Dalam legenda masyarakat Gowa, diceritakan bahwa Raja yang pertama memerintah di Kerajaan Gowa bernama Tu-Manurung Bainea (Putri yang turun dari kayangan). Beliau disengaja diutus ke Butta Gowa untuk menjadi pemimpin di mana saat itu Gowa kacau balau. Di perkirakan Tu-Manurung di Gowa memerintah pada tahun 1320-1345.
Dalam lontara Patturioloang ri Tugowa-ya (Sejarah orang Gowa), menyebut bahwa lama sebelum datangnya To-Manurung di Gowa, secara berturut-turut Gowa dipimpim oleh empat raja
1. Batara Guru, besar dugaan ada hubungannya dengan nama yang sam (Kakek Sawerigading) yang disebut dalam I Lagaligo.
2. Disebut saja “Orang yang terbunuh di Talili”. Tidak disebut nama aslinya. Dikatan Saudara dari Batara Guru.
3. I Marancai, Ratu Sapu
4. Karaeng Katangka. Nama aslinya tidak disebutkan.
Bagaimana ihwal pemerintahan ke empat Raja, sebelum To-Manurung itu, tidak juga disebutkan dalam Lontara. Pada zaman yang masih gelap iniyang diceritakan secara mitologi. Mungkin dapat dihubungkan sebagai zaman purba Sulawesi Selatan, sebagai kelompok gelombang kedatangan terakhir ke pulau Sulawesi. Termasuk sebagai sekumpulan dari orang-orang Deutro Melayu (Melayu Muda) yang berdiam di pantai-pantai dan muara sungai di bagian selatan pulau Sulawesi.
Kemudian tercatat dalam Lontara Gowa, bahwa wilayah ini nantinya disebut Gowa, mula-mulanya sebagai permukiman kelompok-kelompok kaum. Masing-masing kelompok kaum menamkan tempat pemukiman mereka bori’ (Negara) yaitu Tombolo’, Lakiung, Saumata, Parang-parang, Data’, Agang, Je’ne, Bisei, Kalling, dan Sero.
Sesudah pemerintahan Karaeng Katangka, kes-sembilan pemimpin kaum memimpin Bori’nya masing-masing dengan gelar-gelar, seperti Karaeng, Anrong-Guru, atau Gallarang. Setiapa Bori’ memepunyau bendera yang disebut Bate. Sebagai lambang kebesaran dan kemerdekaan. Untuk memelihara perdamaian antar Bori’ itu, mereka bersam-sama memilih seorang ketua yang disebut Paccalla (yang mencela), dari kalangan mereka. Paccalla hanya berperan sebagai wasit atau penengenah, bila timbul sengketa diantara mereka. Ia bukan sebagai pemimpin tertinggi dari semua kaum, melainkan hanya berperan sebagai penasehat dalam pemeliharaan perdamaian antar kaum. Lambat-laun kebutuhan kan adanya pemimpin tertinggi diperlukan, yang dapat langsung dan dapat menyatukan semua kaum ke dalam satu persekutuan yang sangat besar. Masyarakat menginginkan seorang pemim[in yang dapat melebihi pemimpin Bori’ dan seorang Paccalla. Maka bersepakatlah mereka untuk mencari tokoh yang bebas dari ikatan hubungan antar kelompok. Tokoh inilah nantinya yang akan menyatukan perbedaan yang terjadi antar kaum dalam sebuah persekutuan yang besar yang disebut Butta Gowa. Akhirnya dua orang ketua kaum ditugaskan dalam mencari tokoh itu, mereka ialah Gallarang Tombolo dan Gallrang Samata (Mangasa). Keduanya bersaudara, yang wilayahnya berada dipesisir laut Makassar.
Akhirnya menurut Lontara Patturiolonga ri Tu-Gowaya, kedua Gallarang menemukan tokoh yang dicari, seorang To Manurung di Bukit Taka’bassia (sekarang Tamalatea). Tu-Manurung itu seorang perempuan. Sepakatlah ketua-ketua kaum bersama Paccallanya menjadikan Tu-Manurung itu sebagai pemimpin tertiggi mereka, deangan satu perjanjian yang disepakati bersama denga Tu-Manurung.
Perjanjian itu selanjutnya dijadikan sebagai pedoman tentang hak dan kewajiban seorang raja terhadap rakyat Gowa, dan sebaliknya. Perjanjian ini disepakati, dan dapat dikatakan sebagai Pedoman dasar (Konstitusi Awal) dari satu negara/kerajaan bumi pada abad XIV-XV Masehi di Sulawesi Selatan.
Perjanjian atau pedoman dasar kekuasaan di Butta Gowa itu sebagai berikut:
Anne niallenu kikaraengang
Karaemmako ikau
Atamakkang i
Tangkairammako ikau
Lau-makang ikambe.
Punna sappe tangkairanga
Reppe’ tommi lau-a
Na punna sappe tangkairanga
Ikambe mate.
Ikambe Tanakaddo’ bassinu
Ikau Tanakaddo’ bassimmang.
Ikambe rewata-pa ambuno-kang
Ikau rewata-pa ambunoko
Makkanamako kimammio
Naia punna massongong-kang
Tama’lembara’kang
Punna ma’lembara’kang
Tamassongong-kang
Anging-mako, kileko’ kayu
Naia sanimmadidiyaji niri
Je’ne mako, kibatang mammanyu
Naia sanisempo’boanampa nuanyu
Namanna anammang
Manna bainem-mang
Katanangaiai butayya
Takingai tongi
Anne kiallenu kikaraengang
Batang-kalemmanji angkaraengang-ko
Teai pannganuammang
Tannualleai jangang ri-lerang-mang
Tanukovvikai bayao-ri kambotim-mang
Tannualleai kaluku sibatum-mang
Rappo sipaemmang
Puanna nia nukaeroki pannganuammang
Nuballi sitaba nuballia
Nusambei sitaba nusambei
Nupalaki sitaba nupalak, nakisareang-ko
Tanutappakiai pannganuam-mang
Karaenga tammannappu’ bicara i-lalang
Punna taenai gallaranga
Gallaranga tamattappu’ bicara bundu
Punna taena karaenga
(Dari Lonntara Pattarioloanga ri Tu-Gowa-ya)
Terjemahan:
Bahwa kami menjadikan engkau pertuanan (Raja) kami
Dipertuanlah engkau
Rakyat(lah) Kami.
Sampiran (tempat bergantunglah) engkau
Labu (tempat air)-lah kami (yang ) bergantung
Bila patah sampiran (tempat bergantung)
Maka pecah juga labu (tempat air)
Dan bila patah sampiran (tempat bergantung)
Tetapi, tidak pecah labu (tempat air)
Kamilah binasa.
Bahwa kami tak terbunh (oleh) senjata mu
Engkau pun tak terbunh (oleh) senjata kami
Bahwa kami Dewata saja membunuh kami
Engkau (pun) Dewata saja membunuh engkau
Bersabdalah, (maka) kami (akan) melakukan
Tetapi, bila kami (telah) menjunjung
Tak akan memikul (lagi) kami
Bilamana kami (telah) memikul
Tak akan menjunjun (lagi) kami.
Anginlah engkau, (maka) kami daun kayu
Tetapi (hanya) daun kuning (saja) engkau luruhkan.
Air-lah engkau, (maka) kami batang hanyut
Tetapi (hanya) banjir (bonang) saja menghanyutkan.
Dan, walaupun anak kami
Walaupun isteri kami
Kalau (mereka) tidak menyukai negeri
(maka) kami-pun tidak menyukainya.
Bahwa kami menjadikan engkau pertuanan (Raja)kami
Batang tubuh (pribadi) kami saja mempertuan kamu
Tidak harta milik kami
Tidaklah engkau mengambil ayam (kami) dari tenggerannya
Tidaklah engkau mencopot telur (kami) dari keranjangnya
Tidaklah engkau mengambi kelapa sebiji
Dan pinag setandan (pun) kepunyaan kami
Bilaman ada engkau ingini (dari) harta milik kami
Engkau membelinya yang layak engkau beli
Engkau tukat yang layak engkau tukar
Enngkau minta yang layak engkau minta
(maka akan) kami berikan
Engkau tak menguasai harta milik kami.
Yang dipertuan (Raja) tidak menetapkan Peraturan
Dalam negeri, tanpa (kehadiran) Gallarang
Gallarang tidak menetapkan Permakluman Perang
Tanda (kehadiran) yang dipertuan (Raja).
Setiap kali seorang Raja Gowa dilantik, diulangi pembacaan “Pedoman Dasar” ini, untuk ditaati oleh raja dan rakyat Butta Gowa, sebagai perjanjian luhur yang mat dijunjung tinggi.
Walaupun kesembilan Kutua Bori’ (Kaum) bersama Paccalla-ya telah menetapkan seorang Raja, sebagai Pertuanan mereka dengan satu bentuk kesepakatan (Pedoman Dasar) tentang penyelenggaraan kekuasaan, hak dan kewajiban masing-masing, namun kekuasaan dan pimpinan atau bori’ dan kaum mereka, tetap berda di tangan sembilan ketua kaum itu di samping jabatan mereka menjadi Dewan Kerajaan. Awalnya disebut Kasuwiang Salaanga (Pengabdi yang sembilan). Kemudian, dalam pertumbuhan kerajaan Gowa, Dewan Kerajaan ini bernama “Bate-Salapanga ri Gowa” (Sembilan panji di Gowa). Keturuan Tu-Manurung yang disebut Ana’karaeng ri Gowa, oleh Pedoman Dasar itu, tidak dibolehkan menjadi penguasa langsung atas kaum dan Bori’ Panji yang sembilan.
Tu-Manurung ri Gowa, adalah lambang kebesaran Butta Gowa. Kedatangan Tu-Manurung ri Gowa, tidak merubah penyelenggaraan kekuasaan yang sudah ada dan dipandang sesuai dengan keperluan dalam negeri masing-masing. Sebagai kesatuan wilayah yang besar oleh penyatuan kesembilan Bori’ itu, di situlah peranan Tu-Manurung diharapkan.
Sumber: Mattulada. 1998. Sejarah, Masyarakat, dan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Hasanuddin University Press
https://historissulsel.blogspot.com/2018/10/tu-manurung-butta-gowa.html?spref=fb&m=1