Alat Musik
Alat Musik
SENI MUSIK Jawa Barat Cianjur
Tutunggulan - Cianjur, Jawa Barat
- 18 April 2016
Asal-usul
Warungkondang adalah sebuah kecamatan yang secara administrastif termasuk dalam wilayah Kabupaten Cianjur. Kecamatan ini berada di kilometer 8 dari kota Cianjur ke arah selatan (ke arah Sukabumi). Masyarakatnya yang pada umumnya bekerja di bidang pertanian (sawah dengan sistem irigasi) sebagian besar menganut agama Islam. Di kecamatan ini, tepatnya di Kampung Cikujang, Desa sukarani, Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur, ada sebuah kesenian tradisional yang bernama “tutunggulan”1. Sebenarnya istilah ini tidak asing lagi bagi masayarakat Warungkondang karena pada saat-saat tertentu, yaitu ketika memberaskan padi, maka tutunggulan pun terdengar. Bahkan, pada masa lalu tutunggulan sengaja dibuat sekaras mungkin agar bisa terdengar dari jarak yang cukup jauh. Maksudnya adalah memberitahu kepada siapa saja yang mendengarnya bahwa di suatu tempat (asal tutunggulan) ada penghuninya. Maklum, ketika itu masyarakat Cianjur, termasuk masyarakat Warungkondang masih merupakan masyarakat petani yang berpindah-pindah (ber-huma). Mereka hidup secara berkelompok dan bertempat tinggal sementara di hutan. Dari bunyi-bunyian yang ditimbulkan oleh benturan antara alu dan lesung itulah yang kemudian melahirkan suatu kesenian yang disebut dengan “tutunggulan”.
 
Tim Seksi Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cianjur (2002) menyebutkan bahwa kesenian tutunggulan lahir bersamaan dengan kesenian beluk. Sayangnya Tim tidak menjelaskan tentang kesenian yang disebut beluk. Menurut mereka, berdasarkan keterangan dari beberapa senimannya (Nini Acih, Nini Onem, Kikin Surtini, dan Ruslan Suryana), kesenian tutunggulan sudah ada sejak tahun 1761. Sebab, pada waktu itu kesenian beluk yang mendasari kesenian mamaos canjuran juga sudah ada. Walaupun seni tradisional tutunggulan telah dikenal oleh masyarakat Warungkondang--bahkan pada tahun 50-an menyebar ke kecamatan lain (Agrabinta, Kadupandak, dan Cidaun)--namun pola-pola tetabuhannya baru dikenal sejak tahun 1979. Ini adalah berkat seorang seniman Cidaun yang bernama Suhanda. Beliu inilah yang mengembangkan pola-pola tetabuhan tutunggulan menjadi 9 warna, yaitu: tikukur di adu, lutung luncat, sepak kuda, tikukur mandeg, buhaya ngangsar, sepak lodong, ajul gedang, dan ngalima.
 
Peralatan
Peralatan (alat musik) yang digunakan dalam kesenian yang disebut sebagai tutunggulan ini tidak banyak, tetapi cukup dengan peralatan yang sederhana dan ada di lingkungannya, yaitu: lisung (lesung), halu (alu), dan niru (tampi). Sebagai catatan, lesung yang ada di kalangan masyarakat Warungkondang agak khas dan unik karena banyak bagian-bagiannya masing-masing mempunyai fungsi tersendiri. Bagian-bagian itu adalah: panyongsong (lubang kecil yang ada di bagian ekor lesung), pamebeukan (lubang kecil yang ada di bagian kepala lesung), pamoroyan (lubang yang terdapat pada badan lesung), dan hulu lesung (kepala lesung).
 
Panjang keseluruhan lesung kurang lebih 220 centimeter; lebarnya kurang lebih 30 centimeter; tinggi kurang lebih 35 centimeter; diameter panyongsong kurang lebih 20 centimeter; diameter pamebeukan kurang lebih 15 centimeter; lebar pamoroyan kurang lebih 17 centimeter; panjang pamoroyan kurang lebih 100 centimeter; dan dalam pamoroyan kurang lebih 25 centimeter. Sementara, panjang alu kurang lebih 160 centimeter; diameter alu kurang lebih 15 centimeter. Sedangkan, diameter niru kurang lebih 37 centimeter.
 
Adapun bunyi-bunyi yang dihasilkan dari benturan antara lesung dan alu adalah: “trok”, “tung”, “dung”, dan “prek”. Bunyi “trok” dihasilkan dari pukulan antara alu dan bagian samping sebelah luar pamoroyan. Bunyi “tung” dihasilkan dari pukulan antara alu dan bagian samping sebelah dalam pamoroyan. Bunyi “dung” dihasilkan dari pukulan antara alu dan bagian dalam pamoroyan. Dan, “prek” dihasilkan dari benturan antaralu dalam posisi silang.
 
Pemain dan Busana
Pemain tutunggulan semuanya perempuan.
Mereka berjumlah 8 orang dengan rincian:
2 orang pemegang alu-indung yang bertugas sebagai angeran wiletan (keajegan ketukan);
1 orang pemegang alu-koprek yang bertugas memainkan ketukan;
1 orang pemegang alu-mamanis yang bertugas memberi ornamen pada alu-koprek, sehingga terdengar bersahutan; dan
2 orang pemegang alu-ngalima yang bertugas memainkan tabuhan lagu. Sedangkan, yang 2 orang lagi adalah sebagai pemegang niru. Adapun pakaian yang dikenakan adalah pakaian sehari-hari yang berupa: kain-kebaya, sinjang, dan tutup kepala (kerudung).
 
Pementasan
Kesenian tradisional yang disebut sebagai tutunggulan ini biasanya dipentaskan pada kegiatan yang berkenaan dengan khajatan, khususnya perkawinan, dan penyimpanan padi ke lumbung. Selain itu, juga dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia (17 Agustusan). .
 
Fungsi
Ketika tutunggulan belum berkembang menjadi sebuah kesenian, ia berfungsi sebagai alat komunikasi. Dalam hal ini adalah pemberitahuan kepada siapa saja yang mendengarnya bahwa di suatu tempat (asal suara tutunggulan) ada penghuninya. Dan, ketika telah menjadi sebuah kesenian pun fungsi komunikasi masih tetap ada, yaitu sebagai pemberitahuan bahwa seseorang punya khajat dan atau pemberitahuan bahwa calon pengantin laki-laki telah tiba. Ini artinya, kesenian ini tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi tetapi sekaligus juga sebagai hiburan.
 
Nilai Budaya
Sebagaimana kesenian pada umumnya, kesenian tutunggulan jika dicermati secara mendalam juga tidak hanya mengandung nilai estetika semata, tetapi ada nilai-nilai lain yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai itu antara lain adalah kegotongroyongan, ketertiban dan atau keteraturan. Nilai kegotongroyongan tercermin pada saat pembuatan tepung beras ketika ada tetangga yang punya khajat. Dengan suka rela para tetangga membantunya sembari ber-tutunggulan. Sedangkan, nilai ketertiban dan atau keteraturan tercermin dalam ber-tutunggulan itu sendiri. Dalam hal ini antarpemegang alu harus tahu persis kapan harus menumbuknya, sehingga tidak terjadi benturan antaralu.
 
Kondisi Dewasa ini
Kesenian yang di masa lalu tidak asing lagi bagi masyarakat Warungkondang ini dewasa ini mulai ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Generasi mudanya yang diharapkan dapat melestarikannya (melindungi, membina, dan mengembangkannya) justeru tidak banyak yang meminatinya. Mereka umumnya lebih menyukai kesenian kontemporer ketimbang kesenian tradisional yang dianggapnya sebagai ketinggalan alias kuno dan atau kampungan. Kondisi yang demikian pada gilirannya membuat kesenian tutunggulan bagaikan “kerokot yang tumbuh di atas batu” (hidup segan mati tak hendak), malahan hampir punah. Tim Seksi Kebudayaan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Kabupaten Cianjur (2002) menggambarkan kehampir-punahan kesenian ini tercermin sekurang-kurangnya dalam hal, yaitu:
(1) pada saat ini sulit menemukan orang yang menguasai kesenian tutunggulan;
(2) rendahnya tingkat apresiasi terhadap tutunggulan di kalangan generasi muda, khususnya ibu-ibu muda;
(3) peralatan kesenian tutunggulan semakin langka karena peralatan pemberasan padi sudah mulai tergantikan dengan mesin; dan
(4) semakin berkurangnya lahan persawahan, sehingga aktivitas yang berkenaan dengan pemberasan tradisional semakin langka. 
 
 
 
 
Sumber:
Galba, Sindu. 2007. “Kesenian Tradisional Masyarakat Cianjur”.
 
Tim Seksi Kebudayaan.2002. Deskripsi Seni Tradisional Reak. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cianjur.
 
1 Tutunggulan adalah istilah untuk menyebut bunyi-bunyian yang ditimbulkan oleh benturan antara alu dan lesung.
 
 
 

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Tradisi MAKA
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Nusa Tenggara Barat

MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...

avatar
Aji_permana
Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
SMP Negeri 1 Berbah
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pabrik Gula Randugunting
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Kompleks Panti Asih Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja

avatar
Bernadetta Alice Caroline