WARANEY - Ujung tombak suku minahasa
Waraney dalah Prajurit perang pemberani dari bangsa Malesung (Orang Minahasa) yang tidak pernah mundur dalam setiap peperangan yang terjadi di zaman kolonial maupun sebelum zaman kolonial. Sebelum jadinya kolonial Belanda, Waraney merupakan tentara bangsa Malesung yang menjadi uejung tombak di setiap suku di Minahasa dalam melawan segala sesuatu yang dapat mengancam bangsa Malesung baik itu berupa binatang buas maupun manusia.
Empat suku besar Minahasa yaitu Tontemboan, Tonsea, Tolour dan Tombulu akan menyiapkan para Waraney untuk selalu siaga dalam menjaga daerahnya masing-masing dengan mengadakan pelatihan kepada pemuda pemudi mereka untuk dijadikan penerus dalam menjaga daerahnya masing-masing. Di zaman itu para calon Waraney disebut SAWANG yang artinya calon Waraney seorang laki-laki maupun perempuan yang masih dalam pelatihan PAPENDANGAN (Sekolah Untuk Waraney) mereka akan dilatih para orang tua mereka dan pemimpin suku mereka masing-masing untuk menjadi prajurit yang gagah, pemberani dan kuat di medan tempur. Jadi artinya semua yang sudah melewati pelatihan dan sudah siap bertempur untuk sukunya disebut Waraney dan khusus para perempuan disebut INA WARANEY yang artinya prajurit pemberani wanita.
Tugas seorang Waraney bukan sajalah sebagai seorang perajurit untuk berperang karena mereka akan siap untuk menjadi perajurit perang dimana daerah mereka akan terancam oleh marabahaya dari luar maupun dari dalam. Jadi Waraney yang dimaksudkan adalah dia sebagai seorang yang dapat melindungi suku, menafkahi keluarga, memimpin suku dan menjaga tradisi dari para leluhur Minahasa. Jadi Waraney disaat itu ialah mereka para pemburu, petani, ahli seni, ahli bangunan, nelayan, ahli pengobatan, dan ahli perang.
Dalam perjalanan waktu masuk dalam kolonial Belanda, para Waraney tetap kokoh menjaga setiap prinsip dasar mereka walaupun beberapa daerah mulai pudar dengan mengandalkan prajurit Waraney dikarenakan Belanda telah membangun sistem pemerintahan dimana dalam peperangan para Waraney sudah jarang dilibatkan karena Belanda telah membentuk tentara pemerintah untuk keamanan daerah-daerah di Minahasa, tetapi makna dan semangat Waraney selalu tumbuh dalam perjuangan setiap orang Minahasa dimana mereka selalu tetap memegang teguh tradisi warisan para leluhur bangsa Malesung. Ketika agama Kristen sudah diterima oleh orang Minahasa nama Waraney sudah mulai redup akibat banyak pertentangan dalam tradisi ritual kuno aliran Bangsa Malesung. Makna perjuangan para Waraney di bawa terus oleh KAWASARAN yaitu tarian perang bangsa malesung yang di jadikan tradisi untuk selalu mengingatkan para keturunan bangsa malesung bahwa setiap peperangan itu sama dengan setiap ucapan perintah seorang Kawasaran dalam setiap kalimat yang diucapkannya dan langkah-langkah dari seorang pemain tarian Kawasaran adalah gambaran dimana para pejuang Waraney bertempur melayang bagaikan burung dilangit.
Para Waraney dalam setiap peperangan melawan musuh mereka, selalu menunggu tanda dari Burung MANGUNI yang mempunyai arti Mengamati, Burung ini sangat berperan dalam Bangsa malesung, karena para leluhur bangsa Malesung menjadikan burung Manguni ini sangat sakral dikarenakan kepercayaan bangsa Malesung bahwa manguni adalah burung penuntun leluhur bangsa Malesung hingga tiba ditanah Minahasa seperti yang di Janjikan oleh OPO EMPUNG WANGKO kepada bangsa malesung yang artinya adalah Tuhan yang Maha Besar juga sura dari burung Manguni dipercayah bawah suara tersebut adalah perpanjangan dari Opo Empung atau disebut KOKO NI MAMARIMBING. Burung manguni sangat melekat dengan bangsa Minahasa sehinggah ketika bangsa Minahasa menerima ajaran Kristen Protestant burung ini dijadikan lambang organisasi gereja di Minahasa yang saat ini adalah GMIM (Gereja Masehi Injil Minahasa).
Jadi makna dari Waraney di era saat ini, dimana Bangsa Malesung atau Tanah Minahasa yang saat ini telah menjadi bagian dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) adalah suatu arti bahwa kita keturunan bangsa Malesung harus selalu menjaga tanah Minahasa agar selalu tentram dan damai, dimana para Waraney era ini di tuntut untuk rajin bekerja, membangun daerah, berjuang untuk anak cucu kita dan melestarikan adat budaya warisan leluhur dengan benar untuk kesenjangan kehidupan Bangsa Malesung atau sebutan Era ini Orang Minahasa/Manado, apabilah Waraney di Era ini di Artikan sebagai seorang yang arogan, sombong, suka berkelahi, pemaki, rasis, alkoholik dan hal2 buruk lainnya itu bukanlah seorang Waraney melainkan para perusak nama baik dari Waraney.
Saat ini di Minahasa melahirkan banyak Organisasi Adat yang menggunakan nama Waraney sehingga banyak orang mulai ingin tahu tentang Waraney, ada yang hanya melihat dari segi luar sehingga mengartikan Waraney adalah sosok yang arogansi yang siap menentang siapa saja yang ingin menjadi lawan dan ada juga yang mempelajarinya tetapi tidak mengerti makna Waraney itu sebenarnya sehingga mereka hanya memandang dari segi spiritual yang membuat diri mereka lupa waktu dan dengan tidak sadar mereka melakukan penyelewengan budaya. Jadi dalam beberapa Organisasi adat sudah mulai melakukan pelurusan arti dari Waraney sebenarnya dengan melakukan hal-hal yang positif dalam setiap kegiatan sosialnya sesuai dengan makna sebenarnya dari Waraney juga saat memberikan konsolidasi pemahaman dari Waraney. Dengan lahirnya para pemuda pemudi yang ingin mempertahankan nama baik Waraney selalu hidup, maka mereka membuat suatu lambang burung Manguni yang saat ini sering digunakan pada organisasi adat Minahasa ataupun kelompok dan komunitas adat lainnya.
Lambang burung manguni di atas ini mempunyai arti mulai dari sirip sayapnya pada kanan dan kiri semua berjumlah 9 (sembilan) jadi kanan dan kiri menjadi 2×9 (Dua Kali Sembilan) yang artinya MAKARUA SIOUW yang terdiri dari TONAAS dan WALIAN. Di dada burung terdiri dari 21 (Duapuluh Satu) sirip sama dengan 3×7 (Tiga Kali Tujuh) yang artinya MAKATELUPITU terdiri dari para TIMANI, TETERUSAN dan seluruh jajarannya atau disebut para WARANEY yang melindungi Jantung Burung. Maka gabungan seluruh sirip di sayap dan ekor adalah 9x9x9 (Sembilan Kali Sembilan Kali Sembilan) yang artinya PASIOWAN TELU terdiri dari para Petani, Pemburu dan Nelayan. Untuk matanya yang besar dan merah ialah mengawasi segalah sesuatu dalam siang dan malam. Dan yang terakhir adalah tulisan pekikan ” I YAYAT U SANTI” dalam cengkaraman burung Manguni mempunyai pengertian memerangi segala yang jahat ( Kezaliman dan Kelaliman ).
Jadi Burung Manguni ini melambangkan kekuatan para Waraney dalam menjaga tanah Minahasa, yang saat ini ditempati oleh 9 Suku Minahasa yaitu Tontemboan, Tonsea, Tolour, Tombulu, Tonsawang, Panosakan, Pasan, Babontehu dan Bantik.
Waraney mempunyai suatu Misi dan Visi yaitu:
“Esa Kita Peleng…! Esa Woan Pawetengan Kumihit Un Posan. Taan Kita Peleng Esa…! Maesa Wian Untep…! Maasa Masaru Se Kaseke Wana Ng’Kesot…!”
artinya ;
“Satu Kita Semua…! Satu Lalu Dipisahkan Tempat Karena Kebaktian Agama/Ajaran. Tapi Kita Semua Satu…! Satu Dibagian Dalam…! Bersatu Menghadap Musuh Dari Luar…!
Sumber :
BAHAN-BAHAN 1 ikat kangkung bumbu halus : 5 siung bawang merah 2 siung bawang putih 2 butir kemiri 1 sdt ketumbar bubuk seruas kencur aromatic : 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk 1 btg sereh seruas lengkuas,geprek seasoning : 1 sdt garam (sesuai selera) 1/2 sdt kaldu bubuk 1/2 sdm gula jawa sisir 1 sdt gula pasir Rose Brand 1 bungkus santan cair instan Rose Brand 1 liter air 3 sdm minyak goreng untuk menumis CARA MEMASAK: Siangi kangkung cuci bersih,tiriskan Haluskan bumbu Tumis bumbu halus hingga harum dengan secukupnya minyak goreng,masukkan aromatic,masak hingga layu,beri air 1 lt Masukkan kangkung,beri seasoning,aduk rata Koreksi rasa Sajikan Sumber: https://cookpad.com/id/resep/25030546?ref=search&search_term=kangkung
Bahan: 1 buah tomat, potong dadu 2 ekor ikan tongkol ukuran sedang (1/2kg) 1/2 bks bumbu marinasi bubuk 1 sdt bawang putih Secukupnya garam Secukupnya gula 7 siung bawang merah, iris 5 buah cabe rawit, iris 2 batang sereh, ambil bagian putihnya, iris 3 lembar daun jeruk, iris tipis-tipis 1 bks terasi ABC Minyak untuk menumis Secukupnya air Cara memasak: Cuci bersih ikan tongkol. Taburi bumbu marinasi desaku, garam secukupnya, air 2 sdm ke ikan tongkol. Siapkan bahan-bahan. Iris tipis bawang merah, daun jeruk, seret, cabe rawit. Kukus ikan tongkol selama 10 menit. Lapisi dengan daun pisang atau daun kunyit. Boleh jg tidak d lapisi. Setelah ikan di kukus, goreng ikan. Tumis bawang merah dan bahan lainnya. Masukkan terasi yg telah dihancurkan. Setelah matang, masukkan ikan yang telah digoreng. Aduk hingga rata. Sajikan dengan nasi hangat. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/24995999?ref=search&search_term=dabu+dabu
Bahan-bahan Porsi 2 orang Bumbu Ikan bakar : 2 ekor ikan peda 1 sdm kecap 1/2 sdm Gula merah 1/2 sdt garam Minyak goreng Bahan sambal dabu-dabu : 7 buah cabe rawit merah, iris kecil 1 buah tomat merah, iris dadu 3 siung bawang merah,iris halus 2 lembar daun jeruk, buang tulang tengah daun, iris tipis 2 sdm minyak goreng panas Cara Membuat: Marinasi ikan dengan air perasan jeruk nipis dan garam secukupnya, diamkan 20 menit, kemudian panggang diatas teflon(aku di happycall yang dialasi daun pisang) sesekali olesi minyak plus bumbu ke ikannya(aku pakai bumbu kecap dan gula merah) panggang sampai matang. Cara bikin Sambal dabu-dabu : Campurkan semua bahan sambal dabu-dabu ke dalam mangkok kecuali minyak kelapa, panaskan minyak kelapa, kemudian siram diatas sambal tadi, sajikan ikan peda bakar dengan sambal dabu-dabu. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/15232544?ref=search&search_term=peda+bakar
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.