Tongtonge adalah seorang pemuda yang lugu. Ayahnya seorang peladang yang selalu berpindah tempat untuk bekerja, sedangkan ibu Tongtonge tetap tinggal di kampung. Tongtonge lebih memilih ikut ayahnya. Hanya sesekali saja Tongtonge mengunjungi ibunya.
Suatu hari, Tongtonge sangat gembira, bubu (alat untuk menangkap ikan) yang dibuatnya sudah selesai.
“Syukurlah, bubu ini sudah jadi,” bisik Tongtonge. “Besok aku mau menangkap ikan.” Dia tampak begitu senang. Matanya terus memandang bubu di tangannya. Bubu itu dibawa dan disimpannya di dekat pagar ladangnya.
Karena sibuk membantu ayahnya, Tongtonge akhirnya tidak sempat menangkap ikan. Berhari-hari bubu itu tersimpan di sana. Hingga suatu saat Tongtonge berniat menangkap ikan. Dia menuju ke tempat penyimpanan bubu.
Ketika sampai di sana, betapa terkejutnya dia melihat bubunya sudah habis dimakan anai-anai.
“Simpan bubu di dekat pagar, bubu dimakan anai-anai. Jadi anai-anai inilah yang kuambil!” katanya dengan geram sambil membungkus anai-anai tadi.
Tongtonge pergi mengunjungi ibunya, anai-anai itu pun dibawanya. Setelah berjalan cukup jauh, Tongtonge merasa lelah. Dia ingin beristirahat sejenak. Dia menyandarkan punggungnya kemudian tertidur. Saat terjaga, cepat-cepat Tongtonge mengambil bungkusan anai-anainya, namun sayangnya anai-anai itu telah habis dimakan oleh seekor ayam.
“Bubu dimakan anai-anai, anai-anai dimakan ayam. Nah, ayam inilah yang akan kuambil!” ujarnya kesal.
Dia kemudian menangkap ayam itu, mengepitnya, dan membawanya pergi menuju kampungnya.
Di tengah perjalanan, tibalah dia di suatu pemukiman penduduk. Di sini Tongtonge kembali beristirahat dan makan, sedangkan ayam tadi tetap saja dikepitnya. Penduduk yang melihat kelakuannya heran. Salah seorang menegurnya.
“Hai Tongtonge, sini berikan ayam itu kepada saya, saya akan menjaganya selama engkau beristirahat dan makan,” ujar lelaki itu menawarkan bantuannya.
Awalnya Tongtonge ragu, tetapi akhirnya ayam itu diserahkannya juga kepada lelaki itu. Beberapa saat kemudian, lelaki tadi menemui Tongtonge. Wajahnya tampak gelisah. Dia menceritakan kalau ayam yang dititipkan kepadanya telah mati tertimpa alu penumbuk padi. Dia meminta maaf dan bersedia mengganti ayam itu dengan ayam miliknya, namun Tongtonge menolaknya.
“Itu tidak adil,” sahut Tongtonge. “Jika ayam itu mati ditimpa alu, maka alu itulah sebagai gantinya!” tegas Tongtonge.
Lelaki tersebut setuju dan menyerahkan alu itu kepada Tongtonge. Begitulah, sepanjang perjalanan Tongtonge banyak mengalami berbagai peristiwa. Alu miliknya dipinjam oleh penggembala sapi namun alu itu patah maka penggembala itu menggantinya dengan seekor sapi. Sapi milik Tongtonge pun akhirnya mati ditimpa nangka. Sebagai gantinya dia pun mengambil nangka tersebut.
Tongtonge kembali melanjutkan perjalanannya. Sekali lagi Tongtonge beristirahat. Tibalah dia di sebuah gubuk. Di dalam gubuk itu tinggal seorang gadis. Gadis itu menawari Tongtonge agar beristirahat dulu di sana. Ketika dia melihat nangka yang dibawa Tongtonge, dia berkeinginan mencicipinya tapi Tongtonge melarangnya karena buah nangka itu akan diberikannya kepada ibunya.
Saat Tongtonge ingin mandi, dia menitipkan nangka itu kepada gadis tadi. Si gadis tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut, nangka itu pun lalu dimakannya.
Sekembalinya dari sungai Tongtonge terkejut, nangka yang dititipkannya tadi ternyata sudah dimakan oleh gadis itu.
“Malangnya nasibku. Bubu dimakan anai-anai, anai-anai dimakan ayam, ayam mati tertimpa alu, alu patah oleh sapi, sapi mati tertimpa nangka, nangka dimakan gadis, maka gadis inilah yang akan kuambil!” bisiknya.
Tongtonge kembali melanjutkan perjalanannya. Dia membawa dua keranjang. Keranjang yang satu diisi gadis tadi, sedangkan yang satu lagi batu, agar seimbang.
Di tengah perjalanan Tongtonge merasa mulas dan ingin ke belakang. Gadis itu memintanya pergi ke sungai. Tongtonge pun setuju. Saat Tongtonge pergi ke sungai, gadis itu melarikan diri. Tapi sebelum itu, dia mengisi keranjang yang tadi ditempatinya dengan batang kayu dan batu.
Setelah Tongtonge kembali ke tempat keranjang-keranjang tadi diletakkan, ia langsung mengangkatnya tanpa memeriksa isinya terlebih dahulu.
Saat tiba di rumah ibunya, Tongtonge langsung berteriak, “Ibu… Calon menantu ibu sudah datang!”
“Kalau kau bawa batu dan batang, letakkan saja di bawah rumah,” jawab ibunya sambil membuka pintu.
“Bukan Bu, menantu ibu sudah datang,” ulang Tongtonge lebih keras karena ibunya kurang pendengaran.
Dia lantas menunjuk salah satu keranjang yang dibawanya.
“Kalau begitu ajaklah ke sini. Bukalah keranjang itu!” pinta ibunya.
Tongtonge dengan cepat berlari ke arah keranjang tersebut. Dan betapa terkejutnya dia ketika mengetahui isi keranjang itu hanyalah sebuah batu dan sebatang kayu. Tongtonge menangis, dia menyesali nasibnya.
Sumber: http://indonesianfolktales.com/id/book/tongtonge-yang-ceroboh/
Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak,Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman),...
Prajurit pemanah dari komunitas pemanah berkuda indonesia (KPBI) mengikuti Festival Keraton Nusantara 2017. mewakili kesultanan kasepuhan cirebon. PAKAIAN: terdiri dari ikat kepala/ totopong khas sunda jenis mahkuta wangsa. kain sembongb berwarnaungu di ikat di pinggang bersamaan dengan senjata tajam seperti golok dan pisau lalu baju & celana pangsi sunda. dengan baju corak ukiran batik khas sunda di bagian dada. untuk alas kaki sebagian besar memakai sendal gunung, namun juga ada yang memakai sepatu berkuda. BUSUR: sebagian besar memakai busur dengan model bentuk turkis dan ada juga memakai busur model bentuk korea. ANAK PANAH: Semua nya memakai anak panah bahan natural seperti bambu tonkin, kayu mapple & kayu spruce QUIVER (TEMPAT ANAK PANAH): Semua pemanah menggunakan quiver jenis backside quiver atau hip quiver . yaitu quiver yang anak panah di pasang di pinggang dan apabila anak panah di pasang di dalam quiver , nock anak panah menghadap ke belaka...
aksi pertunjukan pusaka dan pasukan kesultanan kacirebonan dari balaikota cirebon sampai ke keraton kacirebonan
Para pasukan penjaga keraton Sumedang larang