Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Cerita Rakyat Bengkulu Bengkulu
Putri Serindang Bulan
- 17 Juli 2012

Putri Serindang Bulan adalah putri ketujuh Raja Mawang yang cantik nan rupawan. Namun, ia memiliki penyakit yang aneh. Setiap kali ada raja yang melamarnya, seluruh tubuhnya tiba-tiba dipenuhi penyakit kusta. Hal itu membuat keenam kakaknya menjadi murka, karena ia menjadi aib bagi keluarga istana. Oleh karena itu, mereka berniat untuk membunuh adik bungsunya itu. Berhasilkah mereka membunuh Putri Serindang Bulan? Ikuti kisahnya dalam cerita Putri Serindang Bulan berikut ini!

* * *

Alkisah, di daerah Bengkulu, hiduplah seorang raja yang bernama Raja Mawang yang berkedudukan di Lebong. Raja Mawang mempunyai enam putra, dan seorang putri. Mereka adalah Ki Gete, Ki Tago, Ki Ain, Ki Jenain, Ki Geeting, Ki Karang Nio, dan Putri Serindang Bulan. Saat berusia senja dan tidak dapat lagi melaksanakan tugas-tugas kerajaan, Raja Mawang menunjuk putra keenamnya, Ki Karang Nio yang bergelar Sultan Abdullah, untuk menggantikan kedudukannya. Tidak beberapa lama setelah Ki Karang Nio menjabat sebagai raja, Raja Mawang pun wafat.

Sepeninggal Raja Mawang, terjadilah prahara di antara putra-putrinya akibat penyakit kusta yang diderita oleh Putri Serindang Bulan. Penyakit itu muncul setiap kali ada raja yang datang melamarnya. Akibatnya, pertunangan pun selalu batal. Anehnya, jika pertunangan itu batal, penyakit kusta itu pun hilang. Peristiwa tersebut tidak hanya sekali terjadi, tetapi berulang hingga sembilan kali. Peristiwa tersebut menjadi aib bagi keluarga istana. Oleh karena itu, keenam kakak Putri Serindang Bulan mengadakan pertemuan untuk mencari cara agar dapat menghapus aib tersebut.

"Jika hal ini dibiarkan terus terjadi, nama baik keluarga kita akan semakin jelek di mata para raja. Apa yang harus kita lakukan untuk mengatasi masalah ini?" tanya Ki Gete membuka pembicaraan.

Mendengar pertanyaan itu, kelima saudaranya hanya terdiam. Sejenak, suasana sidang menjadi hening. Di tengah keheningan itu, tiba-tiba Ki Karang Nio angkat bicara.

"Bagaimana kalau Putri Serindang Bulan kita asingkan saja ke tempat yang jauh dari keramaian," usul Ki Karang Nio.

"Apakah ada yang setuju dengan usulan Ki Karang Nio?" tanya Ki Gete.

Tak seorang pun peserta sidang yang menjawab. Rupanya, mereka tidak sepakat dengan usulan Ki Karang Nio.

"Kalau menurutku, sebaiknya Putri Serindang Bulan kita bunuh saja," sahut Ki Tago.

Mendengar usulan Ki Tago, para putra Raja Mawang tersebut langsung sepakat, kecuali Ki Karang Nio. Meskipun ia seorang raja, Ki Karang Nio harus menerima keputusan itu, karena ia kalah suara oleh kakak-kakaknya. Dalam pertemuan itu juga diputuskan bahwa Ki Karang Nio-lah yang harus melaksanakan tugas itu. Untuk membuktikan bahwa ia telah melaksanakan tugasnya, ia harus membawa pulang setabung darah Putri Serindang Bulan.

Setelah pertemuan selesai, Ki Karang Nio segera menemui Putri Serindang Bulan. Betapa sedihnya hati putri yang malang itu mendengar keputusan kakak-kakaknya. Namun, ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya bisa pasrah dan menyerahkan nasibnya kepada Tuhan Yang Mahakuasa Kuasa.

"Ya, Tuhan! Lindungilah hambamu yang tidak berdaya ini!" ucap Putri Serindang Bulan dengan air mata bercucuran membasahi pipinya yang berwarna kemerah-merahan.

"Maafkan aku, Dik! Aku juga tidak berdaya menghadapi mereka," ucap Ki Karang Nio seraya menghapus air mata adiknya.

Pada hari yang telah ditentukan, Ki Karang Nio pun bersiap-siap untuk membawa adiknya ke sebuah hutan yang sangat lebat untuk dibunuh. Sebelum mereka berangkat, Putri Serindang Bulan mengajukan satu permohonan kepada Ki Karang Nio.

"Kak, bolehkah Adik membawa bakoa (tempat daun sirih) dan ayam hirik peliharaanku?" pinta Putri Serindang Bulan.

"Untuk apa, Adikku?" tanya Ki Karang Nio.

"Jika Adik telah mati, kuburkanlah bakoa dan ayam hirik ini bersama jasad Adik. Hanya itulah yang Adik miliki selain Kakak," jawab Putri Serindang Bulan.

Setelah berpamitan kepada kakak-kakaknya, Ki Karang Nio dan Putri Serindang Bulan pun berangkat menuju ke hutan. Di sepanjang perjalanan, kedua kakak-beradik tersebut tidak pernah saling menyapa. Hati Putri Serindang Bulan diselimuti perasaan sedih, sedangkan Ki Karang Nio berpikir mencari cara agar adiknya bisa selamat. Setelah berpikir keras, akhirnya ia pun menemukan cara untuk mengelabui kakaknya. Setibanya di tengah hutan, mereka pun berhenti di tepi Sungai Air Ketahun.

"Adikku, sepertinya kita sudah terlalu jauh berjalan. Sebaiknya kita berhenti di sini saja!" Seru Ki Karang Nio.

"Baiklah, Kak! Silahkan laksanakan tugas Kakak!" seru Puri Serindang Bulan.

"Tidak, Adikku! Aku tidak akan sampai hati membunuh adik kandungku sendiri," kata Ki Karang Nio.

"Lakukanlah, Kak! Adik rela mati demi keselamatan Kakak. Jika Kakak tidak membunuh Adik, nyawa Kakak akan terancam. Saudara-saudara kita di istana pasti akan membunuh Kakak," desak Putri Serindang Bulan.

Akhirnya, Ki Karang Nio memberitahukan rencananya kepada Putri Serindang Bulan bahwa ia akan mengelabui kakak-kakaknya.

"Aku tidak akan membunuhmu, Adikku! Aku akan membuatkanmu sebuah rakit. Dengan rakit itu, kamu ikuti aliran Sungai Air Ketahun ini. Kakak berharap ada orang yang menolongmu," ujar Ki Karang Nio.

"Tapi, bukankah Kakak harus membawa pulang setabung darah Adik untuk dijadikan bukti kepada mereka?" tanya Putri Serindang Bulan.

"Benar, Adikku! Jika kamu tidak keberatan, bolehkah aku menyayat tanganmu? Aku akan mengambil sedikit darahmu dan mencampurkannya dengan darah binatang," pinta Ki Karang Nio.

"Silahkan, Kak! Kakak pun boleh menyembelih ayam hirik ini untuk diambil darahnya!" seru Putri Serindang Bulan.

Dengan berat hati, Ki Karang Nio pun menyayat tangan Putri Serindang Bulan. Kemudian, darah yang keluar dari tangan adiknya tersebut ia campurkan dengan darah ayah hirik yang telah disembelih sebelumnya, lalu ia masukkan ke dalam tabung. Setelah itu, ia menyuruh Serindang Bulan untuk naik ke rakit yang sudah disiapkan.

"Pergilah, Adikku! Hati-hatilah di jalan! Semoga Tuhan Yang Mahakuasa senatiasa melindungimu!" seru Ki Karang Nio.

"Terima kasih, Kak! Semoga kita dapat bertemu kembali," ucap Putri Serindang Bulan sambil meneteskan air mata.

Ki Karang Nio pun tidak mampu membendung air matanya. Ia tidak tega melihat adik yang sangat disayanginya itu hanyut terbawa aliran air sungai. Setelah Putri Serindang Bulan hilang dari pandangannya, Ki Karang Nio pun bergegas kembali ke istana untuk melapor kepada kakak-kakaknya bahwa ia telah melaksanakan tugasnya. Kakak-kakaknya pun mempercayainya dengan bukti berupa tabung yang berisi darah tersebut.

Sementara itu, setelah berhari-hari hanyut di sungai, Putri Serindang Bulan akhirnya terdampar di Pulau Pagai, di lepas pantai muara Air Ketahun. Berkat pertolongan Tuhan Yang Mahakuasa, ia ditemukan oleh Raja Indrapura yang sedang berburu di pulau itu.

"Hai, Putri Cantik! Kamu siapa dan kenapa bisa berada di tempat ini?" tanya Raja Indrapura.

Putri Serindang Bulan pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya hingga ia berada di tempat itu. Mendengar cerita itu, Raja Indrapura sangat terharu. Akhirnya, ia membawa Putri Serindang Bulan ke istananya di Negeri Setio Barat. Tak berapa lama kemudian, terdengarlah kabar bahwa Raja Indrapura akan menikah dengan Putri Serindang Bulan. Berkat kesaktian Raja Indrapura, penyakit kusta sang Putri tidak pernah kambuh lagi. Berita tentang pernikahan mereka pun sampai ke telinga kakak-kakaknya di Lebong.

"Apa, Putri Serindang Bulan masih hidup?" celetuk Ki Gete setelah mendengar laporan dari seorang prajurit istana.

Ki Gete dan keempat adiknya sangat marah kepada Ki Karang Nio, karena telah mengelabui mereka. Namun, mereka tidak berani membunuh adiknya itu, karena takut mendapat murka dari Raja Indrapura. Akhirnya, mereka bersepakat untuk menghadiri pesta perkawinan Putri Serindang Bulan dengan Raja Indrapura di Negeri Setio Barat. Ki Karang Nio tidak lupa membawa perselen, yaitu semacam emas sebagai uang jujur Putri Serindang Bulan. Setibanya di pesta tersebut, Putri Serindang Bulan dan Raja Indrapura pun menyambut kedatangan mereka dengan ramah. Bahkan ketika mereka akan kembali ke Lebong, Raja Indrapura menghadiahi mereka berbagai perhiasan emas.

Dalam perjalanan pulang ke Lebong, kapal yang mereka tumpangi diterjang badai dan dihempas ombak besar hingga pecah. Mereka terdampar di sebuah pulau yang bernama pulau yang bernama Ipuh. Semua perhiasan emas pemberian Raja Indrapura tersebut tenggelam di dasar laut, kecuali milik Ki Karang Nio. Rupanya, kelima kakaknya itu iri hati kepada Ki Karang Nio dan berniat untuk membunuhnya, lalu mengambil perhiasannya. Mengetahui niat busuk kakak-kakaknya itu, Ki Karang Nio pun menyampaikan kata-kata bijak kepada mereka.

"Hartoku harto udi, haro udi hartoku, barang udi cigai, uku maglek igai." Artinya:

"Hartaku harta kalian, harta kalian adalah hartaku, barang kalian hilang, aku memberinya."

Rupanya kata-kata bijak Ki Karang Nio tersebut benar-benar menyentuh perasaan kelima kakaknya. Apalagi ketika Ki Karang Nio membagikan hartanya kepada mereka dengan jumlah yang sama, hati kelima kakaknya itu semakin tersentuh karena kemuliaan hati adiknya.

"Adikku! Engkau adalah saudaraku yang arif dan bijaksana. Engkau memang pantas menjadi Raja di Lebong," ucap Ki Gete dengan perasaan kagum.

"Benar, Adikku! Kami sangat bangga memiliki adik sepertimu. Kami sangat menyesal karena selalu bertindak kasar terhadapmu. Kembalilah ke Lebong, Adikku! Kami akan tinggal di pulau ini saja," seru Ki Jenain.

Ketika Ki Karang Nio akan berpamitan hendak kembali ke Lebong, salah seorang kakaknya berkata, "Huo ite sa'ok, kame cigai belek! (artinya: sekarang ini kita berpisah dan kami tidak akan pulang lagi!)" Menurut empunya cerita, kata-kata tersebut menjadi terkenal di kalangan masyarakat Lebong, karena tempat mereka mengucapkan kata-kata tersebut sekarang dinamakan Teluk Sarak. Kata sarak diambil dari kata sa'ok, yang berarti berpisah.

Sekembalinya ke Lebong, Ki Karang Nio menikah dengan seorang putri raja dan kemudian dikaruniai dua orang putra, yaitu Ki Pati dan Ki Pandan. Ia memerintah rakyat Lebong dengan arif dan bijaksana. Ketika usianya sudah tua, Ki Karang Nio meminta adiknya, Putri Serindang Bulan yang menjadi permaisuri di kerajaan lain, agar kembali ke Lebong untuk memilih salah seorang putranya yang akan menggantikannya sebagai raja.

Akhirnya, ketika kembali ke Lebong bersama suaminya, Putri Serindang Bulan menetapkan Ki Pandan untuk menggantikan ayahnya, Ki Karang Nio. Sementara Ki Pati mendirikan biku di sebuah daerah yang kini dikenal dengan Somelako.

* * *

Demikian dongeng Putri Serindang Bulan dari daerah Bengkulu. Menurut cerita, Putri Serindang Bulan merupakan lambang kebijaksanaan, keadilan, dan kecantikan di Lebong. Oleh masyarakat setempat, ia juga dijuluki sebei Lebong (nenek Lebong). Ia menjadi lambang kebijaksanaan, keadilan, dan kecantikan, karena selain berwajah cantik nan rupawan, ia memiliki sifat yang adil dan bijaksana. Ia juga tidak pernah menaruh dendam kepada kakak-kakaknya yang telah berencana membunuhnya.

Selain itu, cerita di atas juga memberikan pelajaran bahwa antarsesama saudara harus saling menyayangi dan melindungi. Hal ini ditunjukkan oleh sifat dan perilaku Ki Karang Nio. Karena sifat kasih sayangnya, ia selalu melindungi adik kandungnya, Putri Serindang Bulan. Bagi orang Melayu, dengan berkasih sayang antarsesama, kehidupan yang aman, damai, dan sejahtera dapat diwujudkan. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu (Tenas Effendy: 2006):

kalau hidup berkasih sayang,
negeri damai, hidup pun tenang

kalau kuncup sudah mengembang
banyaklah kumbang datang menyeri
kalau hidup berkasih sayang
hidup tenang makmurlah negeri

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Tradisi MAKA
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Nusa Tenggara Barat

MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...

avatar
Aji_permana
Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
SMP Negeri 1 Berbah
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pabrik Gula Randugunting
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Kompleks Panti Asih Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja

avatar
Bernadetta Alice Caroline