×

Akun anda bermasalah?
Klik tombol dibawah
Atau
×

DATA


Kategori

cerita rakyat

Elemen Budaya

Cerita Rakyat

Si Lancang

Tanggal 04 Aug 2014 oleh Meta Indriyani Kurniasari.

Pemberian nama pada suatu “daerah” atau “tempat” tertentu biasanya dikaitkan dengan peristiwa atau cerita menarik yang pernah terjadi di daerah tersebut. Di Propinsi Riau, Indonesia, ada beberapa daerah yang memiliki nama berkaitan dengan perstiwa atau cerita yang pernah terjadi di daerah tersebut, misalnya cerita Legenda Batang Tuaka yang kemudian menjadi nama daerah yaitu Kecamatan Batang Tuaka yang masuk wilayah Kabupaten Indragiri Hilir. Namun, dalam suatu peristiwa atau cerita terkadang tidak hanya melahirkan satu nama daerah, akan tetapi bisa lebih dari itu. Konon, di daerah Kabupaten Kampar, Riau, pernah terjadi sebuah peristiwa atau cerita menarik yang melahirkan beberapa nama daerah atau tempat yang masih dikenal sampai sekarang. Daerah dan tempat yang dimaksud yaitu Lipat Kain,ibu kota Kecamatan Kampar Kiri Hulu; Sungai Ogong berada di Kecamatan Kampar Kanan; dan Danau Si LancangNama daerah atau tempat tersebut diambil dari salah satu cerita rakyat yang masih hidup dan berkembang di kalangan masyarakat Kampar yang dikenal dengan Si Lancang.
 
Konon, pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang wanita miskin dengan anak laki-lakinya yang bernama si Lancang. Mereka berdua tinggal di sebuah gubuk reot di sebuah negeri bernama Kampar. Ayah si Lancang sudah lama meninggal dunia. Emak Lancang bekerja menggarap ladang orang lain, sedangkan si Lancang menggembalakan ternak tetangganya.
 
Pada suatu hari, si Lancang betul-betul mengalami puncak kejenuhan. Ia sudah bosan hidup miskin. Ia ingin bekerja dan mengumpulkan uang agar kelak menjadi orang kaya. Akhirnya ia pun meminta izin emaknya untuk pergi merantau ke negeri orang. “Emak, Lancang sudah tidak tahan lagi hidup miskin. Lancang ingin pergi merantau, Mak!” mohon si Lancang kepada emaknya. Walaupun berat hati, akhirnya emaknya mengizinkan si Lancang pergi. “Baiklah, Lancang. Kau boleh merantau, tetapi jangan lupakan emakmu. Jika nanti kau sudah menjadi kaya, segeralah pulang,” jawab Emak Lancang mengizinkan.
 
Mendengar jawaban dari emaknya, si Lancang meloncat-loncat kegirangan. Ia sudah membayangkan dirinya akan menjadi orang kaya raya di kampungnya. Ia tidak akan lagi bekerja sebagai pengembala ternak yang membosankan itu. Emak Lancang hanya terpaku melihat si Lancang meloncat-loncat. Ia ia tampaknya sedih sekali akan ditinggal oleh anak satu-satunya. Melihat ibunya sedih, si Lancang pun berhenti meloncat-lonta, lalu mendekati emaknya dan memeluknya. “Janganlah bersedih, Mak. Lancang tidak akan melupakan emak di sini. Jika nanti sudah kaya, Lancang pasti pulang Mak,” kata si Lancang menghibur emaknya. Emaknya pun menjadi terharu mendengar ucapan dan janji si Lancang, dan hatinya pun jadi tenang. Lalu si Emak berkata, “Baiklah Nak! Besok pagi-pagi sekali kamu boleh berangkat. Nanti malam Mak akan membuatkan lumping dodak untuk kamu makan di dalam perjalanan nanti.”
 
Keesokan harinya, si Lancang pergi meninggalkan kampung halamannya. Emaknya membekalinya beberapa bungkus lumping dodak makanan kesukaan si Lancang.
 
Bertahun-tahun sudah si Lancang di rantauan. Akhirnya ia pun menjadi seorang pedagang kaya. Ia memiliki berpuluh-puluh kapal dagang dan ratusan anak buah.Istri-istrinya pun cantik-cantik dan semua berasal dari keluarga kaya pula. Sementara itu, nun jauh di kampung halamannya, emak si Lancang hidup miskin seorang diri.
 
Suatu hari si Lancang berkata kepada istri-istrinya berlayar bahwa dia akan mengajak mereka berlayar ke Andalas. Istri-istrinya pun sangat senang. “Kakanda, bolehkah kami membawa perbekalan yang banyak?” tanya salah seorang istri Lancang. “Iya…Kakanda, kami hendak berpesta pora di atas kapal,” tambah istri Lancang yang lainnya. Si Lancang pun mengambulkan permintaan istri-istrinya tersebut. “Wahai istri-istriku! Bawalah perbekalan sesuka kalian,” jawab si Lancang. Mendengar jawaban dari si Lancang, mereka pun membawa segala macam perbekalan, mulai dari makanan hingga alat musik untuk berpesta di atas kapal. Mereka juga membawa kain sutra dan aneka perhiasan emas dan perak untuk digelar di atas kapal agar kesan kemewahan dan kekayaan si Lancang semakin tampak.
 
Sejak berangkat dari pelabuhan, seluruh penumpang kapal si Lancang berpesta pora. Mereka bermain musik, bernyanyi, dan menari di sepanjang pelayaran. Hingga akhirnya kapal si Lancang yang megah merapat di Sungai Kampar, kampung halaman si Lancang. “Hai …! Kita sudah sampai …!” teriak seorang anak buah kapal.
 
Penduduk di sekitar Sungai Kampar berdatangan melihat kapal megah si Lancang. Rupanya sebagian dari mereka masih mengenal wajah si Lancang. “Wah, si Lancang rupanya! Dia sudah jadi orang kaya,” kata guru mengaji si Lancang. “Megah sekali kapalnya. Syukurlah kalau dia masih ingat kampung halamannya ini,” kata teman si Lancang sewaktu kecil. Dia lalu memberitahukan kedatangan si Lancang kepada emak si Lancang yang sedang terbaring sakit di gubuknya.
 
Betapa senangnya hati emak si Lancang saat mendengar kabar anaknya datang. “Oh, akhirnya pulang juga si Lancang,” seru emaknya dengan gembira. Dengan perasaan terharu, dia bergegas bangkit dari tidurnya, tak peduli meski sedang sakit.Dengan pakaian yang sudah compang-camping, dia berjalan tertatih-tatih untuk menyambut anak satu-satunya di pelabuhan. 
 
Sesampainya di pelabuhan, emak si Lancang hampir tidak percaya melihat kemegahan kapal si Lancang anaknya. Dia tidak sabar lagi ingin berjumpa dengan anak satu-satunya itu. Dengan memberanikan diri, dia mencoba naik ke geladak kapal mewahnya si Lancang. Saat hendak melangkah naik ke geladak kapal, tiba-tiba anak buah si Lancang menghalanginya. “Hai perempuan jelek! Jangan naik ke kapal ini. Pergi dari sini!” usir seorang anak buah kapal si Lancang. “Tapi …, aku adalah emak si Lancang,” jelas perempuan tua itu.
 
Mendengar kegaduhan di atas geladak, tiba-tiba si Lancang yang diiringi oleh istri-istrinya tiba-tiba muncul dan berkata, “Bohong! Dia bukan emakku. Usir dia dari kapalku,” teriak si Lancang yang berdiri di samping istri-istrinya. Rupanya ia malu jika istri-istrinya mengetahui bahwa wanita tua dan miskin itu adalah emaknya.
 
“Oh, Lancang …, Anakku! Emak sangat merindukanmu, Nak …,” rintih emak si Lancang. Mendengar rintihan wanita tua renta itu, dengan congkaknya si Lancang menepis, lalu berkata, “manalah mungkin aku mempunyai emak tua dan miskin seperti kamu.” Kemudian si Lancang berteriak, “Kelasi! Usir perempuan gila itu dari kapalku!” Anak buah si Lancang mengusir emak si Lancang dengan kasar. Dia didorong hingga terjerembab. Kasihan sekali Emak Lancang. Sudah tua, sakit-sakitan pula. Sungguh malang nasibnya. Hatinya hancur lebur diusir oleh anak kandungnya sendiri. Dengan hati sedih, wanita tua itu pulang ke gubuknya. Di sepanjang jalan dia menangis. Dia tidak menyangka anaknya akan tega berbuat seperti itu kepadanya.
 
Sesampainya di rumah, wanita malang itu mengambil lesung dan nyiru pusaka. Dia memutar-mutar lesung itu dan mengipasinya dengan nyiru sambil berdoa, “Ya, Tuhanku. Si Lancang telah kulahirkan dan kubesarkan dengan air susuku. Namun setelah kaya, dia tidak mau mengakui diriku sebagai emaknya. Ya Tuhan, tunjukkan padanya kekuasaan-Mu!”
 
Dalam sekejap, tiba-tiba angin topan berhembus dengan dahsyat. Petir menggelegar menyambar kapal si Lancang. Gelombang Sungai Kampar menghantam kapal si Lancang hingga hancur berkeping-keping. Semua orang di atas kapal itu berteriak kebingungan, sementara penduduk berlarian menjauhi sungai.
 
“Emaaak …, si Lancang anakmu pulang. Maafkan aku, Maaak!” terdengar sayup-sayup teriakan si Lancang di tengah topan dan badai. Namun, malapetaka tak dapat dielakkan lagi. Si Lancang dan seluruh istri dan anak buahnya tenggelam bersama kapal megah itu.
 
Barang-barang yang ada di kapal si Lancang berhamburan dihempas badai. Kain sutra yang dibawa si Lancang dalam kapalnya melayang-layang. Kain itu lalu berlipat dan bertumpuk menjadi Negeri Lipat Kain yang terletak di Kampar Kiri. Sebuah gong terlempar dan jatuh di dekat gubuk emak si Lancang di Air Tiris, menjadi Sungai Ogong di Kampar Kanan. Sebuah tembikar pecah dan melayang menjadi Pasubilah yang letaknya berdekatan dengan Danau si Lancang. Di danau itulah tiang bendera kapal si Lancang tegak tersisa. Bila sekali waktu tiang bendera kapal si Lancang itu tiba-tiba muncul ke permukaan danau, maka pertanda akan terjadi banjir di Sungai Kampar. Banjir itulah air mata si Lancang yang menyesali perbuatannya karena durhaka kepada emaknya.
 
Sejak peritiwa itu, masyarakat Kampar meyakini bahwa meluapnya sungai Kampar bukan saja disebabkan oleh tingginya curah hujan di daerah ini, tetapi juga disebabkan oleh munculnya tiang kapal si Lancang di Danau Lancang. Kabupaten Kampar yang masuk dalam wilayah Propinsi Riau ini, sangat rawan dengan banjir. Hampir setiap tahun Sungai Kampar meluap, sehingga menyebabkan banjir besar yang bisa merendam pemukiman penduduk di sekitarnya.

DISKUSI


TERBARU


Ulos Jugia

Oleh Zendratoteam | 14 Dec 2024.
Ulos

ULOS JUGIA Ulos Jugia disebut juga sebagai " Ulos na so ra pipot " atau pinunsaan. Biasanya adalah ulos "Homitan" yang disimp...

Tradisi Sekaten...

Oleh Journalaksa | 29 Oct 2024.
Tradisi Sekaten Surakarta

Masyarakat merupakan kesatuan hidup dari makhluk-makhluk manusia saling terikat oleh suatu sistem adat istiadat (Koentjaraningrat, 1996: 100). Masyar...

Seni Tari di Ci...

Oleh Aniasalsabila | 22 Oct 2024.
Seni Tari Banyumasan

Seni tari merupakan salah satu bentuk warisan budaya yang memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Cilacap. Tari-tarian tradisional yang ber...

Wayang Banyumas...

Oleh Aniasalsabila | 22 Oct 2024.
Wayang Banyumasan

Wayang merupakan salah satu warisan budaya tak benda Indonesia yang memiliki akar dalam sejarah dan tradisi Jawa. Sebagai seni pertunjukan, wayang te...

Ekspresi Muda K...

Oleh Journalaksa | 19 Oct 2024.
Ekspresi Muda Kota

Perkembangan teknologi yang semakin pesat tidak hanya ditemui pada bidang informasi, komunikasi, transportasi, konstruksi, pendidikan, atau kesehatan...

FITUR


Gambus

Oleh agus deden | 21 Jun 2012.
Alat Musik

Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual...

Hukum Adat Suku...

Oleh Riduwan Philly | 23 Jan 2015.
Aturan Adat

Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal...

Fuu

Oleh Sobat Budaya | 25 Jun 2014.
Alat Musik

Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend...

Ukiran Gorga Si...

Oleh hokky saavedra | 09 Apr 2012.
Ornamen Arsitektural

Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai...