Prasasti Munjul adalah sebuah prasasti bertuliskan aksara Pallawa yang terletak di tepi Sungai Cidangiang, Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Prasasti dengan bahasa Sansekerta tersebut ditulis oleh raja ketiga Kerajaan Tarumanegara, Raja Purnawarman (395-434 M.). Menurut cerita, Purnawarman menulis prasasti itu untuk mengabadikan sebuah peristiwa besar yang terjadi di daerah Munjul.
Bukti daerah Banten telah memasuki masa sejarah diketahui sejak tahun 1974 saat ditemukannya sebuah batu bertulis di Munujul Pandeglang di aliran sungai Cidanghyang. Batu tersebut menggunakan aksara Palawa . Tahun 1950, De Casparis bersama mahsiswanya bernama Boechari berhasil membaca batu tertulis itu dan menyimpulkan prasasti tersebut adalah peninggalan raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara abad V Masehi.
Prasasti Munjul berisi dua baris huruf Pallawa seperti huruf pada Prasasti Tugu di Jakarta dan menggunakan bahasa Sansekerta, pertama kali ditemukan pada tahun 1947 dan pada tahun 1950 De Casparis bersama mahasiswanya yang bernama Boechari berhasil membaca tulisan pada prasasti tersebut yang berbunyi : "Wikranto yam wanipateh-prabhuh satyapara (k) ra (mah)- narendraddhwajabhutena- srimatah purnnawamanah ." Terjemahannya kira-kira seperti ini : "Ini adalah tanda keperwiraan, keagungan dan keberanian yang sesungguhnya dari raja dunia yang mulia Purnawarman yang menjadi panji-panji sekalian raja-raja." Berdasarkan temuan prasasti Muncul dapat ditarik kesimpulan sejak abad V Banten telah masuk ke dalam kekuasaan kerajaan Tarumanegara yang berkedudukan di daerah Bogor. Sumber : Museum Negeri Provinsi Banten
Prasasti Cidanghiyang dilaporkan pertama kali oleh Toebagus Roesjan kepada Dinas Purbakala ahun 1947 (OV 1949:10), tetapi diteliti pertamakli tahun 1954. Prasasti Cidanghiyang dipahatkan pada batu dengan bentuk alami (3 x 2 x 2 meter). Prasasti Cidanghiyang ditulis dalam aksara Pallawa yang disusun dalam bentuk seloka bahasa Sanskerta dengan metrum Anustubh (bentuk aksaranya mirip dengan yang digoreskan pada Prasasti Tugu dari periode yang sama).
Prasasti ini diperkirakan berasal dari masa Kesultanan Banten yang dibuat pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Syifa Zaenal Arifin (1733-1750). Prasasti Muruy terbuat dari batu andesit dengan tinggi sekitar 140 cm dan lebar kurang lebih 200 cm. Pada salah satu sisinya terdapat ajsara arab dalam bentuk tulisan kaligrafi. Prasasti ini memuat aksara arab yang diduga sebagai candra sangkala (penanggalan) yang tetulis sebagai berikut : “ Athal haman khomsatun anabu sahra al-sanatun(1661 H) â€Â tertera dibatu tersebut. Berdasarkan aksara arab yang menunjukkan penanggalan Hijriyah, apabila dihitung ke dalam tahunan Masehi maka diperkirakan sekitar tahun 1741 Masehi, kurang lebih semasa dengan pemerintahan Sultan Muhammad Syifa Zaenal Arifin. Untuk sampai ke lokasi, yakni di Kampung Muruy, Desa Muruy Kecamatan Menes harus melewati jalan desa dan prasasti ini terletak di pinggir sebuah sungai. Lokasi Prasasti Muruy berjarak 58 Km...
Batu Trong Trong atau masyarakat sekitar menyebutnya sebagai batu kentongan, sekilas nampak seperti bentuk sebuah “kentongan”. Fungsi sebenarnya dari batu ini tidak diketahui secara pasti karena sudah tidak berada lagi dalam kontek budaya masyarakat pendukungnya. Namun ada banyak kemungkinan mengenai fungsi batu ini, bisa sebagai peti kubur batu atau sebagai lambang kesuburan serta bentuknya yang menyerupai alat kemaluan wanita. Batu ini terbuat dari batuan beku andesit dengan tinggi ±42 cm dan lebar ±22 cm. Batu Trong Trong ini terdapat di Kampung Batu Ranjang, Desa Batu Ranjang, Kecamatan Cimanuk, kurang lebih 57 km dari Ibu Kota Provinsi Banten atau sekitar 22 km dari Ibu Kota Kabupaten Pandeglang. Peti kubur batu merupakan bagian dari tradisi megalitik pada masa bercocok tanam. Pada masa ini dikenal budaya adanya tradisi penguburan sekunder, yakni ketika jasad si mati telah tinggal tulang belulang, kemudian dipindahkan ke dalam wadah berupa peti kub...
Tidak jauh dari lokasi Arca Sang Hyang Dengdek, tepatnya di Kampung Cisata, Desa Sang Hyang Dengdek, Kecamatan Cisata terdapat beberapa buah batu dengan bentukan yang unik menyerupai bentuk cakram dengan satu buah batu kecil yang menonjol pada bagian atasnya. Masyarakat sekitar menamakan batu ini dengan sebutan Batu Sorban, mungkin karena bentuknya yang menyerupai sorban. Batu-batu tersebut tersebar tidak beraturan di lokasi ini. Ukuran batu sorban ini rata-rata berdiameter ±30 cm dengan ketebalan berkisar ±10,5 cm dan tersebar di areal seluas ±2 m 2 . Keadaan batu ini relative baik tetapi kurang terurus. Kondisi jalan berbatu dengan ukuran jalan setapak harus dilalui untuk sampai di lokasi Batu Sorban. Jarak dari Ibu Kota Provinsi Banten sekitar 62 km atau 39 km kea rah selatan ibu kota Pandeglang. Sumber: Dalam buku “Dokumentasi Benda Cagar Budaya dan Kepurbakalaan Provinsi Banten Tahun 2011, cetakan III”, Dinas Budaya dan Par...
Di lereng Gunung Pulosari, tepatnya di Kecamatan Cisata, Desa Sang Hyang Dengdek, Kecamatan Saketi, ditemukan peninggalan megalitik dalam bentuk komplek menhir terkonsentrasi yang disebut Sanghyang Heuleut, didekatnya berdiri menhir-menhir kecil. Ada satu buah menhir berukuran paling besar dengan tinggi ± 130 cm. Belum dapat dipastikan apakah batu ini telah mengalami modifikasi oleh masyarakat pendukung kebudayaan megalitik ini, atau batu alam yang ditata sedemikian rupa untuk pemujaan. Jarak dari Ibu Kota Provinsi Banten sekitar 62 km atau 39 km dari kota Pandeglang. Sumber: Dalam buku “Dokumentasi Benda Cagar Budaya dan Kepurbakalaan Provinsi Banten Tahun 2011, cetakan III”, Dinas Budaya dan Pariwisata Provinsi Banten, halaman 9.
Sanghyang Dengdek merupakan peninggalan tradisi megalitik berbentuk arca dengan bentuk yang sederhana, berbentuk manusia. Pada bagian atas berbentuk seperti kepala/wajah manusia yang terdiri dari: mata bulat, mulut hanya berupa goresan, telinga dibuat tipis dan hidung tidak nyata, kedua tangan menjulur ke arah perut tetapi alat kelamin tidak nampak (Guillot, 1996:100). Karena bentuknya yang agak membungkuk, arca ini sering pula diberi julukan “Si Bungkuk Yang Terpuja”. Arca ini berukuran tinggi ± 75 cm. Arca semacam ini dikategorikan ke dalam tipe arca megalitik yang belum menggambarkan sebuah karya seni yang tinggi. Arca megalitik ini diduga berkaitan dengan pemujaan nenek moyang, dengan anggapan bahwa arca tersebut merupakan pesonifikasi dari orang yang telah meninggal dan sekaligus sebagai sarana pemujaan arwah. Lokasi benda cagar budaya ini berada di Kampung Cipurut, Desa Sang Hyang Dengdek, Kecamatan Saketi, ± 61 km dari Ibu Kota Provinsi Banten at...