepermainannya sebagai jazah (anak tak berayah). Oleh karena itu, Si Kepar ingin mengetahui siapa sebenarnya ayahnya. Pada suatu hari, Si Kepar pun menanyakan hal itu kepada ibunya. Pada awalnya, ibunya enggan menceritakan siapa dan di mana ayah Si Kepar. Namun, akhirnya diceritakan juga setelah Si Kepar mengancam akan bunuh diri jika tidak diceritakan. Setelah jelas siapa dan di mana ayahnya, Si Kepar pun berniat untuk menemui ayahnya di atas sebuah gunung yang sangat jauh. Setelah berpamitan pada ibunya, Si Kepar pun berangkat untuk menemui ayahnya dengan perbekalan secukupnya. Ia berjalan sendiri melawati hutan belantara...
Pada zaman dahulu kala, di sebuah kampung antah berantah, hidulah sepasang suami istri. Mereka merupakan sebuah keluarga yang sangat miskin. Rumahnya dari pelepah daun rumbia yang didirikan seperti pagar sangkar puyuh. Atap rumah mereka dari daun rumbia yang dianyam. Tidak ada lantai semen atau papan di rumah tersebut, kecuali tanah yang diratakan dan dipadatkan. Di sana tikar anyaman daun pandan digelar untuk tempat duduk dan istirahat keluarga tersebut. Demikianlah miskinnya keluarga itu. Rumah mereka pun jauh dari pasar dan keramaian. Namun demikian, suami-istri yang usianya sudah setengah abad itu sangat rajin beribadah. “Istriku,” kata sang suami suatu malam. “Sebenarnya apakah kesalahan kita sehingga sudah di usia begini tua, kita belum juga dianugerahkan seorang anak pun. Padahal, aku tak pernah menyakiti orang, tak pernah berbuat jahat kepada orang, tak pernah mencuri walaupun kita kadang tak ada beras untuk tanak.”...