Sasi, Tradisi Sosial yang Termakan Zaman
Peradaban manusia selalu melukiskan pelbagai peristiwa yang selalu menjadi bahan diskursus bagi siapa saja yang merasa berpikir. Hasil dari segala bentuk dialektika manusia yang mencoba menelisik peradaban manusia, entah yang tertulis dalam coretan-coretan buku sejarah, maupun hanya sekedar cerita para tetuah dari mulut ke mulut, nantinya akan memercik nilai sehingga keadaban menjadi bagian dari substansi manusia. Meskipun sejauh manapun melangkah menuju era globalisasi, namun kebudayaan tetaplah kebudayaan yang sampai saat ini masih eksis dalam dinamika masyarakat Indonesia. Laksana takdir Illahiyah, kebudayaan telah menjadi identitas bangsa yang terkandung begitu dalam, sedalam lautan tanpa dasar.
Argumentasi-argumentasi yang lahir mengenai urgensi kebudayaan sebagai filosofis hidup bangsa Indonesia sesungguhnya sudah sangat tepat. Namun sayangnya, masih sedikit mata yang melihat apalagi menguak nilai-nilai budaya Indonesia secara holistik. Referensi kebudayaan Indonesia masih cenderung dihiasi oleh kebudayaan-kebudayaan dari Indonesia bagian Barat. Tulisan ini mencoba menggali sebuah kebudayaan yang telah terpateri dalam kehidupan masyarakat timur Indonesia, khususnya di masyarakat Maluku.
Konon, ada sebuah sistem hukum adat di Maluku yang tentunya lahir berdasarkan nilai kebudayaan yang ada sejak zaman dahulu kala. Sistem itu di kenal dengan istilah “Sasi”, yakni adat khusus yang menjelaskan cara pengolahan sumber daya alam. Adapun sistem dalam Sasi itu sendiri berupa larangan untuk mengambil hasil sumber daya alam tertentu sebagai bentuk upaya pelestarian demi menjaga kualitas dan populasi sumber daya hayati, baik hewani maupun nabati.
Aturan-aturan dalam melarang mengambil sumber daya alam tidak lahir secara sendirinya, melainkan ada makna makrokosmos dan mikrokosmos yang digagas, yakni menyangkut pengaturan relasi manusia dengan alam semesta dan antar manusia dalam wilayah yang dikenakan Sasi.
Selain itu, Sasi sebagai sistem Hukum Adat juga secara substansi memelihara moralitas masyarakat Maluku dalam kehidupan sosial, seperti pemerataan pembagian atau pendapatan dari hasil sumber daya alam sekitar kepada seluruh masyarakat secara adil. Dalam praktiknya, Sasi sering digunakan dalam pelarangan mengambil hasil pertanian dan hasil laut. Namun menjadi catatan, bahwa Sasi hanya berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dalam mengelola sumber daya alam yang dimiliki sebagai pengejawantahan dari nilai-nilai kearifan masyarakat.
Untuk dapat ditaati sebagai bagian dari aturan (sistem) adat, Sasi bersifat mistik sehingga masyarakat percaya jika melanggar aturan dalam Sasi tersebut maka akan berdampak buruk bagi siapapun yang melanggarnya. Kesakralan yang dilekatkan dalam Sasi memiliki kesan positif terhadap dan kestabilan hidup masyarakat sehingga masyarakat mengetahui batasan tentang hak-haknya. Di sisi Lain, Sasi juga memiliki peranan dalam mencegah dan meminimalisir tindakan berbau kriminalitas, mendistribusikan sumber daya alam secara adil dan merata untuk sehingga berpotensi meredam terpicunya konflik sosial antar masyarakat. Dan pastinya, Sasi juga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat karena masyarakat telah memiliki cara tersendiri dalam mengelola sumber daya alamnya tanpa merusak lingkungan alam sekitar.
Secara umum, Sasi terbagi atas beberapa jenis, Pertama, Sasi Agama, yakni Sasi yang disetujui oleh pihak Masjid, Gereja, atau masyarakat umum. Kedua, Sasi negeri, yakni Sasi yang disetujui oleh pemerintah lokal, seperti Kepala Desa, para Bupati, contohnya untuk mengatasi masalah perselisihan mengenai batas wilayah. Dan Ketiga, Sasi Matakau, yakni jenis Sasi yang biasanya di pasang oleh seseorang untuk melindungi sumber daya alamnya seperti tanaman pertanian dalam batas waktu tertentu. Dan orang-orang yang boleh mengambil hasil sumber daya alamnya hanya orang atau pihak yang memasang tanda Sasi pada tempat-tempat tertentu, seperti pohon, dan lain-lain.
Namun hingga kini, Sasi sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat Maluku sudah mengalami pergeseran dalam praktik-praktik kemasyarakatan. Ada beberapa alasan mengapa hal tersebut terjadi, seperti kepala desa atau kewang yakni orang yang memiliki tugas untuk mendisiplinkan kewenangan atas sumber daya alam dan wilayah sudah muncul benih-benih apatisme sehingga Sasi sudah jarang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Faktor transmigrasi penduduk secara besar-besaran di wilayah timur Indonesia juga menjadi dalang penyebab praktik Sasi tidak seideal dulu. Ketidaktahuan masyarakat pendatang terhadap adat dan budaya di Maluku, khususnya Sasi memberi kesan buruk sehingga nilai kesakralan Sasi sebagai bagian dari sistem hukum adat Masyarakat Maluku seakan-akan terkorupsi maknanya. Selain itu, ekspansi besar-besaran koorporasi (perusahaan) di sektor kelautan maupun perkebunan juga turut andil dalam membumi-hanguskan budaya Sasi. Pengambilan lahan masyarakat adat secara paksa atas nama Negara dan pembangunan menjadi senjata buruk dalam mengikis secara perlahan-lahan budaya Sasi.
Negara melalui pemerintah seyogyanya memperhatikan masa depan kebudayaan bangsa melalui regulasi-regulasi yang lahir tentunya berbasis kehidupan masyarakat adat, khususnya di Maluku. Tujuh Puluh tahun yang lalu ketika Negara ini belum ada, kebutuhan masyarakat Maluku terkait sistem kehidupan sosial masyarakat sudah mampu dipenuhi oleh tatanan living law (hukum adat) yang lahir berdasarkan kesepakatan bersama, salah satunya pemasangan Sasi. Jika ditelisik detail, sesungguhnya spirit dan karakter masyarakat Indonesia sebagai masyarakat sosialis (Gotong Royong) secara filosofis terkandung dalam budaya Sasi yang kini hampir retak termakan hegemoni kebudayaan global.
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja