Pada zaman dahulu kala, di sebuah kampung antah berantah, hidulah sepasang suami istri. Mereka merupakan sebuah keluarga yang sangat miskin. Rumahnya dari pelepah daun rumbia yang didirikan seperti pagar sangkar puyuh. Atap rumah mereka dari daun rumbia yang dianyam. Tidak ada lantai semen atau papan di rumah tersebut, kecuali tanah yang diratakan dan dipadatkan. Di sana tikar anyaman daun pandan digelar untuk tempat duduk dan istirahat keluarga tersebut. Demikianlah miskinnya keluarga itu. Rumah mereka pun jauh dari pasar dan keramaian. Namun demikian, suami-istri yang usianya sudah setengah abad itu sangat rajin beribadah. “Istriku,” kata sang suami suatu malam. “Sebenarnya apakah kesalahan kita sehingga sudah di usia begini tua, kita belum juga dianugerahkan seorang anak pun. Padahal, aku tak pernah menyakiti orang, tak pernah berbuat jahat kepada orang, tak pernah mencuri walaupun kita kadang tak ada beras untuk tanak.”...
Alkisah, Unok adalah seseorang makhluk halus atau Aulia yang bertubuh besar dan tinggi.Ia juga seseorang muslim atau orang yang beragama Islam dan menjadi seseorang ulama.Bila ia ingin Sholat atau bersembahyang,ia selalu sholat di Mekkah.Sedangkan bila ia ingin menunaikan Sholat Jum’at atau Bersembahyang pada hari Jum’at,karena bagi orang Islam Hari Jum’at adalah hari Suci,Unok menunaikannya di Tanah Gayo,Aceh.Sedangkan kendaraan yang dipakainya belum dapat dipastikan. Dikisahkan,Unok mendapatkan wahyu dari Tuhan yang Maha Kuasa,Sang pencipta dan penguasa langit,bumi,dan seisinya.Tuhannya mengatakan bahwa akan terjadi mala petaka di tanah Gayo yang akan diturunkan oleh Tuhan pada suatu masa,yaitu air bah yang menghancurkan harta benda dan raga manusia ini seluruhnya“Wahai Unok, ingatlah.Pada suatu saat nanti,Aku akan menurunkan sebuah malapetaka pada Tanah Gayo,yaitu air bah yang menghancurkan harta benda dan raga...
Tujuh Anak Lelaki Ditulis pada 31 Maret 2010 oleh Agus Anshori Cerita Rakyat dari : Aceh Alkisah, di sebuah kampung di daerah Nanggroe Aceh Darussalam, ada sepasang suami-istri yang mempunyai tujuh orang anak laki-laki yang masih kecil. Anak yang paling tua berumur sepuluh tahun, sedangkan yang paling bungsu berumur dua tahun. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, sepasang suami-istri itu menanam sayur-sayuran untuk dimakan sehari-hari dan sisanya dijual ke pasar. Meskipun serba pas-pasan, kehidupan mereka senantiasa rukun, damai, dan tenteram. Pada suatu waktu, kampung mereka dilanda musim kemarau yang berkepanjangan. Semua tumbuhan mati karena kekeringan. Penduduk kampung pun mulai kekurangan makanan. Persediaan makanan mereka semakin hari semakin menipis, sementara musim kemarau tak kunjung usai. Akhirnya, seluruh penduduk kampung menderita kelaparan, termasuk keluarga sepasang suami-is...
Banta Berensyah adalah seorang anak laki-laki yatim dan miskin. Ia sangat rajin bekerja dan selalu bersabar dalam menghadapi berbagai hinaan dari pamannya yang bernama Jakub. Berkat kerja keras dan kesabarannya menerima hinaan tersebut, ia berhasil menikah dengan seorang putri raja yang cantik jelita dan dinobatkan menjadi raja. Bagaimana kisahnya? Ikuti cerita Banta Berensyah berikut ini! Alkisah, di sebuah dusun terpencil di daerah Nanggro Aceh Darussalam, hiduplah seorang janda bersama seorang anak laki-lakinya yang bernama Banta Berensyah. Banta Berensyah seorang anak yang rajin dan mahir bermain suling. Kedua ibu dan anak itu tinggal di sebuah gubuk bambu yang beratapkan ilalang dan beralaskan dedaunan kering dengan kondisi hampir roboh. Kala hujan turun, air dengan leluasa masuk ke dalamnya. Bangunan gubuk itu benar-benar tidak layak huni lagi. Namun apa hendak dibuat, jangankan biaya untuk memperbaiki gubuk itu, untuk makan sehari-hari pun mereka kesulitan.Untuk bertahan...
Tersebutlah kisah, seekor raja burung parakeet hidup beserta rakyatnya di sebuah hutan di Aceh. Hidup mereka damai. Kedamaian tersebut terganggu, karena kehadiran seorang pemburu. Pada suatu hari pemburu tersebut berhasil menaruh perekat di sekitar sangkar-sangkar burung tersebut. Mereka berusaha melepaskan sayap dan badan dari perekat tersebut. Namun upaya tersebut gagal. Hampir semuanya panik,kecuali si raja parakeet. Ia berkata, "Saudaraku, tenanglah. Ini adalah perekat yang dibuat oleh pemburu. Kalau pemburu itu datang, berpura-puralah mati. Setelah melepaskan perekat, pemburu itu akan memeriksa kita. Kalau ia mendapatkan kita mati, ia akan membuang kita. Tunggulah sampai hitungan ke seratus, sebelum kita bersama-sama terbang kembali. Keesokan harinya, datanglah pemburu tersebut. Setelah melepaskan perekatnya, ia mengambil hasil tangkapannya. Betapa ia kecewa setelah mengetahui burung-burung tersebut sudah tidak bergerak, disangkanya sudah mati. Namun pemburu...
Pada zaman dahulu kala, di sebuah kampung antah berantah, hidulah sepasang suami istri. Mereka merupakan sebuah keluarga yang sangat miskin. Rumahnya dari pelepah daun rumbia yang didirikan seperti pagar sangkar puyuh. Atap rumah mereka dari daun rumbia yang dianyam. Tidak ada lantai semen atau papan di rumah tersebut, kecuali tanah yang diratakan dan dipadatkan. Di sana tikar anyaman daun pandan digelar untuk tempat duduk dan istirahat keluarga tersebut. Demikianlah miskinnya keluarga itu. Rumah mereka pun jauh dari pasar dan keramaian. Namun demikian, suami-istri yang usianya sudah setengah abad itu sangat rajin beribadah. “Istriku,” kata sang suami suatu malam. “Sebenarnya apakah kesalahan kita sehingga sudah di usia begini tua, kita belum juga dianugerahkan seorang anak pun. Padahal, aku tak pernah menyakiti orang, tak pernah berbuat jahat kepada orang, tak pernah mencuri walaupun kita kadang tak ada beras untuk tanak.”...
Konon, tari Guel berasal dari dua orang putera Sultan Johor, Malaysia, bernama Muria dan adiknya yang bernama Segenda. Alkisah, pada suatu hari kedua kakak-beradik itu disuruh oleh orang tuanya menggembala itik di tepi laut. Sambil menggembala, untuk mengisi kebosanan, mereka bermain layang-layang. Suatu saat, datanglah angin kencang yang membuat layang-layang mereka putus. Secara spontan mereka berusaha sekuat tenaga mengejar layang-layangnya yang putus itu, sehingga lupa pada itik-itik yang harus mereka jaga. Karena kelengahan ini, itik-itik yang harus mereka jaga berenang dan akhirnya hilang di tengah laut. Sebagai catatan, versi lain dari cerita ini yang menyatakan bahwa, akibat hembusan angin yang sangat kencang itu mereka bersama layang-layangnya diterbangkan oleh angin hingga jatuh di Negeri Serule, Aceh Tengah yang dikuasai oleh Raja Cik Serule yang bergelar Muyang Kaya Lanang Bejeye. Setelah lelah mengejar layang-layang yang putus, kembali lagi ke tepi laut untuk...
Alkisah, di sebuah daerah di Kabupaten Aceh Tenggara, hiduplah seorang janda bersama dengan seorang anak laki-lakinya yang bernama Si Kepar. Ayah dan ibu si Kepar bercerai sejak si Kepar masih berusia satu tahun, sehingga ia tidak mengenal sosok ayahnya. Sebagai anak yatim, Si Kepar sering diejek oleh teman-teman sepermainannya sebagai jazah (anak tak berayah). Oleh karena itu, Si Kepar ingin mengetahui siapa sebenarnya ayahnya. Pada suatu hari, Si Kepar pun menanyakan hal itu kepada ibunya. Pada awalnya, ibunya enggan menceritakan siapa dan di mana ayah Si Kepar. Namun, akhirnya diceritakan juga setelah Si Kepar mengancam akan bunuh diri jika tidak diceritakan. Setelah jelas siapa dan di mana ayahnya, Si Kepar pun berniat untuk menemui ayahnya di atas sebuah gunung yang sangat jauh. Setelah berpamitan pada ibunya, Si Kepar pun berangkat untuk menemui ayahnya dengan perbekalan secukupnya. Ia berjalan sendiri melawati hutan belantara, menyeberangi sungai dan mendaki gunung. A...
Seorang pemuda bernama Sahudin. Jika dilihat tampangnya, terlihat agak ganteng, tapi dia sedikit kurang cerdas. Sahudin seorang bujang yang ingin menikah. Ia pun menyampaikan niat itu pada bibinya, kemudian bibinya ini yang akan menjadi perpanjangan lidah Sahudin pada orangtuanya. Dipilihlah seorang gadis untuk Sahudin. Setelah acara pelamaran, pesta pun digelar. Semuanya terjadi serba cepat. Si gadis langsung mengiyakan lamaran karena melihat tampang Sahudin yang lumayan. Setelah menikah, barulah terlihat perlahan. Awalnya Sahudin tidak punya pekerjaan, semuanya hanya berharap dari belas kasih mertuanya, karena memang dia tinggal di rumah istri. Sampai sekian lama belum juga ada mata pencaharian Sahudin. Si istri mulai berbadan dua. Mertua juga mulai lelah melihat keadaan menantunya. Adanya hanya duduk-duduk di rumah setiap hari, bermain dengan istrinya, begitu setiap harinya. Telah sampai masa, si istri melahirkan seorang anak perempuan. Sahudin belum menunjukkan perubahan...