Menurut Kamus Tari dan Karawitan, tari Bedhaya adalah komposisi tari klasik gaya surakarta dan Yogyakarta yang dibawakan oleh sembilan orang penari putri (Soedarsono, 1997/1978: 14). Ada beberapa jenis tari Bedhaya seperti Bedhaya Ketawang, Bedhaya Anglir Mendung, dll. Tari Bedhaya pada awal penciptaannya, ditarikan oleh putra-putri raja dan bangsawan. Setelah melaluui perkembangan zaman dan keterbukaan pihak keraton untuk melestarikan tari Bedhaya, tari tersebut bisa dipelajari oleh masyarakat luar keraton, terutama bagi mereka yang telah menjadi abdi dalem.
Tari Bedhaya merupakan tari Jawa klasik yang berasal dari keraton dan dianggap sakral. Menurut R.M. Wisnoe Wardhana, tari Bedhaya merupaakan tari yang lebih tua, lebih magis dari tari Srimpi. Kadang nama Bedhaya dikaitkan dengan akar kata "budha" sehingga dijadikan sebagai tari ritus agama asli yang berasimilasi dengan agama Budha (Wardhana. 1982: 35). Jika dianalisis lebih lanjut, tarian ini merupakan bentuk tarian batin, dalam ritus agama asli yang berasimilasi dengan agama Hindu. Hal ini juga diketahui dari beberapa pendapat. Weda Pradangga menyebutkan "...Jejer-jejer Sawi beksa sarta timbuhan gangsa lokananta (Gendhing Kemanak), binarung ing kidung Sekar Sani utawi sekar Ageng", yang berarti menari dalam posisi berbaris diiringi gamelan Lokananta, dibarengi dengan puisi metris Sekar Sawi atau Sekar Ageng (Ronggowarsito. 1884-1906: 217-218). Pada dasarnya dalam penyajian Tari Bedhaya mencakup tiga bagian yang saling melengkapi, yaitu: 1.Bagian tari yang mencakup gerak dan pola lantai dengan banyak menggunakan posisi baris.
2. Bagian karawitan yang menunjuk garap gen-dhing kemanak.
3. Bagian kidung yang menggunakan sekar kawi. Umumnya tari Bedhaya dipandang sebagai tari yang paling kuna, dan paling kompleks.
Di keraton tarian ini hanya dipagelarkan pada peristiwa-peristiwa yang sangat penting dan memerlukan upacara besar seperti penobatan (jumenengan) raja baru, ulang tahun penobatan, perja-muan untuk tamu raja dan pembesar tinggi asing, serta perkawinan kerabat kerajaan (Brakel, 1991: 46).
Penari dalam tari Bedhaya biasanya berjumlah sembilan orang. Hal ini merupakan suatu simbol, para penari masing-masing membawa peran tersendiri, seperti:
1. Batak, sebagai kepala merupakan perwujudan dari jiwa.
2. Endhet-Ajeg, merupakan perwujudan nafsu atau keinginan hati.
3. Gulu, merupakan bagian leher.
4. Dhada, mewujudkan bagian dada.
5. Api-mburi, mewujudkan bagian lengan kanan.
6. Apil-Ngarep, mewujudkan lengan kiri.
7. Endhet-Wetab, merupakan perwujudan bagian tangkai kanan.
8. Apit-Meneng, merupakan perwujudan bagian tungkai kiri.
9. Buncit mewujudkan bagian organ seks (Soedarsono, 1984: 79).
Selain itu jumlah sembilan yang dipilih merupakan jumlah bilangan terbesar yang menurut pandangan kehinduan dikaitkan dengan sembilan dewa dewa penguasa makrokosmos mengitari delapan arah mata angin sebagai pusat jagat, yaitu: utara, selatan, timur, barat, tenggara, barat daya, barat laut, dan timur laut, jumlah sembilan mengandung makna mikrokosmos dan makrokosmos. Kekuatan keduanya dipercaya bisa mensejahterahkan atau bahkan menghancurkan kehidupan. Jumlah sembilan juga merupakan gambaran jumlah semesta dan seisinya mencakup bintang, bulan, matahari, langit, bumi, air, angin, api, dan makhluk hidup yang ada di dalamnya.
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja