Apabila memaknai budaya gotong royong sebagai salah satu tujuan Gerakan Revolusi Mental, maka Gerakan Revolusi Mental sejatinya bersumber dari kearifan lokal yang ada disetiap pelosok desa-desa yang ada di Indonesia.
Masyarakat desa memiliki keberagaman warna dan latar belakang masing-masing yang melekat pada setiap individu. Masyarakat yang memiliki identitas mereka sendiri-sendiri sebagai pribadi yang berbeda dengan yang lainnya. Dan keberagaman itulah yang memberi warna pada satu kesatuan masyarakat yang hidup berdampingan dalam satu wilayah yang disebut desa.
Hidup berdampingan dalam satu wilayah tempat tinggal dan memiliki kontak sosial antara satu dan yang lainnya. Membuat masyarakat tak lepas dari saling menyapa, bekerjasama, tolong menolong hingga terkadang memiliki rasa kesamaan dan sepenanggungan.
Kondisi tersebut memunculkan adat dan tradisi yang terbentuk dari kearifan lokal masyarakat menjadi sebuah kebiasaan yang turun-temurun diwariskan oleh nenek moyang kita, dan sampai sekarang tetap terjaga eksistensinya.
Masyarakat Jogjakarta khususnya daerah Gunung Kidul misalnya begitu banyak menyimpan warisan budaya dan tradisi leluhur yang adiluhung. Mulai dari ritual adat semacam rasulan dan nyadran, hingga tradisi yang bersifat budaya sosial kemasyarakatan seperti sambatan dan grebuhan.
Kedua tradisi tersebut (sambatan dan grebuhan) merupakan budaya sosial di masyarakat yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi yang mengandung semangat gotong royong dan kepedulain sesama warga.
Sambatan
Budaya sambatan warisan budaya sosial di masyarakat Gunungkidul pada khususnya dan masyarakat Jawa pada umumnya yang telah ada sejak jaman dahulu kala. Sambatan berasal dari kata sambat yang secara harfiah berarti mengeluh. Namun dalam arti luas, sambatan merupakan sistem gotong royong antar warga dalam rangka membantu sesama yang sedang tertimpa musibah atau sedang melakukan pekerjaan besar seperti membangun rumah, hajatan, panen dan lain-lain.
Budaya sambatan lebih banyak ditemukan di kampung atau di desa-desa yang masih mempunyai rasa kekeluargaan dan etika sosial yang tinggi. Rasa ‘ewuh pakewuh’ dalam kehidupan masyarakat Jawa menjadi salah satu faktor budaya membantu dalam falsafah sambatan masih tetap ada.
Sambatan tidak mengandung nilai materi tertentu. Rasa kekeluargaan sebagai dasar melakukan pekerjaan sosial dengan bergotong-royong membantu sesamanya. Dalam contoh kasus; misalnya si A berencana membangun rumah baru maka secara otomatis para tetangga akan berduyun-duyun datang membantu membangun rumah tersebut tanpa mengharapkan upah sebagai imbalan pekerjaanya.
Sambatan menunjukkan bahwa jiwa sosial dan saling menghormati antarwarga masih tinggi. Rasanya sangat sedikit atau bahkan tak ada warga Gunung Kidul yang tak memiliki jiwa sosial ini, baik itu kaum dewasa, sesepuh, anak-anak muda dan remaja. Ada rasa malu atau segan di hati bila tak turun tangan membantu warga yang sedang butuh bantuan. Rasa ‘ewuh pakewuh’ menjaga tradisi ini tetap lestari.
Grebuhan
Sebutan grebuhan mungkin sudah terdengar asing bagi sebagian masyarakat khususnya di Gunungkidul. Grebuhan adalah sebutan lain untuk kerja bakti. Jika sambatan adalah kegiatan gotong-royong yang ditujukan bagi individu sedangkan grebuhan adalah budaya gotong-royong yang dilakukan untuk kepentingan bersama seperti membangun jalan, mendirikan pos ronda, renovasi balai pertemuan dan lain lain.
Seperti halnya sambatan, grebuhan atau kerja bakti juga menjadi barang mahal di masyarakat. Meskipun kondisinya tidak separah budaya sambatan, namun jika kondisi ini dibiarkan terus menyusut maka lambat laun rasa kepedulian masyarakat akan semakin hilang.
Berbagai macam profesi atau pekerjaan bahkan kegiatan tertentu sering menjadi alasan mengapa seseorang tidak mengikuti kegiatan grebuhan atau kerja bakti. Meskipun ada sebagian kelompok masyarakat yang memberlakukan sistem denda bagi yang tidak hadir namun ada yang lebih memilih membayar denda, padahal tujuan sebenarnya sistem denda diberlakukan adalah untuk meminimalisir ketidakhadiran.
Di wilayah pedesaan, budaya grebuhan masih kental dan masih akrab untuk setiap kegiatan sosial. Kondisi lebih parah banyak terjadi di daerah perkotaan dimana percampuran masyarakat dari berbagai lapisan dan latar belakang menciptakan egoisme dan ketidakpedulian kepada sesama. Perilaku hedonis yang merupakan efek propaganda bangsa Barat sudah sedemikian parah menjajah tiap individu di masyarakat.
Sambatan dan grebuhan adalah bentuk implementasi sederhana yang mengandung makna dari seluruh nilai-nilai makhluk sosial. Bagi masarakat Gunung Kidul Sambatan dan Grebuhan adalah tradisi dan aktifitas yang sangat penting untuk dipertahankan dan terus dilakukan. Bukan hanya karena tradisi ini sangat membantu tapi juga merupakan warisan para leluhur yang jangan sampai hilang dan terlupakan.
sumber: https://denmasdeni.blogspot.com/2016/03/sambatan-dan-grebuhan-tradisi-gotong.html
#SBJ
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja