Balige Soposorung, terdapat makam Raja Sisingamangara XII dengan kedua anaknya yakni, Patuan Nagari dan Patuan Anggi yang gugur melawan penjajah Belanda tewas berjuang di Bakara yang kemudian di pindahkan ke Soposurung Balige. Menurut sejarah bahwa rahasia kesaktian Sisingamangaraja XII adalah darah. Ia akan kehilangan kesaktiannya apalagi terkena darah. Maka Belanda kemudian menembak putri kesayangan Sisingamangaraja XII yang sangat cantik yang bernama Lopian. Melihat putri kesayangannya tertembak dan mengalirkan darah, Sisingamangaraja XII pun memeluknya dan tidak menyadari darah yang mengenai dirinya. Pada saat itulah pasukan Belanda menembak mati Sisingamangaraja XII. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 17 Juni 1907 di Pearaja, Dairi. Video: https://youtu.be/NXXbx8QQwKo Sumber: https://www.gobatak.com/balige-makam-sisingamangaraja-xii/
Prasasti Sirah Keting Prasasti ini berisikan tentang pemberian penghargaan yang berupa tanah dari Jayawarsa kepada rakyat desa sebab rakyat desa ini telah dianggap memiliki jasa. Prasasti di Tulungagung dan Kertosono Kedua prasasti ini berisi tentang masalah keagamaan. Kedua prasasti ini berasal dari Raja Kameshwara. Prasasti Ngantang Prasasti ini berisi tentang pemberian hadiah berupa tanah nan dibebaskan dari pajak oleh Jayabaya. Prasasti ini ditujukan buat rakyat Desa Ngantang sebab telah mengabdi buat Kemajuan Kediri. Prasasti Jaring Prasasti ini dibuat oleh Raja Gandra. Isinya ialah nama-nama nan berasal dari nama hewan, seperti Tikus Jinada, Kebo Waruga, dan sebagainya. Hal ini memunculkan adanya birokrasi kerajaan. Prasasti Kamulan Prasasti ini berisi tentang peristiwa dikalahkannya musuh oleh Kediri di istana Katang-Katang. &nbs...
Serat Centini adalah karya sastra literatur Indonesia yang mengisahkan kehidupan masyarakan di era kerajaan Mataram Islam. Serat centini mengisahkan berbagai aspek kehidupan manujsia melalui sosok yang dituliskan oleh salah satu pangeran Mataram. Serat centini tercatat juga menuliskan tentang Tempe sebagai bagian yang tak terelakkan dari kehidupan masyarakat jawa tengah saat itu.
Prasasti Kedukan Bukit ditemukan oleh M. Batenburg pada tanggal 29 November 1920 di Kampung Kedukan Bukit, Kelurahan 35 Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, di tepi Sungai Tatang yang mengalir ke Sungai Musi. Prasasti ini berbentuk batu kecil berukuran 45 × 80 cm, ditulis dalam aksara Pallawa, menggunakan bahasa Melayu Kuna. Pada baris ke-8 terdapat unsur pertanggalan, namun bagian akhir unsur pertanggalan pada prasasti ini telah hilang. Seharusnya bagian tersebut diisi dengan nama bulan. Berdasarkan data dari fragmen prasasti No. D.161 yang ditemukan di Situs Telaga Batu, J.G. de Casparis (1956:11-15) dan M. Boechari (1993: A1-1-4) mengisinya dengan nama bulan Ä€sÄÂda. Maka lengkaplah pertanggalan prasasti tersebut, yaitu hari kelima paro-terang bulan Ä€sÄÂda yang bertepatan dengan tanggal 16 Juni 682 Masehi. Menurut George Cœdès, siddhayatra berarti semacam “ramuan bert...
Ditemukan di lereng barat Gunung Merapi, tepatnya di Dusun Dakawu, Desa Lebak, Kecamatan Grabag, Magelang di Jawa Tengah yang bertuliskan huruf Pallawa yang berbahasa Sanskerta. Isi prasasti menceritakan tentang mata air yang bersih dan jernih. Sungai yang mengalir dari sumber air tersebut disamakan dengan Sungai Gangga di India.Pada prasasti itu ada gambar-gambar seperti trisula, kendi, kapak, kelasangka, cakra dan bunga teratai yang merupakan lambang keeratan hubungan manusia dengan dewa-dewa Hindu.
Ditemukan di Desa Sojomerto, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Prasasti ini beraksara Kawi dan berbahasa Melayu Kuno dan berasal dari sekitar abad ke-7 masehi sifat keagamaannya adalah Siwais. Isi prasasti memuat keluarga dari tokoh utamanya, Dapunta Selendra, yaitu ayahnya bernama Santanu, ibunya bernama Bhadrawati, sedangkan istrinya bernama Sampula. Prof. Drs. Boechari berpendapat bahwa tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah cikal-bakal raja-raja keturunan Wangsa Sailendra yang berkuasa di Kerajaan Mataram Hindu. Bahan prasasti ini adalah batu andesit dengan panjang 43 cm, tebal 7 cm, dan tinggi 78 cm. Tulisannya terdiri dari 11 baris yang sebagian barisnya rusak terkikis usia.
Tradisi Suku Sasak Belangar, Betukaq & Upacara Kematian Dalam siklus kehidupan manusia, peristiwa kematian merupakan akhir kehidupan seseorang di dunia. Masyarakat meyakini kehidupan lain setelah kematian. Di beberapa kelompok masyarakat dilakukan persiapan bagi si mati. Salah satu peristiwa yang harus dilakukan adalah penguburan. Penguburan meliputi perawatan mayat termasuk membersihkan, merapikan, atau mengawetkan mayat : Upacara adat kematian yang dilaksanakan sebelum acara penguburan meliputi beberapa tahapan yaitu : 1. Belangar Masyarakat Sasak Lombok pada umumnya menganut agama Islam sehingga setiap ada yang meninggal ada beberapa proses yang dilalui. Pertama kali yang dilakukan adalah memukul beduk dengan irama pukulan yang panjang. Hal ini sebagai pemberitahuan kepada masyarakat bahwa ada salah seorang warga yang meninggal. Setelah itu maka masyarakat berdatangan baik dari...
Masyarakat Sasak mempedomani papan warige tersebut sebagai acuan penyelenggaraan gawe , beteletan (bercocok tanam), pembagian musim, arah naga, wuku (pengaruh posisi rasi bintang terhadap prsitiwa-pristiwa di permukaan bumi) dan pedoman dalam kehidupan sehari-hari [9] . Sistem kerja papan warige yaitu ini dengan membaca simbol-simbol yang terdapat didalamnya. Dan simbol-simbol yang ada di dalamnya ini adalah catatan yang berasal dari hasil pengamatan alam dan fenomena astronomi terutama gugus bintang oleh para leluluhur suku Sasak. sumber :http://berajahaksara.org/2017/09/19/menilik-akar-sejarah-astronomi-sasak-tradisi-periodisasi-kalender-rowot-sasak/
Bahasa menunjukkan bangsa, begitu sekiranya ungkapan yang tepat untuk menggambarkan sebuah kekayaan aksara yang dimiliki oleh masyarakat Sumatera Selatan. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan ditemukannya banyak peninggalan sejarah yang berupa naskah kuno dan aksara yang berasal dari zaman Kerajaan Sriwijaya. Di Kota Palembang misalnya, banyak ditemukan naskah kuno yang beranekaragam, baik itu dilihat dari jenisnya, bentuk aksara yang digunakan, sampai media yang digunakan untuk menuliskan naskah tersebut. Aksara yang digunakan pun beranekaragam, seperti aksara Jawi, Jawa, Arab, serta Ulu (Ka Ga Nga). Sedangkan jika dilihat dari media yang digunakan, pada naskah kuno Palembang banyak ditulis pada media kulit daun pohon halim dan bambu. Isi naskah tersebut menceritakan banyak hal, seperti halnya tentang sejarah, matera-matera, cerita wayang, doa-doa, sampai pelajaran agama Islam. Sebagian naskah kuno Palembang dari masa lampau tersebut saat ini banyak tersimpan di museum-...