Pada awalnya sebuah kampung didirikan oleh satu keluarga bersaudara. Kemudian mereka masing masing berkeluarga. Turunan dari setiap keluarga pendiri kampung itu disebut "kilo". Dari generasi ke generasi berikutnya kilo ini bertambah besar dan mereka tetap tinggal bersama dalam satu rumah, makan bersama dari satu periuk yang sama, dari sumber yang sama, dan semuanya dikelola bersama pula. Kehidupan bersama dalam satu keluarga ini dalam bahasa Manggarai disebut "kilo hang neki" yang dalam bahasa Indonesia berarti keluarga besar dan para antropolog mengatakannya extended family.
Bila kilo hang neki ini jumlah anggota sudah semakin besar mereka lalu membentuk "panga" sendiri. Panga berarti cabang suku. Namun demikian dalam pembentukan panga baru ini status adik dan kakak tetap dipertahankan. Karena itu ada "panga ase" (adik) dan ada "panga kae" (kakak). Jadi kilo hang neki adalah "wau" (suku) dalam bentuk paling kecil, jadi susunannya adalah, kilo hang neki (keluarga besar) dipimpin oeh "tu’a Kilo" lalu "panga" (cabang suku) dipimpin oleh tu’a panga dan yang terbesar adalah wau (suku) yang dipimpin oleh tu’a Panga. Dalam kilo hang neki ini hubungan didasarkan pada status adik dan kakak atau bapa dan anak dan dengan status ini kepribadian mereka orang Manggarai dibentuk.
Wa’u atau suku memiliki wilayah otonomi yang disebut "Golo", yang terdiri dari wilayah perkampungan atau "beo", "lingko lingko",untuk penggembalaan ternak, untuk berkebun bahkan wilayah untuk berburu. Pemegang otoritas golo disebut "Tu’a Golo" dan yang memimpin kampung disebut "Tu’a Beo".
Menurut orang Manggarai untuk menopang hidup, mereka membutuhkan lima hal pokok:
1. "mbaru bate kaeng" yaitu rumah tempat kediaman,
2. "uma bate duat" yaitu kebun/lingko lingko tempat berkebun, sumber nafkah,
3. "wae bate teku" yaitu mata air untuk minum, mandi, cuci dll,
4. "natas bate labar" halaman besar kolektif di tengah kampung tempat bermain dan menyelenggarakan ritus ritus besar seperti "caci", "sae kaba", dll.
5. "compang bate" dari yaitu altar/mezbah yang telah ditetapkan oleh suku sebagai pusat kekuatan roh kampung yang menjaga, memberikan,mengatur sumber sumber kehidupan suku. Dalam bahasa Manggarai disebut sebagai "naga beo/golo".
Lingko dan Lodok
Berbicara tentang lingko/lodok berarti berbicara tentang hal kedua di atas "uma bate duat".
Orang Manggarai berkebun di tempat yang mereka sebut lingko.
Lingko dapat berupa kebun yang sedang dikerjakan orang tetapi juga dapat berupa belukar atau hutan biasa yang belum atau sudah pernah dijadikan kebun.
Yang membuat lingko menjadi kebun adalah "teno". Teno adalah roh pelindung kebun yang dipercayai memberi kesuburan serta perlindungan pada tanaman tanaman di dalamnya. Sesungguhnya Teno itu adalah nama sejenis pohon yang dalam istilah Latin disebut melochia arborea/melochia ef umbelata. Pohon ini dapat hidup dengan baik di tanah yang kurang subur.
Untuk menjadikan lingko sebagai kebun melalui tahap tahap berikut :
1. Tahap Persiapan
Para tetua suku berunding di rumah gendang untuk menentukan hal hal seperti, menetapkan lingko mana yang akan dibagi, menetapkan jumlah anggota suku yang akan mendapat bagian lahan, menyiapkan perlengkapan kerja , bahan bahan kebutuhan ritus ritus.
Sekembalinya dari pertemuan ini tu’a tu’a kilo dan tu’a panga berembug ke dalam untuk menentukan siapa siapa anggota keluarga mereka yang bakal mendapat pembagian dan mungkin ada juga orang luar yang ingin mendapat bagian seperti
1) warga lain suku yang sudah tinggal menetap dengan suku pemilik lingko. disebut sebagai “ata long”.
2) warga lain suku yang secara khusus datang untuk meminta agar mendapat bagian tanah disebut sebagai”ata kapu manuk lele tuak” dan
3) keturunan anak perempuan yang menetap dalam suku atau tidak menetap pada suku suami.
Nama nama mereka ini harus masuk melalui kilo atau panga di dalam suku.
Dalam pertemuan persiapan berikut agendanya adalah memasukan nama nama dari setiap kilo/ panga yang bakal menerima lahan, menentukan hari membersihkan lingko, menentukan titik pusat lingko, menentukan hari pembagian dan agenda yang paling penting yakni menentukan Tu’a Teno. Tu’a Teno adalah orang yang berwewenang membagi lahan dan menyelenggarakan ritus pembagian lingko.
Di antara suku suku di Manggarai ada yang mempunyai tu’a teno tetap namun ada juga tu’a teno yang dipilih secara bergiliran setiap kali ada pembagian tanah lingko dari panga panga yang ada dalam suku. Bahkan ada juga yang meminta bantuan seseorang dari kilo atau panga keturunan saudari perempuan yang mereka percayai orang itu bertangan dingin dan selalu membawa keberhasilan. Orang ini dipinjam tangannya untuk menancapkan teno dan disebut sebagai "wari lime".
2. Tahap Pelaksanaan
Pada hari pembagian, kegiatan diawali dengan ritus "wuat wa’i" di rumah gendang. Wuat wa’i adalah ritus memohon restu dan bimbingan dari leluhur dan roh pelindung kampung atau naga beo agar acara pembagian lahan ini berjalan dengan lancar. Kurban pada ritus ini adalah seekor ayam. Selesai ritus wu’at wai, warga kampung dipimpin oleh tu’a Teno berprosesi (sorongge) menuju lingko yang akan dibagi.
Tiba di lingko yang hendak dibagi tu’a teno duduk diseputar titik pusat kebun dan anggota-anggota yang akan menerima bagian bersama tu’a tu’a kilo dan panga duduk membentuk sebuah lingkaran yang besar. Kemudian ritual dimulai dengan "tente arong", membuat lubang tempat teno akan diletakan/ditancapkan,na’a ruha one arong , meletakan telur di lubang/arong, renge ela yaitu doa persembahan babi kurban dan puncak acaraTua Teno melakukan tente teno/derek teno.
Secara harafiah "tente teno" berarti menancapakan kayu teno pada pusat lingko itu. Teno yang ditancapkan harus memecahkan telur yang telah diletakkan terlebih dahulu. Yang terakhir "mbukut", memerciki/menuang darah babi persembahan yang telah didoakan pada teno sebagai meterai sahnya perkawinan yang adikodrati dan ibu bumi.
Teno yang di tancapkan menyerupai gasing atau mangka dalam bahasa Manggarai. Mangka/gasing merupakan lambang dunia atas (adikrodati) dan tanah merupakan lambang ibu/feminim. Penancapan teno (lingga) ke dalam tanah melambangkan perkawinan sakral antara Bapa ”dunia adikrodati” dengan Ibu Bumi. ("ema eta", "enden wa").
Perkawinan ini dilandasi keyakinan tradisional, bahwa tanah bersifat feminim atau ibu yang membuat benih yang bersifat maskulin dapat bertumbuh, dan melahirkan hidup baru.
Selanjutnya di sekeliling teno dibuat lengker yakni sebuah lingkaran kecil tali dari sejenis tanaman merambat di mana ditancapkan kayu kayu kecil yang disebut lance koe.
Jarak antara satu lance koe dengan lance koe lainnya tergantung pada besarnya jari yang di tempelkan ketanah.
Ada jarak sebesar lima lima jari yang disebut "moso rembo", ada jarak tiga jari yang disebut "lide", jarak dua jari dan jarak satu jari dan yang paling kecil yaitu jari kelingking di sebut koret atau lidi adalah bagian yang diberikan kepada para pendatang yaitu ata long atau ata kapu manuk lele tuak.
Tindakan mengulur jari sebagai dasar jarak antara lance disebut "sor moso". Sor berarti mengulur. Sor moso berarti hak untuk memperoleh bagian tanah yang besarnya tergantung pada banyaknya jari yang dipakai untuk mengukur jarak antara kedua lance koe. Banyaknya jumlah jari itu tergantung status/kedudukan yang dimiliki dalam suku seperti status status, tu’a golo, tu’a teno, tu’a panga, tu’a kilo, anggota biasa dstnya.
Dari patok lance koe lepar yakni belahan batang bambu akan diletakan kearah patok lance yang ditanamkan di lingkaran luar yang lebih besar kemudian dari patok di lingkaran luar tadi bambu diletakan kearah lance acer, kayu patok panjang yang masing masing dipegang oleh anggota sor moso yang duduk melingkar dalam sebuah lingkaran yang lebih besar. Dengan membagi kebun dari lingkaran kecil, keluar ke patok di lingkaran besar kemudian kearah lingkaran lebih luar yang lebih besar lagi di mana orang duduk melingkar itulah yang membuat bentuk pembagian dengan berpusat di lodok itu berbentuk seperti sarang laba laba.
Besar atau kecilnya lingkaran tempat sor moso tergantung banyak dan sedikitnya jumlah anggota suku yang akan menerima bagian lahan. Apabila jumlah penerima banyak tentu lengker/ lingkaran pusatnya semakin besar dan sebaliknya bila penerimanya sedikit maka lengkernya akan kecil.
3. Tahap penutup
Acara pelaksanaan pembagian tanah ini berlangsung hanya satu hari. Inti pembagiannya cukup sampai pada penancapan patok lance acer di mana para penerima lahan duduk. Titik pada lance koe,patok lance pada lingkaranluar dan patok lance acer pada lingkaran orang duduk akan menjadi panduan untuk penancapan patok patok berikutnya sampai pada batas paling luar kebun/ cicing dan dapat dilakukan pada hari berikutnya. Sebelum matahari terbenam semuanya harus berprosesi pulang ke kampung. Prosesi pulang kampung ini dinamakan” barong poli“, mewartakan bahwa acara pembagian tanah telah selesai.
Lingko Rame/Lingko Randang-Lingko Bon
Setiap suku/wa’u di Manggarai sering memiliki lebih dari satu lingko lodok. Di antara sekian banyak kebon lodok suku itu, satu kebun lodok merupakan lodok utama suku yang digelar sebagai lingko randang atau lingko rame. Randang berarti pesta besar dan lingko rame berarti lingko milik semua panga yang ada dalam suku maksudnya semua panga dalam suku harus mendapat bagian di lingko randang. Di lingko randang ini ritus ritus pertanian suku diselenggarakan seperti ritus ritus kalok, woja wole, barong lodok dan lain lain. Oleh karena itu biasanya letak lingko randang selalu dekat atau disekitar kampung agar mudah terjangkau apabila ada penyelenggaraan ritus.
Hewan persembahan pada ritus pengukuhan suatu lingko sebagai lingko randang adalah seekor kerbau. Kerbau merupakan hewan kurban yang paling tinggi dalam ritus ritus adat Manggarai. (catatan : bahan persembahan pada ritus ritus adat Manggarai mulai dari yang paling kecil yakni telur kemudian ayam, kambing, babi dan yang paling besar adalah kerbau ).
Pelaksanaan ritus randang diselenggarakan di lingko baru dan pada saat kebun baru itu sudah siap untuk ditanami. Penanaman benih pertama termasuk bagian dari ritus randang. Benih akan diperciki oleh darah /darang ni’i dan para pemilik kebun mulai menanam diseputar lodok . Darah sebagai sebagai lambang hidup diperciki pada benih yang akan ditanam agar memperoleh hidup/ makanan yang melimpah.
Lingko lingko lodok yang lain dalam suku hanyalah lingko lodok biasa sehingga disebut sebagai lingko bon. Kepemilikan lingko bon ini adalah salah satu panga atau gabungan satu dua panga. Ritus ritus pertanian tetap dilakukan seperti biasa tetapi diselenggarakan hanya atas kepentingan panga bukan atas kepentingan seluruh suku.
Pada masa masa dahulu ketika lingko lingko milik suku masih luas dan orang Manggarai belum mengenal sistem pertanian intensif, pengolahan kebun dilakukan dengan sistim ladang bergilir atau juga dikenal dengan nama "shift cultivation system" .Dengan sistem ini ladang diolah hanya empat atau lima tahun sampai kesuburan tanahnya sudah berkurang kemudian mereka berpindah kelahan/lingko baru yang masih subur.
Setelah kepindahan ke lingko baru hak dari anggota terhadap lingko yang ditinggalkan hilang dan tempat itu kembali menjadi lingko umum milik suku. Hilangnya hak atas tanah kebun lama itu dinyatakan dalam bahasa Manggarai sebagai “botek Teno”. Apabila di kemudian hari mereka kembali ke lingko yang itu lagi maka pembagian lingko itu dimulai seperti pembagian baru lagi. Anggota tidak otomatis mendapat tempat seperti pembagian yang pernah dilakukan. Kecuali seperti terjadi belakangan ada anggota yang sudah menanam tanaman umur panjang seperti kelapa atau nangka misalnya bisa menempati tempatnya yang lama.
Makna simbolisasi lodok adalah,
1. Sumber hidup
Ide, gagasan atau konsep kebun berbentuk lodok , membuat semua kebun dan tanaman tanaman di dalamnya berhubungan dengan/ bermuara pada yang sakral di pusat kebun. Kebun dan segala isinya dipercayai bermuara dan berasal dari persatuan adikodrati dengan Ibu bumi. Lingko lodok itu berbentuk bulat adalah simbol feminim atau ibu bumi.
Lodok sebagai sumber hidup.Tanaman tanaman seperti padi, jagung, kacang kacangan dan jenis makanan lainnya orang Manggarai mengungkapkan sebagai hidup atau dalam bahasa Manggarai disebut”mose”, semuanya bermuara di lodok. Ritus ritus pertanian yang dibuat adalah ritus penghormatan atas hidup baru yang diperoleh. Kalok misalnya adalah ritus ucapan terima kasih karena padi atau jagung sudah bunting atau sudah berisi, atau ritus karong woja wole adalah ritus puncak syukur atas karunia kesuburan yang diberikan. Pada ritus ini wanita wanita bermahkotakan padi yang bernas berarak dari kebun menuju kampung.
2. Harmoni.
Bentuk lingkaran lodok adalah simbol harmoni. Mulai dari lengker, lingkaran kecil bagian paling, lingkaran lebih besar setelah lengker kemudian warga kampung yang memegang lance acer yang duduk dalam posisi melingkar sampai dengan bagian cicing lingkaran pagar paling luar semuanya melukiskan harmoni lambang harmoni.
Dalam kesehariannya kita sering menemukan ungkapan ungkapan peringatan agar warga beo senantiasa menjaga harmoni seperti : "Nuke, neka pande behas kena, neka koas kota" , “Ingatlah, jangan merusak pagar”, satu peringatan bahwa setiap anggota harus berperilaku dan bersikap sesuai dengan norma norma yang ditaati bersama. Setiap anggota suku harus memagari diri dengan baik terhadap pengaruh negatip dari luar demi menjaga agar lingkaran harmoni jangan terputus dan merusak harmoni kehidupan secara keseluruhan. Ungkapan ini secara harafiahmemberi peringatan bahwa dalam mengolah tanah yang diterima melalui sor moso ini. setiap anggota yang menerima tanah wajib mengerjakan bagiannya sebab bila bagiannya tidak dikerjakan, hama, binatang perusak tanaman akan tinggal pada bagian yang tidak dikerjakan dan akan merusak seluruh tanaman milik anggota yang lain.
Demikian pula dengan pagar kebun. Pagar kebun hanya di buat di bagian paling luar kebun yang disebut cicing, sedang batas antar lahan atau langang tidak perlu dibuat pagar. Pagar pada bagian cicing itu tidaklah terlalu panjang namun harus dibuat sekuat mungkin sebab bila pagar tidak kuat dan bolong binatang perusak tanaman akan masuk melalui pagar milik satu orang itu dan merusak tanaman anggota yang lainnya. Dengan aturan seperti ini pula seorang mengerjakan bagiannya bukan melulu untuk kepenting dirinya sendiri tetapi juga kepentingan anggota anggota lain secara keseluruhan.
Bisa juga terjadi bahwa satu bagian pagar harus dikerjakan bersama. Kasus seperti ini ada pada suku yang memiliki lingko lingko yang besar dan jumlahnya banyak. Sehingga pada waktu pembagian tanah orang dapat menghindari tanah yang tidak subur atau topografinya jelek dan bagian itu menjadi tanah tak bertuan. Tanah jelek dan tidak subur ini disebut sebagai tana wa’ung atau ada juga yang menyebut sebagai tana tengker. Pada tanah tidak bertuan ini membersihkan dan membuat pagarnya dilakukan secara bersama sama. Tidak kerja (kebun), kerja tidak beres dan lalai dipandang sebagai sesuatu yang merusak harmoni.
Sering terjadi ada yang coba coba meloloskan diri melalui celah atau lubang aturan yang ada, mereka di ingatkan: "Neka manga mbelos one lewo agu pau du ngaung".
Sanksi atau denda diberikan atas pelanggaran bagi yang lalai, atau sengaja tidak membuat pagar yang kokoh , tidak mengerjakan kebun, biasanya diterima secara ikhlas karena secara naluri mereka menyadari kesalahan kesalahan itu. Seseorang selalu melihat dirinya dalam hubungan kebersamaan dengan orang lain atau individu merasa berfungsi sejauh ia berada dalam kebersamaan dengan orang lain.Neka pande leru lewo, janganlah kita membuat lubang bagi diri sendiri.
Teno yang ditancapkan yang dalam bahasa Manggarai disebut juga sebagai landuk, merupakan pengakuan hak atas tanah secara adat.
Persawahan lodok yang paling sering dikunjungi adalah di Cancar yang terletak sekitar 12 kilometer sebelah barat kota Ruteng. Persawahan ini adalah salah satu proyek percontohan ketika Raja Manggarai Aleksander Baruk memperkenalkan cara pengolahan sawah kepada orang Manggarai pada tahun 1939. Pilot proyek lain seperti di Waereca( Borong), Orong( Lelak) dan Dimpong (Rahong). Pada waktu itu Raja Baruk pergi belajar cara pengolahan sawah di Bali dan kaetika pulang disertai pula dengan orang orang tahanan dari penjara di Bali yang akan membantu mereka membuka dan mengajarkan cara pengelolaan sawah kepada orang Manggarai.
Sebelum masa itu orang Manggarai hanya berladang alias lahan kering. Sawah yang diperkenalkan sang raja pada saat itu tentu saja merupakan hal baru, sesuatu yang modern dalam cara pengelohan tanah. Namun Raja Baruk tetap mempertahankan filosofi hidup orang Manggarai dalam berkebun yakni alam pemikiran masyarakat agraris mengenai manusia, dunia/alam dan realitas kodrati. Filosofi hidup seperti inilah yang terungkap pada pangelolaan kebun dengan model Lodok.
Mpaa Sere adalah tarian tradisional yang bertujuan untuk menyambut tamu penting sebagai bentuk penghormatan, sambil sesekali memperlihat ketangkasan...
Mpa'a Oro Gata adalah salah satu permainan tradisional dari Bima, Nusa Tenggara Barat, yang diwariskan dari generasi ke generasi. Secara harfiah, ist...