Asal Usul Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Losarang, Indramayu
Kelompok masyarakat ini telah menunjukan eksistensinya sejak akhir tahun 90-an kepada masyarakat luas. Mereka membangun komunitas dengan berpegang teguh pada spiritualitas sebagai dasar pembentukan ajarannya. Tidak jarang pula mereka menyebut kepercayaannya sebagai agama Jawa. Melalui kepercayaan ini, mereka melakukan penggalian kembali kepercayaan dan nilai-nilai spiritualitas masyarakat Jawa masa lalu, terutama pada masa prapatrimonial[2]. Mereka berpikir bahwa agama-agama besar yang ada saat ini, termasuk agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia, telah terkontaminasi kepentingan-kepentingan individu yang sarat dengan keserakahan. Hal inilah yang menyebabkan kelompok kepercayaan ini menggali kembali nilai-nilai budaya masyarakat Jawa dan membangun ulang nilai-nilai komunal.[3]
Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu tidak memiliki kaitan dengan Suku Dayak asli Kalimantan. Penamaan komunitas mereka yang panjang pun bukan tanpa alasan. Kata "Suku" diartikan sebagai kaki yang membantu manusia untuk berjalan ke tujuannya masing-masing sesuai dengan kepercayaan dan keyakinannya sendiri; "Dayak" berasal dari kata "ayak" atau "ngayak" yang berarti menyaring atau memilah. Maksud dari kata tersebut adalah manusia harus bisa memilih dan memilah mana yang baik dan mana yang benar. Sementara itu, "Hindu" memiliki arti bahwa setiap manusia dilahirkan dari rahim seorang ibu (perempuan); kata "Budha" berasal dari kata "wuda" yang berarti telanjang. Seluruh manusia menurut kepercayaan mereka diartikan sebagai makhluk yang terlahir telanjang. Adapun kata "Indramayu", mengandung pengertian "In" berarti 'inti'; "Darma" artinya orang tua, dan "Ayu" bermakna perempuan. Makna filosofisnya adalah bahwa ibu (perempuan) merupakan sumber hidup, karena dari rahimnya lah semua manusia dilahirkan. Itulah sebabnya, menghormati kaum perempuan sangat dijunjung tinggi oleh komunitas kepercayaan ini. Hal itu tercermin dalam berbagai aktivitas keseharian mereka.[4]
Kelompok tersebut dianalogikan sebagai sekumpulan manusia terpilih karena tidak semua orang dapat menjalankan peraturan seperti yang telah disyaratkan oleh komunitas tersebut. Selain itu, makna "Hindu Budha" dalam pemahaman komunitas ini diartikan sebagai jiwa dan raga. Mereka yang tergabung diandaikan sebagai manusia yang baru saja dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan telanjang. Mereka yang telah menjadi Bodhisatvva sebagai wujud menyatunya diri mereka dengan makrokosmos, akan menanggalkan pakaian ala kehidupan era modern yang marak terjadi saat ini.[5] Anggota kelompok komunitas ini akan telanjang dengan hanya mengenakan celana pendek berwarna hitam-putih. Warna tersebut merupakan simbol dari kehidupan yang saling berpasangan. Selain itu, mereka juga akan mengenakan aksesoris terbuat dari kayu dan bambu sebagai bentuk kedekatan mereka dengan alam. Kemana pun anggota kelompok komunitas ini pergi, mereka akan selalu mengenakan pakaian dan aksesoris tersbut. Cara berpakaian yang demikian kemudian masyarakat "modern" sering memandang mereka sebagai kelompok orang gila.
Pendirian komunitas itu sendiri bebas dari campur tangan pemerintah. Adalah seorang Ta'mad yang memulai pembentukan komunitas ini dengan mendirikan sebuah padepokan yang bernama Padepokan Nyi Ratu Kembar di Desa Karimun, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Tanah tempat dibangunnya padepokan tersebut sendiri adalah warisan dari mertua Ta'mad. Sejak perenungannya berhasil melahirkan sebuah 'aliran kepercayaan' baru, pengikutnya menjadi semakin banyak dan terbentuknya kelompok masyarakat Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu.[6]
Bahan: 1 buah tomat, potong dadu 2 ekor ikan tongkol ukuran sedang (1/2kg) 1/2 bks bumbu marinasi bubuk 1 sdt bawang putih Secukupnya garam Secukupnya gula 7 siung bawang merah, iris 5 buah cabe rawit, iris 2 batang sereh, ambil bagian putihnya, iris 3 lembar daun jeruk, iris tipis-tipis 1 bks terasi ABC Minyak untuk menumis Secukupnya air Cara memasak: Cuci bersih ikan tongkol. Taburi bumbu marinasi desaku, garam secukupnya, air 2 sdm ke ikan tongkol. Siapkan bahan-bahan. Iris tipis bawang merah, daun jeruk, seret, cabe rawit. Kukus ikan tongkol selama 10 menit. Lapisi dengan daun pisang atau daun kunyit. Boleh jg tidak d lapisi. Setelah ikan di kukus, goreng ikan. Tumis bawang merah dan bahan lainnya. Masukkan terasi yg telah dihancurkan. Setelah matang, masukkan ikan yang telah digoreng. Aduk hingga rata. Sajikan dengan nasi hangat. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/24995999?ref=search&search_term=dabu+dabu
Bahan-bahan Porsi 2 orang Bumbu Ikan bakar : 2 ekor ikan peda 1 sdm kecap 1/2 sdm Gula merah 1/2 sdt garam Minyak goreng Bahan sambal dabu-dabu : 7 buah cabe rawit merah, iris kecil 1 buah tomat merah, iris dadu 3 siung bawang merah,iris halus 2 lembar daun jeruk, buang tulang tengah daun, iris tipis 2 sdm minyak goreng panas Cara Membuat: Marinasi ikan dengan air perasan jeruk nipis dan garam secukupnya, diamkan 20 menit, kemudian panggang diatas teflon(aku di happycall yang dialasi daun pisang) sesekali olesi minyak plus bumbu ke ikannya(aku pakai bumbu kecap dan gula merah) panggang sampai matang. Cara bikin Sambal dabu-dabu : Campurkan semua bahan sambal dabu-dabu ke dalam mangkok kecuali minyak kelapa, panaskan minyak kelapa, kemudian siram diatas sambal tadi, sajikan ikan peda bakar dengan sambal dabu-dabu. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/15232544?ref=search&search_term=peda+bakar
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.