Wayang kulit Bekasi sebenarnya masih sama latar belakangnya dengan wayang-wayang sejenis yang ada di Pulau Jawa. Yang membedakan antara wayang kulit Bekasi dengan wayang kulit daerah lain adalah faktor sosilogis dan pengaruh budaya lingkungannya. Perbedaan lainnya yaitu adanya tokoh yang lebih mirip dengan wayang golek misalnya Semar, Cepot, Udel dan Gareng, sementara Dorna digambarkan dengan wajah kearab-araban dengan memakai topi haji.
Awalnya wayang kulit Bekasi dibawa oleh seseorang yang bernama Balentet. Setelah ia berguru di daerah Cirebon dengan membawa wayang kulit Pandawa Lima sebagai warisan gurunya, Balentet mematangkan ilmu pedalangannya di daerah Bekasi dengan mendatangi tiga orang guru pedalangan, diantaranya Mbah Belentuk, Mbah Rasiun dan Mbah Cepe. Sekitar tahun 1918, Balentet mulai mendalang hingga meninggal dunia pada tahun 1982.
Sebagai dalang kondang di Bekasi, menjelang akhir hayatnya Balentet mewariskan keterampilan mendalangnya kepada putra-putranya, diantaranya Naman Sanjaya Balentet dan Namin. Keterampilan mendalang putra Balentet ini cukup terkenal di wilayah Bekasi, karena cara memainkan wayang dan pertunjukan wayang itu sendiri yang sangat egaliter.
Sebagai seni pertunjukan yang merakyat, wayang kulit Bekasi biasa dipertontonkan di tengah-tengah masyarakatnya. Adakalanya pertunjukan wayang kulit Bekasi ini dipersembahkan dalam acara hajat bumi sebagai peristiwa yang dianggap sakral. Namun, sebagai seni pertunjukan rakyat, kesenian ini melayani pula pesanan atau tanggapan dari masyarakat yang akan melaksanakan kenduri, baik khitanan maupun pernikahan.
Pertunjukan wayang kulit Bekasi dibagi menjadi tiga bagian. Pertama adalah bubuka, dimulai pada pukul 20.00 sampai tengah malam. Bagian ini menjelaskan keseluruhan cerita yang akan dipertunjukkan dengan diawali penjelasan Ki Dalang tentang cerita yang akan disajikan, kemudian dilanjutkan dengan tatalu, rajah, nyandera atau menjelaskan adegan-adegan yang akan dipentaskan (patetnem). Kedua adalah isi cerita, berlangsung dari tengah malam sampai kurang lebih pukul 03.00 dini hari. Bagian ini mempertunjukkan bagaimana beberapa persoalan dalam sebuah lakon dipecahkan (patetsanga). Ketiga adalah tutup kayon dari pukul 03.00 dini hari sampai pertunjukan selesai.
Dari segi gaya permainan, wayang kulit Bekasi sangat mungkin mendapatkan pengaruh dari wayang golek Sunda, sekalipun bahasa yang digunakan adalah bahasa Bekasi (Betawi pinggiran). Namun pengaruh itu tetap terlihat pada intonasi dan narasi yang terikat dalam struktur melodi yang nyaris sama dengan pedalangan Sunda. Pertunjukan wayang kulit Bekasi diiringi dengan seni suara dan gending iringan Sunda yang berlaras salendro, serta aksen-aksen berupa tarompet, suling dan rebab. Adapun jenis-jenis musik atau komposisi yang dimainkan dalam pertunjukan wayang kulit Bekasi ini dapat digolong-golongkan dalam: musik pembuka, musik wayang, musik perang, musik hiburan, musik respon dan musik penutup.
Penampilan wayang kulit Bekasi dilengkapi dengan teknik lampu yang memberikan efek visual wayang yang dimainkan menjadi lebih hidup. Hal demikian sangat menarik perhatian penonton/masyarakat pendukungnya. Apalagi dalam cerita yang dibawakannya lebih akrab dengan penonton, misalnya cerita humor, adegan perang, pencak silat atau lagu dan tariannya. Beberapa cerita khas wayang kulit Bekasi antara lain Aji Sukirana, Barong Sapu Jagal, Muris Kawin, Semar Ketemu Jodoh dan lain-lain.
Dalam kemandiriannya, wayang kulit Bekasi ini terasa memiliki kekhasan tersendiri dalam setiap pertunjukannya. Keunikan wayang kulit Bekasi nampaknya dihasilkan oleh sifat kerakyatan pertunjukannya sendiri dengan memilih ciri yang mandiri. Tidak heran jika hingga sekarang, wayang kulit Bekasi tetap mendapat tempat di hati masyarakatnya yang sudah dikepung oleh jenis-jenis seni pertunjukan modern itu.
Sumber: https://wayang.wordpress.com/2010/03/06/wayang-kulit-bekasi/
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja