Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Suku Banten Baduy
Urang Kanekes
- 4 Maret 2019

Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Urang_Kanekes

 

Urang Kanekes, Orang Kanekes atau Orang Baduy/Badui merupakan kelompok etnis masyarakat adat suku Banten di wilayah Kabupaten LebakBanten. Populasi mereka sekitar 26.000 orang, dan mereka merupakan salah satu suku yang mengisolasi diri mereka dari dunia luar. Selain itu mereka juga memiliki keyakinan tabu untuk didokumentasikan, khususnya penduduk wilayah Baduy Dalam.

Sensus Penduduk tahun 2010[sunting | sunting sumber]

Berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2010 oleh Badan Pusat Statistik IndonesiaSuku Baduy bersama Suku Banten dikelompokan ke dalam Suku asal Banten dengan total jumlah 4.657.784 jiwa.

Etimologi[sunting | sunting sumber]

Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, penulisan yang tepat adalah "Badui" dan bukan "Baduy".

Wilayah[sunting | sunting sumber]

Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” – 6°30’0” LS dan 108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 m di atas permukaan laut (DPL) tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata 20 °C.

Tiga desa utama orang Kanekes Dalam adalah CikeusikCikertawana, dan Cibeo.

Bahasa[sunting | sunting sumber]

Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes Dalam tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat-istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.

Orang Kanekes tidak mengenal sekolah, karena pendidikan formal berlawanan dengan adat-istiadat mereka. Mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di desa-desa mereka. Bahkan hingga hari ini, walaupun sejak era Soeharto pemerintah telah berusaha memaksa mereka untuk mengubah cara hidup mereka dan membangun fasilitas sekolah modern di wilayah mereka, orang Kanekes masih menolak usaha pemerintah tersebut. Akibatnya, mayoritas orang Kanekes tidak dapat membaca atau menulis.

Kelompok masyarakat[sunting | sunting sumber]

 
Orang Kanekes pada tahun 2010

Orang Kanekes memiliki hubungan sejarah dengan orang Sunda. Penampilan fisik dan bahasa mereka mirip dengan orang-orang Sunda pada umumnya. Satu-satunya perbedaan adalah kepercayaan dan cara hidup mereka. Orang Kanekes menutup diri dari pengaruh dunia luar dan secara ketat menjaga cara hidup mereka yang tradisional, sedangkan orang Sunda lebih terbuka kepada pengaruh asing dan mayoritas memeluk Islam.

Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtupanamping, dan dangka (Permana, 2001).

Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Kanekes Dalam (Baduy Dalam), yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua (warna tarum) serta memakai ikat kepala putih. Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang asing.

Kanekes Dalam adalah bagian dari keseluruhan orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka.

Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam antara lain:

  • Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi
  • Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki
  • Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un atau ketua adat)
  • Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi)
  • Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern. Kelompok masyarakat kedua yang disebut panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Kanekes Luar (Baduy Luar), yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna biru gelap (warna tarum).

Kanekes Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Kanekes Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes Dalam ke Kanekes Luar:

  • Mereka telah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam.
  • Berkeinginan untuk keluar dari Kanekes Dalam
  • Menikah dengan anggota Kanekes Luar

Ciri-ciri masyarakat orang Kanekes Luar

  • Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik.
  • Proses pembangunan rumah penduduk Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat # Kanekes Dalam
  • Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.
  • Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas kaca & plastik.
  • Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes Dalam.
  • Sebagian di antara mereka telah terpengaruh dan berpindah agama menjadi seorang muslim dalam jumlah cukup signifikan.

Apabila Kanekes Dalam dan Kanekes Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka "Kanekes Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar (Permana, 2001).

Asal usul[sunting | sunting sumber]

 
Delegasi Kanekes sekitar tahun 1920

Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.

Pendapat mengenai asal usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umun menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Kanekes sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.

Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Kanekes adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Kanekes sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-orang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan (wiwitan=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan.

 
Lukisan seorang Baduy di RijksmuseumAmsterdam sekitar tahun 1816 - 1846

Kepercayaan[sunting | sunting sumber]

Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai ajaran Sunda Wiwitan, ajaran leluhur turun temurun yang berakar pada penghormatan kepada karuhun atau arwah leluhurdan pemujaan kepada roh kekuatan alam (animisme). Meskipun sebagian besar aspek ajaran ini adalah asli tradisi turun-temurun, pada perkembangan selanjutnya ajaran leluhur ini juga sedikit dipengaruhi oleh beberapa aspek ajaran HinduBuddha, dan di kemudian hari ajaran Islam.

Bentuk penghormatan kepada roh kekuatan alam ini diwujudkan melalui sikap menjaga dan melestarikan alam; yaitu merawat alam sekitar (gunung, bukit, lembah, hutan, kebun, mata air, sungai, dan segala ekosistem di dalamnya), serta memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada alam, dengan cara merawat dan menjaga hutan larangan sebagai bagian dalam upaya menjaga keseimbangan alam semesta. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apa pun", atau perubahan sesedikit mungkin:

Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.

(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)

Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.

Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya Pu'un atau ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen (Permana, 2003a).

Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.

Pemerintahan[sunting | sunting sumber]

Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan negara Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi benturan. Secara nasional, penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu "Pu'un".

 
Struktur pemerintahan Kanekes

Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah "Pu'un" yang ada di tiga kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan Pu'un tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.

Mata pencaharian[sunting | sunting sumber]

Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.

Interaksi dengan masyarakat luar[sunting | sunting sumber]

Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat-istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten (Garna, 1993). Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui bupati Kabupaten Lebak. Di bidang pertanian, penduduk Kanekes Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa-menyewa tanah, dan tenaga buruh.

Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter, sekarang ini telah mempergunakan mata uang rupiah biasa. Orang Kanekes menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.

Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Kanekes Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol di sungai. Namun, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing (non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu ditolak masuk.

Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Kanekes juga senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Kanekes sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.

Rujukan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b "Baduy, Leuwidamar in Indonesia"Joshua Project. Diakses tanggal 2017-12-04.
  • Adimihardja, K. (2000). Orang Baduy di Banten Selatan: Manusia air pemelihara sungai, Jurnal Antropologi Indonesia, Th. XXIV, No. 61, Jan-Apr 2000, hal 47 – 59.
  • Garna, Y. (1993). Masyarakat Baduy di Banten, dalam Masyarakat Terasing di Indonesia, Editor: Koentjaraningrat & Simorangkir, Seri Etnografi Indonesia No.4. Jakarta: Departemen Sosial dan Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial dengan Gramedia Pustaka Utama.
  • Iskandar, J. (1991). An evaluation of the shifting cultivation systems of the Baduy society in West Java using system modelling, Thesis Abstract of AGS Students, [1].
  • Makmur, A. (2001). Pamarentahan Baduy di Desa Kanekes: Perspektif kekerabatan, [2].
  • Nugraheni, E. & Winata, A. (2003). Konservasi lingkungan dan plasma Nutfah menurut kearifan tradisional masyarakat kasepuhan Gunung Halimun, Jurnal Studi Indonesia, Volume 13, Nomor 2, September 2003, halaman 126-143.
  • Permana, C.E. (2001). Kesetaraan gender dalam adat inti jagat Baduy, Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
  • Permana, C.E. (2003). Arca Domas Baduy: Sebuah referensi arkeologi dalam penafsiran ruang masyarakat megalitik, Indonesian Arheology on the Net, [3]
  • Permana, C.E. (2003). Religi dalam tradisi bercocok tanam sederhana, Indonesian Arheology on the Net, [4]
  • Ascher, Robert, 1971 Analogy in Archaeological Interpretation, dalam James Deetz (ed.) Mans Imprint from the Past. Boston: Little Brown. Hal: 262271.
  • Danasasmita, Saleh dan Anis Djatisunda,., 1986 Kehidupan Masyarakat Kanekes. Bandung: Sundanologi.
  • Ekadjati, Edi S., 1995 Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah). Jakarta: Pustaka Jaya.
  • Garna, Judhistira, 1988 Perubahan Sosial Budaya Baduy dalam Nurhadi Rangkuti (Peny.). Orang Baduy dari Inti Jagat. Bentara Budaya, KOMPAS, Yogyakarta: Etnodata Prosindo.
  • 1993 Masyarakat Baduy di Banten, dalam Koentjaraningrat (ed.) Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia . Hal. 120-152)
  • Hoevell, W.R. van, 1845 Bijdrage tot de kennis der Badoeinen in het zuiden der residentie Bantam. TNI, VII: 335-430.
  • Iskandar, Johan, 1992 Ekologi Perladangan di Indonesia: Studi Kasus dari Daerah Baduy, Banten Selatan, Jawa Barat. Jakarta: Djambatan.
  • Jacobs, J. and J.J. Meijer, 1891 De Badoejs. s-Grahenhage: Martinus Nijhoff.
  • Koorders, D., 1869 Losse Aantekeningeng tijdens het bezoek bij de Badois, BKI, LVI: 335-341.
  • Kramer, C., 1979 Etnoarchaeology: Implication of Ethnography for Archaeology. New York: Columbia University Press.
  • Mundardjito., 1981 Etnoarkeologi: Peranannya dalam Pengembangan Arkeologi di Indonesia, dalam Majalah Arkeologi 1-2, IV:17-29
  • Permana, R. Cecep Eka, 1996 Tata Ruang Masyarakat Baduy. Tesis Antropologi Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
  • Pleyte, C.M., 1909 Artja Domas, het zielenland der Badoejs. Tijdschrift voor Indishe Taal, land en Volkenkunde. LI:Afl. 6: 494-526.
  • Tricht, B. van, 1929 Levende Antiquiteiten in West-Java. Djawa IX: 43-120.

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Pranala luar[sunting | sunting sumber]

 Gambar pada pranala luar
Klik pranala guna melihat gambar
Searchtool.svg Arca Domas

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Dari Rendang Hingga Gudeg: 10 Mahakarya Kuliner Indonesia yang Mengguncang Lidah
Makanan Minuman Makanan Minuman
DKI Jakarta

1. Rendang (Minangkabau) Rendang adalah hidangan daging (umumnya sapi) yang dimasak perlahan dalam santan dan bumbu rempah-rempah yang kaya selama berjam-jam (4–8 jam). Proses memasak yang sangat lama ini membuat santan mengering dan bumbu terserap sempurna ke dalam daging. Hasilnya adalah daging yang sangat empuk, padat, dan dilapisi bumbu hitam kecokelatan yang berminyak. Cita rasanya sangat kompleks: gurih, pedas, dan beraroma kuat. Rendang kering memiliki daya simpan yang panjang. Rendang adalah salah satu hidangan khas Indonesia yang paling terkenal dan diakui dunia. Berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat, masakan ini memiliki nilai budaya yang tinggi dan proses memasak yang unik. 1. Asal dan Filosofi Asal: Rendang berasal dari tradisi memasak suku Minangkabau. Secara historis, masakan ini berfungsi sebagai bekal perjalanan jauh karena kemampuannya yang tahan lama berkat proses memasak yang menghilangkan air. Filosofi: Proses memasak rendang yang memakan waktu lama mela...

avatar
Umikulsum
Gambar Entri
Resep Ayam Goreng Bawang Putih Renyah, Gurih Harum Bikin Nagih
Makanan Minuman Makanan Minuman
Jawa Barat

Ayam goreng adalah salah satu menu favorit keluarga yang tidak pernah membosankan. Namun, jika kamu ingin mencoba variasi yang lebih gurih dan harum, ayam goreng bawang putih renyah adalah pilihan yang tepat. Ciri khasnya terletak pada aroma bawang putih yang kuat serta kriukannya yang renyah saat digigit. Resep ini juga sangat mudah dibuat, cocok untuk menu harian maupun ide jualan. Bahan-Bahan Bahan Ayam Ungkep ½ kg ayam (boleh potong kecil agar lebih cepat matang) 5 siung bawang putih 4 siung bawang merah 1 sdt ketumbar bubuk 1 ruas kunyit (opsional untuk warna) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400 ml Bahan Kriuk Bawang 5–6 siung bawang putih, cincang halus 3 sdm tepung maizena ¼ sdt garam ¼ sdt lada Minyak banyak untuk menggoreng Cara Membuat Ungkep ayam terlebih dahulu Haluskan bawang putih, bawang merah, kunyit, dan ketumbar. Tumis sebentar hingga harum. Masukkan ayam, aduk rata, lalu tuang air. Tambahkan garam dan kaldu...

avatar
Apitsupriatna
Gambar Entri
Resep Ayam Ungkep Bumbu Kuning Cepat, Praktis untuk Masakan Harian
Makanan Minuman Makanan Minuman
Jawa Barat

Ayam ungkep bumbu kuning adalah salah satu menu rumahan yang paling praktis dibuat. Rasanya gurih, aromanya harum, dan bisa diolah lagi menjadi berbagai hidangan seperti ayam goreng, ayam bakar, hingga pelengkap nasi kuning. Keunggulan lainnya, resep ini termasuk cepat dan cocok untuk kamu yang ingin memasak tanpa ribet namun tetap enak. Berikut resep ayam ungkep bumbu kuning cepat yang bisa kamu coba di rumah. Bahan-Bahan ½ kg ayam, potong sesuai selera 4 siung bawang putih 5 siung bawang merah 1 ruas kunyit 1 ruas jahe 1 ruas lengkuas (geprek) 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk 1 batang serai (geprek) 1 sdt ketumbar bubuk (opsional) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400–500 ml Minyak sedikit untuk menumis Cara Membuat Haluskan bumbu Blender atau ulek bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, dan ketumbar bubuk (jika dipakai). Semakin halus bumbunya, semakin meresap ke ayam. Tumis bumbu hingga harum Panaskan sedikit m...

avatar
Apitsupriatna
Gambar Entri
Konsep Ikan Keramat Sebagai Konservasi Lokal Air Bersih Kawasan Goa Ngerong Tuban
Cerita Rakyat Cerita Rakyat
Jawa Timur

Sumber daya air merupakan sebuah unsur esensial dalam mendukung keberlangsungan kehidupan di bumi. Ketersediaan air dengan kualitas baik dan jumlah yang cukup menjadi faktor utama keseimbangan ekosistem serta kesejahteraan manusia. Namun, pada era modern saat ini, dunia menghadapi krisis air yang semakin mengkhawatirkan (Sari et al., 2024). Berkurangnya ketersediaan air disebabkan oleh berbagai faktor global seperti pemanasan, degradasi lingkungan, dan pertumbuhan penduduk yang pesat. Kondisi tersebut menuntut adanya langkah-langkah strategis dalam pengelolaan air dengan memperhatikan berbagai faktor yang tidak hanya teknis, tetapi juga memperhatikan sosial dan budaya masyarakat. Salah satu langkah yang relevan adalah konservasi air berbasis kearifan lokal. Langkah strategis ini memprioritaskan nilai-nilai budaya masyarakat sebagai dasar dalam menjaga sumber daya air. Salah satu wilayah yang mengimplementasikan konservasi berbasis kearifan lokal yaitu Goa Ngerong di kecamatan Rengel,...

avatar
Muhammad Rofiul Alim
Gambar Entri
Upacara Kelahiran di Nias
Ritual Ritual
Sumatera Utara

Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak,Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman),...

avatar
Admin Budaya