Tumpeng robyong begitu berbeda karena di empat penjuru tumpeng terdapat lidi yang disulut kapas dan diberi minyak. Ketika saatnya lidi kapas akan dibakar. Tumpeng ini digunakan apabila keluarga memiliki hajat dan semoga hajatan tersebut dapat didukung oleh orang sekelilingnya. Acara istimewa seperti mengangkat mantu atau mendirikan rumah biasanya ada tumpeng robyong ini
Tumpeng merupakan sarana yang sangat penting dalam perayaan maupun dalam berbagai upacara pada masyarakat Jawa. Mulai acara perayaan kelahiran sampai pada peringatan hari kematian seseorang. Semuanya menggunakan tumpeng sebagai salah satu sarana utamanya. Bahkan dalam upacara-upacara yang bersifat komunal seperti garebeg juga menggunakan tumpeng sebagai alat utamanya.
---
“Tumpeng” merupakan akronim dalam bahasa Jawa: yen metu kudu sing mempeng (bila keluar harus dengan sungguh-sungguh). Ada satu unit makanan lagi namanya “Buceng”, dibuat dari ketan; akronim dari: yen mlebu kudu sing kenceng (bila masuk harus dengan sungguh-sungguh). Sedangkan lauk-pauknya tumpeng, berjumlah 7 macam, angka 7 bahasa Jawa pitu, maksudnya Pitulungan (pertolongan).
Tumpeng biasa disajikan di atas tampah (wadah bundar tradisional dari anyaman bambu) dan dialasi daun pisang.
Bentuk Nasi Tumpeng umumnya berbentuk Kerucut, berkait erat dengan kondisi geografis Indonesia, terutama pulau Jawa, yang dipenuhi jajaran gunung berapi.
Tumpeng ini biasa disajikan pada upacara siraman dalam pernikahan adat Jawa. Tumpeng ini diletakkan di dalam bakul dengan berbagai macam sayuran. Di bagian puncak tumpeng ini diletakkan telur ayam, terasi, bawang merah dan cabai.
---
Jika melihat bentuknya yang khas, berupa kerucut meruncing ke atas, hal ini mengingatkan kita pada bentuk gunung. Berdasarkan berbagai sumber, asal mula bentuk tumpeng dari mitologi Hindu, Gunung dalam kepercayaan masyarakat Hindu dipercaya sebagai awal kehidupan. Di dalam kisah Mahabarata, terkenal dengan Gunung Mandara yang di bawahnya mengalir air kehidupan atau amerta. Barang siapa yang meminumnya maka akan mendapatkan keselamatan.
Di samping itu gunung juga sering disebut sebagai Mahameru yang berarti representasi dari sistem kosmos. Meru sering dikaitkan dengan puncak gunung. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya tumpeng merupakan sebuah media bagi para manusia untuk menunjukkan rasa syukur kepada Tuhan, sebagai wujud pengabdian, dan juga penyembahan.
Selain dari sisi bentuknya, tumpeng yang digunakan acara selamatanpun biasanya hanya memiliki dua warna. Yaitu warna putih dan kuning. Warna putih melambangkan kesucian dan sumber kehidupan, diasosiasikan dengan Batara Indra. Sementara warna kuning melambangkan rezeki ataupun kemakmuran.
Hal ini tidak bisa kita lepaskan dengan latar belakang masyarakat Jawa dahulu sangat dipengaruhi oleh kepercayaan Hindu.
Ada sebuah tumpeng yang khusus digunakan untuk upacara kematian yaitu tumpeng Ungkur-ungkuran dalam beberapa masyarakat menyebutnya sebagai Tumpeng Pungkur. Dilihat dari sisi namanya saja sudah menunjukkan jenis tertentu. Ungkur-ungkuran dalam arti kata berarti saling membelakangi.
Secara kontekstual tumpeng ini adalah sebuah tumpeng yang dibuat dengan cara dibelah dari ujung sampai ke pangkal tumpeng kemudian diposisikan saling membelakangi. Tumpeng ini disajikan pada saat peringatan kematian mulai hari ke 3, 7, 40, sampai dengan seribu hari.
Selain tumpeng biasanya juga disertakan ubarampe (perlengkapan) lainnya. Seperti: Sayur-sayuran yang direbus dengan bumbu gudhangan (urap), misalnya : kangkung, kacang panjang, bayem, kubis, kecambah, wortel, buncis,dll. Telor ayam rebus; Kembang setaman; Cobek tanah terbuat dari liat/ layah.
Tumpeng ungkur-ungkuran ini merupakan simbol penyempurnaan arwah. Sebagian masyarakat mengatakan bahwa tumpeng ini sengaja diposisikan saling membelakangi dengan maksud sebagai simbol perpisahan antara arwah dengan kerabatnya. Disamping itu juga sebagai simbol keikhlasan masyarakat Jawa terhadap kerabatnya yang sudah meninggal.
Membelakangi sebagai bukti bahwa mereka tidak akan lagi melihat atau menangisi kepergian/perpisahan dengan kerabatnya. Biasanya tumpeng pungkur ini digunakan khusus
Perlengkapan berupa sayur-sayuran ini merupakan simbol kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, saya lebih setuju, jika perlengkapan tersebut lebih sebagai sebuah simbol bahwa masyarakat Jawa merupakan masyarakat agraris. Sehingga setiap sesaji yang diberikan selalu berkaitan dengan apa yang paling mudah dan tersedia di sekitar mereka.
Juga untuk memperingati kematian para wanita atau pria yang masih lajang. Sehingga mereka yang sudah berkeluarga biasanya tidak menggunakan tumpeng jenis ini.
---
Pelepasan merpati
Pada upacara nyewu selalu dilakukan pula pelepasan burung merpati oleh pihak keluarga arwah yang meninggal. Sebelum dilepas sepasang burung merpati ini dimandikan, diberi rangkaian bunga di lehernya. Pada kaki burung merpati ini ditalikan selembar uang kertas yang nominalnya bervariasi. Pada saat pelepasan ini juga disertakan uang udik-udik, yaitu berupa sejumlah uang koin. Uang koin tersebut dicampur dengan beras, kunir yang diiris kecil-kecil dan diletakkan pada sebuah piring. Setelah melepaskan burung merpati maka secara bertahap uang udik-udik ini juga dilempar-lemparkan.
Pada saat pelemparan uang udi-udik inilah merupakan saat yang ditunggu-tunggu oleh anak-anak. Karena mereka akan berebutan uang yang bisa untuk jajan.
Pemilihan burung Merpati ini tidak terlepas dari posisinya yang terhormat pada masyarakat Jawa. Buktinya merpati menjadi burung terpilih untuk melengkapai upacara peringatan kematian yang terpenting dan terbesar pada masyarakat Jawa, yaitu nyewu.
Pelepasan merpati menyimbolkan pelepasan keluarga terhadap arwah saudara mereka yang telah meninggal. Dipilih burung merpati karena burung merpati ini adalah lambang kesetiaan.
Sehingga orang Jawa menyimbolkan merpati sebagai bentuk kesetiaan arwah (manusia) kepada penciptanya. Sebagai bukti kesetiaan tersebut kemudian merpati akan terbang dan tidak akan kembali lagi. Sehingga masyarakat Jawa biasanya memilih merpati yang masih liar, agar tidak kembali lagi pada keluarga yang memeliharanya.
Dua hal tersebut merupakan bentuk dari tindakan simbolis masyarakat Jawa sebagai alat komunikasi dengan pihak lain dalam waktu yang panjang, meskipun hanya dilakukan pada saat yang singkat (Herusatoto:1987:18). Dari semua tindakan-tindakan simbolis dari masyarakat Jawa ini nanti ujung-ujungnya selalu pada, meminjam istilah Suhardi (2009), menuju jalan keselamatan bagi manusia.
RM/Toko yang Menyediakan:
Kampung Nasi - Nasi Kotak dan Tumpeng Semarang
Restoran
Alamat: Jl. Erlangga Raya No. 5, Pleburan, Semarang Sel., Kota Semarang, Jawa Tengah 50241
Telepon: (024) 8311641
Referensi
1] Herusatoto, Budiono. 1987. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Hanindata. Yogyakarta
2] Suhardi, 2009. Ritual: Pencarian Jalan Keselamatan Tataran Agama dan Masyarakat Perspektif
3] Antropologi, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Antropologi Fakultas Ilmu Budaya UGM.
Tidak dipublikasikan
4] http://www.facebook.com/notes/persaudaraan-setia-hati-terate-ranting-kampak/mengupasmakna-yang-terkandung-dalam-simbolisme-nasi-tumpeng/204413946240199
5] http://www.facebook.com/notes/persaudaraan-setia-hati-terate-ranting-kampak/mengupas-makna-yangterkandung-dalam-simbolisme-nasi-tumpeng/204413946240199
6] SIMBOL TUMPENG UNGKUR-UNGKURAN DAN PELEPASAN BURUNG MERPATI
PADA UPACARA KEMATIAN. Oleh: Surono. http://ebook.repo.mercubuana-yogya.ac.id/Kuliah/materi_20131_doc/C.%20Simbol%20Tumpeng%20Ungkur.pdf