Bandung adalah kota metropolitan yang secara geografis bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat. Bandung memiliki banyak nama. Satu di antaranya yang legendaris adalah Kota Kembang. Padu padan 'Bandung Kota Kembang' bermakna Bandung Kota Bunga. Dalam gambaran kata per kata, Kota Bandung pada saat itu memiliki keindahan yang sangat luar biasa dengan hiasan bunga yang tumbuh subur. Seperti itulah pengertian sebagian besar masyarakat akan makna sebutan 'Bandung Kota Kembang'. Dalam sudut pandang sejarawan, sebutan 'kota kembang' mengarah pada kekaguman para bangsawan Belanda terhadap gadis – gadis Kota Bandung zaman dahulu kala, yang kecantikannya mereka analogikan sebagai keindahan kembang atau bunga.
Bandung juga terkenal dengan kota yang memiliki banyak ciri khasnya tersendiri. Terutama dalam bidang kesenian. Banyak seniman – seniman yang lahir di Kota Bandung. Salah satunya adalah Bapak Gugum Gumbira. Beliau merupakan seorang pegiat seni yang menaruh perhatiannya pada seni tari tradisional jaipongan. Bapak Gugum Gumbira yang dilahirkan di Bandung pada tanggal, 4 April 1945 dari seorang ayah bernama H. Suhari Miharta dan ibunya bernama Hj. Oyoh, merupakan anak pertama dari lima bersaudara, yaitu: Gugus Gusnadi, Gagar Garwati, Dedi Kusnadi, dan Gagan Suhanda. Pekerjaan waktu itu adalah juru tulis di kantor Kelurahan Bojong Loa, Kecamatan Kopo, Kotamadya Bandung, dan juga sebagai guru Penca di daerah tersebut. Dalam meniti karir berkeseniannya, Gugum memulainya dengan belajar berbagai jurus penca dari berbagai ‘aliran’, seperti; Cikalong, Cimande, dan Sabandar. Ia belajar aliran Cikalong dan Cimande dari Bah Saleh, Ki Bacih, dan Ki Sanhudi. Proses pembelajaran yang diterimanya tidak saja sebatas fisik, tetapi sampai pada unsur-unsur di luar fisik, (dalam dunia persilatan sering disebut ‘kebatinan’). Selain ayahnya sendiri, Ki Bacih dan Ki Sanhudi inilah yang banyak mewarnai prinsip berkeseniannya. Bahkan pendalamannya terhadap Penca/maenpo, menggiring Beliau pada penemuan bagian padungdung kendor yang menjadi landasan inspiratif munculnya kebebasan atau fleksibilitas irama dalam Jaipongan, sehingga membuka ruang atau peluang bagi penari untuk bebas bergerak menampilkan jurus-jurus dengan irama tidak terikat. Petualangannya dalam proses berkesenian terjadi terutama pada masa setelah berkeluarga, Ia mempelajari berbagai jenis kesenian seperti: Ketuk Tilu dari Ki Sanhudi, Ibu Jubaedah, dan Bapak Akil. Secara koreografis, tarian pada kesenian Ketuk Tilu masih menggunakan struktur koreografi yang terdiri dari ragam gerak bukaan, pencugan, nibakeun, dan beberapa gerak mincig. Keberadaannya seperti itu memberikan inspirasi terhadapnya dalam persoalan struktur tarian, oleh karenanya kesenian tradisional Ketuk Tilu pada gilirannya menjadi dasar struktur koreografi penciptaan tari Jaipongan. Selanjutnya adalah kesenian Topeng Banjet, Ia pelajari dari Bapak Epeng, Ali Saban, dan Bah Pendul. Khususnya dalam penampilan penari perempuan, pada umumnya menggunakan ragam hias yang cukup menarik mulai dari bagian rambut menggunakan hiasan kembang, busananya menggunakan kabaya yang dihiasi dengan Toka-Toka atau tola, kewer, dan bagian bawahnya menggunakan sinjang. Di sisi lain, kesenian ini diiringi oleh seper40 angkat waditra Ketuk Tilu, namun ada pula yang menggunakan gamelan lengkap berlaras salendro. Adapun gerak tarinya yang cenderung erotis, (terkenal dengan istilah eplok cendol atau ‘goyang Karawang’ yang disajikan oleh kembang topeng atau penari primadona), memberikan penebalan terhadap munculnya nuansa erotis dalam Jaipongan.
Pada bagian akhir proses pembelajarannya, ada tradisi menjelang hataman yang disebut dengan upacara tawajuh. Upacara ini dimaksudkan sebagai sarana penolak bala, sekaligus pengakuan atau penanda lahirnya seniman atau dalang penerus. Upacara tawajuh ini dilakukan dengan cara ‘mandi kembang’, bakar kemenyan yang dilengkapi sasajen dan rurujakan. Ketika itu Beliau dimandikan dengan air kembang yang diwadahi oleh goong keramat, dengan harapan bahwa kelak namanya akan bergema seperti suara goong.
Mitos semacam ini dalam kehidupan orang Sunda disebut uga, yaitu suatu pernyataan dari seseorang yang mempunyai kepandaian khusus yang dapat menerawang kejadian atau peristiwa yang akan datang termasuk nasib seseorang (R.H. Hasan Mustapa, 1996: 262). Setelah berguru kepada beberapa tokoh Topeng Banjet, giliran berikutnya yang dipelajarinya adalah seni Kliningan Bajidoran. Daerah Pantai Utara Jawa Barat, khususnya Karawang dan Subang, memiliki banyak grup kesenian Kliningan Bajidoran yang dalam pertunjukannya selalu melibatkan kelompok bajidor (menunjuk kepada para pelaku yang berperan secara aktif dalam peristiwa Bajidoran), yakni meminta lagu, menari, dan memberi uang jaban (saweran; memberikan uang kepada sinden atau pangrawit). Ketertarikan Beliau pada kesenian ini, karena terdapatnya kesamaan bentuk sajian dengan beberapa jenis kesenian yang telah dipelajari sebelumnya, terutama pada; Ketuk Tilu, Penca, dan Topeng Banjet, kaya akan variasi gerak yang ditarikan secara spontan, improvisasi, dan unik, baik yang ditarikan oleh para pesinden maupun para bajidor. Untuk mengetahui lebih dekat dengan kesenian tersebut, Ia memutuskan ikut ngabajidor. Beliau mulai berkenalan dengan beberapa tokoh bajidor yang ada di daerah Karawang, seperti; Atut, Askin, Dimyati dan dari Subang, seperti; Lurah Hilman, Upas Omo, Lurah Joni, serta beberapa tokoh bajidor lainnya. Bahkan secara khusus Ia memberi catatan, bahwa dalam peristiwa Bajidoran tersebut Ia selalu memberikan beberapa krat (kotak) minuman bir (minuman yang beralkohol rendah) untuk para bajidor, selain itu juga banyak mengeluarkan uang untuk jaban.
Karya Bapak Gugum Gumbira yang pertama kali dikenal masyarakat adalah Tari Jaipong "Daun Pulus Keser Bojong" dan "Rendeng Bojong". Dari kedua jenis tarian itu, muncul beberapa nama penari Jaipong terkenal seperti, Tati Saleh, Eli Somali, Yeti Mamat, dan Pepen Dedi Kurniadi. Kemudian pada tahun 1980 – 1990-an, Bapak Gugum Gumbira kembali menciptakan tari lainnya seperti Toka – toka, Setra Sari, Sonteng, Pencug, dan berbagai tari lainnya. Tentu saja seiring dengan berjalannya waktu, jumlah para penari yang semakin profesionalpun bertambah. Dapat dikatakan, Tari Jaipong telah menjadi salah satu ikon kesenian yang dimiliki Jawa Barat, dan sering dipertontonkan pada berbagai acara termasuk acara – acara penting untuk menghibur tamu asing dari berbagai negara yang datang ke Kota Bandung. Juga, saat melakukan misi kesenian ke mancanegara. Namun untuk membuat kesenian Tari Jaipong terkenal dan diterima oleh masyarakat pada awalnya tidak berjalan dengan baik. Pada awal kemunculannya, tarian ini sempat menjadi perbincangan hangat, terlebih karena gerakan – gerakannya yang dianggap erotis dan vulgar. Tapi hal itu justru membuat Tari Jaipong mendapatkan perhatian dari media, termasuk ditayangkannya Tari Jaipong pada tahun 1980 di TVRI Stasiun Pusat Jakarta. Semenjak itu, Tari Jaipong semakin populer dan frekuensi pementasannya pun semakin bertambah. Kelahiran Tari Jaipong pun menginspirasi para penggerak seni tari tradisional untuk lebih aktif lagi menggali jenis tarian rakyat yang sebelumnya kurang mendapat perhatian. Kemunculan jenis tarian ini juga membuka lahan usaha bagi para penggiat seni yang membuka kursus untuk belajar Tari Jaipong. Sementara pengusaha hiburan malam memanfaatkan Tari Jaipong untuk memikat pengunjung tempat usahanya.
sumber :
Afifiyah, S. (2019, April 24). Bandung adalah Kota Kembang, ini sejarahnya. Retrieved from Tagar.id: http://www.tagar.id/bandung-adalah-kota-kembang-ini-sejarahnya
Exploride, T. I. (n.d.). Tari Jaipong. Retrieved from Indonesia Kaya Eksplorasi Budaya di Zamrud Khatulistiwa: http://www.indonesiakaya.com/jelajah-indonesia/detail/tari-jaipong
Jawaami, A. J. (2017, Agustus 10). Menyedihkan, Ini Alasan Kenapa Bandung Disebut Kota Kembang. Retrieved from Ayo Bandung: http://www.ayobandung.com/read/2017/08/10/22574/menyedihkan-ini-alasan-kenapa-bandung-disebut-kota-kembang
Mulyana, E., & Ramlan, L. (2012). Keser bojong: Idealisasi Pencitraan Jaipongan Karya Gugum Gumbira. Jurnal Seni & Budaya Panggung Vol. 22, No. 1, 37-51. Retrieved from http://www.researchgate.net/publication/320422389_Keser_bojong_Idealisasi_Pencitraan_Jaipongan_Karya_Gugum_Gumbira
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja