bah Panggung dikenal sebagai sosok ulama karismatik yang menyebarkan Islam di wilayah Kota Tegal, jauh sebelum Kota Tegal ada. Cerita perjalanan hidupnya pun memiliki sejumlah versi.
Berdasarkan salah satu versi yang dituturkan dari mulut ke mulut melalui juru kunci, Mbah Panggung hidup pada kurun waktu abad ke-4 hingga 6. Nama aslinya adalah Syekh Abdurrahman.
Seperti kebanyakan ulama yang datang ke Pulau Jawa untuk berdakwah, Mbah Panggung berasal dari Jazirah Arab. Ia pertama kali menginjakkan kaki di sebuah pulau tak berpenghuni yang saat ini menjadi Kelurahan Panggung, Kecamatan Tegal Timur.
Di pulau itu, Mbah Panggung tinggal untuk berdakwah, hingga wafat. Makamnya kemudian didatangi ribuan peziarah tiap Bulan Syakban saat digelar haul dan pengajian untuk memperingati wafatnya.
Juru kunci makam Mbah Panggung, Hasan Mutamimi, mengatakan, nama Mbah Panggung merujuk pada tempat tinggal semasa hidup yang berupa pulau karang yang menjulang tinggi di tengah-tengah laut dan masih terpisah dengan Pulau Jawa.
"Karena tempatnya tinggi di atas permukaan laut, seperti panggung, orang-orang yang tahu keberadaan beliau sering menyebut,'Itu Mbah-mbah yang ada di panggung'. Konon dari situ asal muasal sebutan Mbah Panggung," kata Hasan.
Menurut Hasan, syiar Islam yang dilakukan Mbah Panggung tidaklah mudah. Pada awalnya Mbah Panggung harus berdakwah dengan pendekatan perorangan.
Mbah Panggung juga harus lebih dulu mendayung perahu ke pesisir Pulau Jawa yang kemudian menjadi wilayah Kota Tegal. Tak hanya di Kota Tegal, dakwah yang dilakukannya juga sampai ke Kabupaten Brebes.
"Kondisi masyarakat pada saat itu masih ada yang menganut kepercayaan animisme dan dinamisme," kata Hasan.
Selain melalui pendekatan perorangan, Mbah Panggung juga berdakwah dengan cara membaur di masyarakat. Apa yang dilakukan masyarakat saat itu, seperti bercocok tanam, selalu diikuti Mbah Panggung.
"Dakwah diselipkan saat sedang berbaur mengikuti aktivitas masyarakat. Misalnya orang nandur beliau ikut nandur dan memberikan pelajaran-pelajaran nandur, ini lho caranya nandur. Jadi tidak hanya lisan, tapi juga praktik," ujar Hasan.
Masih kuatnya kepercayaan animisme dan dinamisme yang dianut masyarakat juga tidak membuat Mbah Panggung berdakwah dengan keras. Mbah Panggung lebih sering mengedepankan kelembutan dan keteladanan. "Dakwahnya jauh dari tekanan dan kekerasan," kata Hasan.
Hasan mengungkapkan, Mbah Panggung pernah mendirikan padepokan ketika mulai banyak masyarakat yang datang ke tempat tinggalnya untuk menimba ilmu. Sayangnya, tidak ada jejak terkait keberadaan padepokan itu. "Dulu padepokan, kalau sekarang pondok pesantren," ucapnya.
Terkait keturunan Mbah Panggung, Hasan mengaku tidak mengetahuinya. Namun, diyakini Mbah Panggung memiliki istri. Perempuan yang dinikahinya itu berasal dari Jawa. "Tidak ada catatan mengenai silsilahnya," pungkas Hasan.
Selain dikenal dengan nama Syekh Abdurrahman, Mbah Panggung juga dikenal nama Syekh Malang Sumirang berdasarkan versi lain terkait asal usulnya. Syekh Malang Sumirang berasal dari Kesultanan Demak, sebelum tiba dan menyiarkan Islam di sebuah wilayah Tegal yang masih berupa hutan lebat. Nama Mbah Panggung konon berasal dari keberadaan pohon-pohon dengan ranting-ranting (pang) berukuran besar (agung).
Sumber: https://daerah.sindonews.com/read/1216261/29/mbah-panggung-dan-syiar-islam-di-tegal-1498212008/
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja