×

Akun anda bermasalah?
Klik tombol dibawah
Atau
×

DATA


Kategori

Tradisi

Provinsi

Sulawesi Tengah

Upacara Persemayaman Jenazah Suku Kaili

Tanggal 16 Jul 2018 oleh Arum Tunjung.

Upacara ini dijumpai dalam lingkungan keluarga raja atau bangsawan pada zaman dahulu, khususnya bagi yang menjabat kekuasaan dalam pemerintahan sebagai Magau. Molumu ialah masa menyemayamkan jenazah, di mana mayat disimpan dalam peti kayu yang tertutup rapi. Molumu berarti menyimpan mayat-mayat dalam peti (lumu, peti mayat) yang dibuat dari yang sudah nigala-gala (diberi alat perekat dan penutup setiap lubang dan pertemuan papan peti mayat tersebut dengan alat perekat). Maksudnya agar bau busuk dari mayat dalam peti itu tidak tercium, karena mayat yang dipetikan (nilumu) tidak dibalsem atau dimumikan.

Maksud dan tujuan upacara molumu tersebut ialah agar roh si mayat tersebut beristirahat dengan tenang, di tengah-tengah keluarga sebelum ia dikuburkan, di samping menunggu para Tadulako membawa hasil sesembahannya berupa kepala manusia yang dicarinya di luar kerajaan. Mendapatkan kepala manusia dengan jalan mengayau (nangae) adalah salah satu kegiatan dan merupakan salah satu perlengkapan dalam upacara penguburan para raja-raja zaman dulu. Kegiatan tersebut Nangae (mengayau).

 

Penyelenggara Teknis Upacara

1. Para tukang kayu bertugas membuat Jumu (peti jenazah) yang dibuat dari kayu pohon kapuk yang utuh secara gotong royong
2. Ketua dan anggota dewan Hadat, bertugas memimpin penyelenggaraan permandian jenazah, memasukkan jenazah ke dalam peti jenazah, dan selama jenazah disemayamkan
3. Topovara yaitu orang mengipas jenazah yang disemayamkan dalam peti jenazah, masih berjumlah 14 orang dari keluarga perempuan dewasa
4. Topotinti gimba (pemukul gendang) terdiri dari ketua/anggota dewan adat, orang-orang tertentu yang diberi tugas khusus untuk itu dan Tadulako. Tadulako ialah hulubalang raja yang bertugas mengawal dan menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat serta petugas khusus yang melakukan tugas pengayanon sebagai salah satu tuntutan upacara adat
5. Topotanginjaka ialah orang tertentu yang disiapkan khusus untuk mengisi mayat. Umumnya dari keluarga ibu yang ahli dan mampu mengungkapkan kata-kata yang mengundang rasa haru dan sedih bagi yang mengikutinya
6. Topotinti gimba ialah petugas yang memukul gendang selama masa tertentu, mulai dari saat kematian sampai selesai penguburan
7. Kayumpayu (tiang payung), yaitu orang yang bertugas memasang, menjaga dan memegang payung, selama upacara kematian berlangsung, baik pada masa molumu, dan pada saat mengantar jenazah ke kubur
8. Tadulako, ialah para hulubalang kerajaan yang bertugas memukul gendang di kuburan, dan melakukan tugas penganon.

 

Pihak-pihak yang terlibat

Pihak-pihak yang terlibat dalam upacara molumu dan movara tersebut terdiri dari: Seluruh anggota keluarga, ketua-ketua dewan adat, kerajaan dan pejabat eksekutif kerajaan, Tadulako (pengawal raja/kerajaan), dan anggota masyarakat pada umumnya.

Tugas-tugas mereka di samping melakukan tugas-tugas seperti yang disebutkan di atas, juga membantu keluarga dalam melayani tamu-tamu yang datang selama masa molumu/movara tersebut seperti memasak, juga ikut hadir untuk menyatakan rasa duka, di samping membawa pekasivia (bantuan berupa makanan, atau keperluan-keperluan konsumsi lainnya selama masa berkabung tersebut).

Tempat upacara molumu dan movara tersebut di dalam rumah kediaman raja atau di rumah adat kerajaan yaitu Baruga atau Bantaya, sesuai keputusan Libutotua nungapa (musyawarah orang tua adat).

 

Perlengkapan Upacara

Selama masa molumu dipersiapkan berbagai macam perlengkapan upacara, baik yang digunakan pada masa molumu atau perlengkapan-perlengkapan lain yang digunakan selama masa tersebut.

Perlengkapan selama upacara molumu ialah: peti mayat (lumu); kipas (vara); dekorasi, semacam janur yang dibuat dari daun pandan dan bunga kemboja, yang dijadikan penghias lumu (peti mayat) serta mayang pinang dan daun-daun kelapa. Perlengkapan lainnya ialah : ula-ula, jajaka, gimba (gendang), pekabalu (kain pengikat kepala), kepala manusia, dan payung.

Ula-ula ialah dua pasang orang-orangan yang dibuat dari kain berwarna kuning tanpa kepala. Keduanya dipasang pada dua tiang di depan rumah pintu pagar masuk seperti bendera, yang memasang ula-ula tersebut, ialah orang tua adat, melalui suatu upacara tertentu. (Ula-ula adalah simbol kebangsawanan. Sebab yang berhak memasang ula-ula dalam setiap pesta upacara adat hanya keluarga bangsawan saja).

Payung disiapkan 2 buah dan dipasang terbuka di samping ula-ula yang senantiasa siap dijaga oleh seorang petugas yang disebut kayu mpayu (tiang payung), petugas ini adalah anggota raja/bangsawan yang meninggal tersebut. Payung tersebut pada bagian atasnya dilapis dengan kain putih, dan dililitkan di atas puncak payung tersebut.

 

Jalannya Upacara

Jalannya upacara molumu selama masa (menyemayamkan jenazah dalam peti) tersebut terdiri dari beberapa kegiatan.

Pertama, ialah membuat lumu (peti mayat) yang dibuat dari pohon kapuk. Bagian atasnya dibuat dalam bentuk piramida dan pada sisi sekeliling lumu tersebut dihiasi dengan daun pandan dan bunga kemboja. Lumu tersebut dibuat oleh para tukang secara gotong-royong, dalam waktu satu hari sejak raja meninggal. Jenazah tersebut kemudian disimpan dalam peti (nilumu) pada hari kedua yang disaksikan oleh seluruh keluarga.

Para ketua dewan hadat kampung bermusyawarah untuk menentukan dimana jenazah tersebut disemayamkan di antara dua alternatif yaitu di rumah kediaman atau di rumah adat yang disebut Baruga atau Bantaya. Selama jenazah tersebut disemayamkan, baik sebelum dan sesudah dimasukkan dalam peti, sepanjang siang dan malam diadakan upacara movara, sebagai salah satu rangkaian upacara molumu.

Movara ialah upacara pengawalan jenazah oleh sejumlah 14 orang (ruampapitu) yang semuanya kaum wanita. Mereka duduk di samping kiri-kanan lumu masing-masing 6 orang, dan pada bagian kepala dan kaki lumu masing-masing 1 orang sambil mengipas dengan vara (kipas) yang dibuat dari kain putih dalam bentuk bundar telur. Maksud dan fungsi movara, pengipasan jenazah sebelum dan sesudah nilumu selain sebagai simbol dari suatu masa peristirahatan roh menanti saat penguburan, sekaligus sebagai simbol kebesaran upacara bagi para raja/bangsawan. Juga masa menunggu persiapan perlengkapan upacara penguburan yaitu kepala manusia.

Pelaksanaan teknis upacara disebut topovara. Topovara (orang-orang yang bertugas mengipas jenazah) melakukan tugas secara bergantian, baik pada siang atau malam hari, selama masa nolumu atau sebelum jenazah dikuburkan. Mereka disebut kayu nuvara, artinya turunan dari orang-orang yang sejak dulu diberi tugas untuk itu. Upacara itu dikoordinir olen togura nungapa. Posisi duduk mengitari lumu tersebut yang diatur oleh adat. Bila yang meninggal tersebut seorang raja atau bangsawan, yang duduk pada bagian kepala jenazah adalah keturunan dari keluarga orang tua adat, sedang bila orang tua-tua adat meninggal dunia, yang duduk pada bagian kepala adalah anak-anak keluarga bangsawan.

Tata cara pengipasan dari dua kelompok yang berbeda di sebelah kiri kanan Lumu tersebut-diatur berlawanan. Bila kelompok 6 orang sebelah kanan mengayun kipasnya ke kiri, maka kelompok 6 orang sebelah kiri mengayun kipasnya ke kanan. Demikian pula orang yang di kaki dan kepala status sosial antara yang duduk di bagian kepala dan kaki harus berbeda, yang duduk pada bagian kaki (Riayalaya) adalah orang biasa (To dea), sedang yang duduk di bagian kepala harus orang bangsawan.

Setiap topovara masing-masing membawa vara dari rumahnya sendiri, di samping ada vara petombongi (vara sumbangan) dari hampir semua anggota keluarga atau orang tua adat yang berasal dari luar kampung. Topovara datang dengan sukarela dan dikoordinir oleh Ketua Adat. Masa movara ini berlangsung maksimal 40 hari 40 malam, yaitu selama masa molumu, kecuali bila kepala manusia hasil pengayauan lebih cepat tersedia/didapatkan oleh para Tadulako, maka masa movara atau molumu ini dapat dipersingkat, atas mufakat libu (musyawarah dewan adat).

Salah satu acara yang penting ialah upacara Mentanginjaka, yaitu suatu upacara menangisi mayat dengan cara nompejala yaitu mengungkapkan kesedihan, rasa keharuan, dengan kata-kata yang isinya melukiskan kebaikan-kebaikan pribadi yang ditangisi, seakan-akan mereka belum patut ditinggalkan dan sebagainya. Orang yang diberi tugas tersebut ialah seorang tua perempuan yang dianggap ahli mengungkapkan suara hati masyarakat dengan tutur kata yang penuh kesedihan. Acara ini berlangsung pada siang atau malam hari, selama masa molumu/movara tersebut, sampai pada saat-saat jenazah/lumu tersebut telah siap diangkat ke kubur, yaitu pada saat orang-orang banyak berkumpul, atas permintaan Ketua dewan Hadat, dan menjelang mengantar jenazah ke kuburan. Maksud upacara ini ialah menggugah perasaan haru, dan menimbulkan perasaan berkabung atau berduka cita bagi masyarakat pada umumnya, dan menbangkitkan rasa simpati dan solidaritas dalam upaya mensukseskan upacara kebesaran raja tersebut di saat ditimpa musibah dengan sifat gotong-royong.

Upacara lainnya ialah pamasangan Ula-ula (mompepeoko ula-ula) disertai pula dengan persiapan perlengkapan upacara lainnya yang disebut jalaka. Jalaka ialah seperangkat benda-benda tertentu, yang terdiri dari kepala 1 buah, benang kapas 10 gulung, pisang 1 sisir, 1/2 liter beras, yang diletakkan di atas sebuah bakul yang disebut pada. Jajaka ini disimpan di bawah 2 tiang ula-ula yang dipasang di halaman depan rumah, di pintu pagar rumah orang yang kematian tersebut. Di samping ula-ula tersebut dipasang pula 2 buah payung yang diberi lapis kain putih pada bagian atas kedua payung tersebut yang dijaga oleh kayu mpayu. Waktu pemasangan ula-ula tersebut pada pagi hari bila yang meninggal pada malam hari, dan atau saat sesudah orang meninggal bila pada siang hari. Ula-ula tersebut dipasang baik siang maupun malam hari selama upacara adat kematian belum selesai. Ula-ula adalah simbol kebangsawanan.

Gendang atau gimba dipersiapkan 3 buah yang ditempatkan pada 3 buah tempat yaitu di rumah kematian, di rumah Ketua Dewan Hadat (to tua nuada), dan di pekuburan (ridayo). Selama masa molumu atau movara tersebut ketiga gendang tersebut ditabuh sepanjang hari baik siang maupun malam dijaga oleh petugas khusus. Gendang yang pertama kali ditabuh ialah yang ada di rumah kematian, dimulai oleh orang tua hadat, dan kemudian diserahkan kepada Tadulako atau todea (masyarakat umum). Namun gendang di pekuburan sepenuhnya tugas para Tadulako, di sini terkandung maksud bahwa petugas-petugas di sinilah yang diberi tugas mengayau (nangae). Mereka memakai pengikat kepala selebar destar dari kain putih. Upacara mengikat kepala tersebut disebut nekabalu, sedang alat penutup kepala tersebut disebut pekabalu. Pakaian tersebut mengandung makna tersendiri, yaitu selama mereka masih mekabalu, sekalipun raja sudah dikebumikan, mengisyaratkan bahwa tugas mereka.mengayau belum berhasil dan masih terus berjalan. Mereka beranggapan bahwa pengabdian mereka terhadap raja dan kerajaan belum selesai, dan masih terus diminta oleh adat kerajaan.

Bila batas waktu 40 hari selesai, dan sedikit kemungkinan untuk mendapatkan kepala manusia di luar lingkungan kerajaan, maka penggantinya adalah kepala seorang budak sahaya atau budak turunan yang disebut batua nggutu. Rangkaian kegiatan upacara tersebut di atas bukan menggambarkan tahap-tahap upacara melainkan suatu rangkaian kegiatan upacara yang dilaksanakan selama masa persemayaman jenazah yaitu sejak nienghembuskan napas terakhir sampai menjelang upacara penguburan.

 

Pantangan-pantangan yang berlaku selam jenazah disemayamkan, yaitu:

1. Pantang memasak/membuat minyak kelapa dalam rumah dan harus memasak di tanah sebab bau minyak kelapa dapat mengganggu jenazah di dalam peti mayat yang disimpan dalam rumah atau Baruga/Bantaya.
2. Pantang membuat dan memasak sayur nangka (ganaga) dalam rumah ketuarga si mayat karena selalu mogana dalam arti selalu ada orang yang meninggal dalam kampung itu. Pantang membuat sayur nangka karena nama mogana identik dengan nama nangko dalam bahasa Kaili, yaitu ganaga sama dengan kata gana.
3. Pantang memasak sayur kelor bagi seluruh warga desa selama masa jenazab disemayamkan karena mengakibatkan banyak orang yang meninggal dunia, selalu gugur seperti daun kelor. Daun kelor yang sudah dipetik, mudah layu dan gugur, terpisah dari tangkainya, suatu sifat yang ditakuti bila manusia mengalami keadaan yang demikian.
4. Masyarakat umum pantang menggoreng sesuatu dalam rumah dan harus di tanah karena dapat mengganggu jenazah.
5. Pantang bagi masyarakat desa tersebut menenun kain dalam rumah karena menggangu rob jenazah selama disemayamkan.

Upacara yang telah hilang ialah upacara Molumu dan Mangae. Molumu dan Mangae dua kegiatan yang sangat berkaitan. Molumu dalam arti menyemayamkan jenazah dalam peti dalam waktu yang cukup lama, maksudnya memberi kesempatan kepada Tadulako untuk mengayau (mangae) mencari kepala manusia. Lama tidaknya jenazah disemayamkan bergantung cepat tidaknya kepala manusia itu didapatkan oleh Tadulako. Hal ini hanya berlaku bagi raja yang memegang tampuk kekuasaan. Penganut agama (Islam) dan perubahan stratifikasi sosial dalam masyarakat mendesak hilangya upacara ini sejak zaman Belanda menjelang masa kemerdekaan.

Upacara lainnya hingga sekarang ini masih tetap terpelihara ialah Movara sekalipun waktunya terbatas, yaitu sejak seseorang meninggal sampai sebelum jenazah diantar ke kubur.

Perbedaan-perbedaan yang prinsipil dalam upacara kematian antara raja dan bangsawan antara lain: bagi raja (yang memegang tampuk kekuasaan) pada zaman dulu, adalah : Upacara Molumu (menyemayamkan jenazah di dalam peti) sedang kaum bangsawan tidak; lamanya jenazah disemayamkan cukup lama, sedangkan kaum bangsawan lebih singkat, sama dengan orang biasa (1 sampai 2 hari saja) tanpa peti jenazah; memerlukan kepala manusia untuk dikuburkan bersama raja dari hasil pengayauan, sedangkan bangsawan tidak; raja dikuburkan dengan peti jenazah, sedangkan bangsawan tidak memakai dindingari (papan lebar segi empat panjang penutup liang lahat) seperti todea (orang banyak), tetapi mereka menggunakan penutup liang lahat bersegi tiga dari papan.

DISKUSI


TERBARU


Tradisi Sekaten...

Oleh Journalaksa | 29 Oct 2024.
Tradisi Sekaten Surakarta

Masyarakat merupakan kesatuan hidup dari makhluk-makhluk manusia saling terikat oleh suatu sistem adat istiadat (Koentjaraningrat, 1996: 100). Masyar...

Seni Tari di Ci...

Oleh Aniasalsabila | 22 Oct 2024.
Seni Tari Banyumasan

Seni tari merupakan salah satu bentuk warisan budaya yang memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Cilacap. Tari-tarian tradisional yang ber...

Wayang Banyumas...

Oleh Aniasalsabila | 22 Oct 2024.
Wayang Banyumasan

Wayang merupakan salah satu warisan budaya tak benda Indonesia yang memiliki akar dalam sejarah dan tradisi Jawa. Sebagai seni pertunjukan, wayang te...

Ekspresi Muda K...

Oleh Journalaksa | 19 Oct 2024.
Ekspresi Muda Kota

Perkembangan teknologi yang semakin pesat tidak hanya ditemui pada bidang informasi, komunikasi, transportasi, konstruksi, pendidikan, atau kesehatan...

Refleksi Realit...

Oleh Journalaksa | 19 Oct 2024.
Refleksi Keraton Yogyakarta Melalui Perspektif Sosiologis

Manusia dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Adanya manusia menjadi penyebab munculnya kebudayaan. Kebudayaan sangat penting dalam k...

FITUR


Gambus

Oleh agus deden | 21 Jun 2012.
Alat Musik

Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual...

Hukum Adat Suku...

Oleh Riduwan Philly | 23 Jan 2015.
Aturan Adat

Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dala...

Fuu

Oleh Sobat Budaya | 25 Jun 2014.
Alat Musik

Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend...

Ukiran Gorga Si...

Oleh hokky saavedra | 09 Apr 2012.
Ornamen Arsitektural

Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai...