Labuhan Batu merupakan salah satu kabupaten yang berada di kawasan Pantai Timur
Sumatera Utara. Kabupaten yang beribukota Rantau Prapat ini berjarak kurang lebih 300 km dari ibukota Provinsi Sumatera Utara, Medan,
dan dapat ditempuh dengan menggunakan angkutan jalan darat, mobil atau kereta api selama 7-8 jam.
Kabupaten ini memiliki potensi Daerah Tujuan Wisata yang belum dikelola dengan baik. Salah satu di antaranya adalah Pulau Si Kantan yang kira - kira berjarak kurang lebih 90 km dari Rantauprapat yang berada di pertemuan Sungai Barumun dan Sungai Bilah (di muara ini terkenal dengan ikan terubuknya) berhadapan dengan kota
Labuhan Bilik (Kecamatan Panai Tengah) dan Tanjung Sarang Olang (Kecamatan Panai Hulu).
Menurut cerita, Pulau Si Kantan dulunya tidak ada. Namun, ratusan tahun yang lalu telah terjadi sebuah peristiwa yang sangat luar biasa,sehingga pulau ini muncul di tengah-tengah Sungai Barumun. Peristiwa tersebut diceritakan dalam sebuah cerita rakyat yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Labuhan Batu. Cerita rakyat ini mengisahkan tentang seorang pemuda bernama si Kantan yang menjelma menjadi sebuah pulau.
Alkisah, pada zaman dahulu kala, di tepi sebuah sungai di daerah Labuhan Batu, Sumatera Utara (sekitar Desa Sungai Durhaka, Labuhan Bilik),hiduplah seorang janda tua bersama seorang anak laki-lakinya bernama si Kantan. Mereka tinggal di sebuah gubuk kecil yang sudah reot. Ayah si Kantan, sudah lama meninggal dunia. Sejak itu, ibu si Kantanlah yang harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.Si Kantan seorang anak yang tampan, rajin dan tekun bekerja. Setiap hari ia membantu ibunya mencari kayu bakar di hutan untuk dijual ke pasar.
Pada suatu malam, ibu si Kantan bermimpi didatangi oleh seorang kakek tua yang tidak dikenalnya.Dalam mimpinya, kakek tua itu menyuruhnya pergi menggali tanah di sebuah tempat di dalam hutan.Pada pagi harinya, ia menceritakan mimpinya tersebut kepada si Kantan. “Ai mak, enen mimpi bagus en, Mak! Cocoknya kita laksanakan petunjuknya en. Siapa tau ika bisa mangubah nasib kita,” ujar si Kantan. Maka, ibu dan anak itu pergi ke hutan dengan membawa linggis.Sesampainya di hutan, ibu si Kantan berusaha mengingat-ingat petunjuk yang diterima dari kakek tua di dalam mimpinya. “Botul, Kantan! Tompatnya poghsis di sika!” seru ibu Kantan dengan yakinnya. “Baiklah, Mak! Semoga ingatan Amak indak salah,” kata si Kantan.
Si Kantan pun mulai menggali tanah di bawah sebuah pohon yang besar dengan penuh semangat. Setelah menggali sedalam dua kaki,si Kantan pun menemukan sebuah benda yang terbungkus kain putih yang sudah usang. “Mak, Kantan manomukannya!” “Bonda apa en, Nak?”tanya sang ibu penasaran. “Ontahlah, Mak!” jawab si Kantan.
Tanpa berpikir panjang, benda panjang yang terbungkus kain itu segera dibukanya. Ternyata benda itu sebuah tongkat emas yang berhiaskan permata. “Tengoklah, Mak! Bondaka botul-botul hebat.?“ “Bonagh, Anakku! Barangkali Tuhan ingin mangubah nasib kita ka yang udah lama mandeghita ka.” Setelah itu, mereka pun pulang dengan membawa tongkat emas itu. Sesampainya di gubuk, sang ibu menghendaki agar benda itu dijual saja. Hasilnya akan digunakan untuk membeli rumah baru
dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Tapi, Mak! Siapa na sanggup memboli bonda yang sangat bahaghga ka?” tanya si Kantan. “Botul jua katamu, Nak! Penduduk desa ka ghata-ghata hanya patani biasa ja, pandapatannyapun pas-pasan sijo. Bagaimana kalo ko jual saja kapulo lain?” usul ibu si Kantan. Si Kantan menerima usulan ibunya dengan senang hati. Namun, di sisi lain, ia sangat sedih karena akan meninggalkan ibunya yang sudah tua itu sendirian.
Keesokan harinya, si Kantanpun berpamitan kepada ibunya. “Jaga diri baik-baik, na Mak! Setelah bondaka tajual, Kantan akan segogha balek manomui Amak,” ucap si Kantan kepada ibunya. “Baiklah, Anakku! Baghangkatlah dan hati-hati di jalan! Jangan lupa copat pulang kalo udah baghasil,” seru sang ibu. “Baiklah, Mak! Kantan berangkat!” pamit si Kantan sambil mencium tangan ibunya. Tiba-tiba suasana haru menyelimuti hati ibu dan anak itu. Tak terasa, sang ibu meneteskan air mata, lalu dipeluknya anak satu-satunya itu dengan erat-erat. “Nak, Jangan lupakan Amakmu di sika. Copatlah balek!” pesan sang ibu. “Iya, Mak! Kantan bajanji balek sacopatnya,” jawab si Kantan membalas pelukan ibunya.
Setelah itu, berangkatlah si Kantan dengan sebuah tongkang menyusuri Sungai Barumun menuju laut lepas, menuju Malaka (saat itu hubungan dagang antara Malaka dan Pane-Labuhan Bilik sudah baik). Berhari-hari sudah si Kantan terombang-ambing oleh gelombang di tengah laut. Meskipun perjalanan itu menguras tenaga dan membosankan, namun hal itu tidaklah membuat niat si Kantan surut. Ia yakin bahwa hasil dari penjualan tongkat emas itu akan mengubah nasibnya menjadi lebih baik. Setibanya diMalaka, ia pun segera menawarkan kepada para pedagang di sana. Seluruh pedagang di kota itu sudah ia tawari, namun tak seorang pun yang sanggup membelinya. Ia pun berniat kembali ke kampung halamannya tanpa membawa hasil.
Dalam perjalanan menuju ke pelabuhan, ia bertemu dengan beberapa hulu balang dari Kerajaan Malaka yang sedang berkeliling ronda di kota itu. “Hai, Anak Muda! Benda apa yang sedang kamu bawa itu?” tanya salah seorang hulu balang. “Tongkat Emas, Tuan!” jawab si Kantan. Lalu ia menceritakan maksud kedatangannya ke kota itu. “Bagaimana jika benda itu kamu tawarkan kepada raja kami. Siapa tahu beliau tertarik,” hulu balang lainnya menawarkan.
Si Kantan menerima tawaran itu. Ia kemudian dibawa untuk menghadap kepada sang raja. Setibanya di istana, para hulu balang melaporkan kepada raja, bahwa pemuda miskin itu ingin menjual sebuah benda yang sangat berharga. Sang Raja kemudian mengamati benda itu. “Aduhai, istimewa sekali benda ini,” gumam Baginda Raja. Setelah itu, ia berkata kepada si Kantan, “Hai, Anak Muda! Aku sangat tertarik dengan tongkat emas engkau ini. Tapi, aku tidak ingin membelinya dengan uang. Bagaimana jika engkau tinggal di istana ini dan aku jadikan menantuku?” sang Raja menawarkan. ”Ampun,Baginda! Jika itu kehendak Baginda, hamba menerima tawaran itu,” jawab si Kantan sambil memberi hormat. Seminggu kemudian, si Kantan pun dinikahkan dengan putri raja yang cantik jelita. Pesta pernikahannya dilangsungkan dengan sangat meriah.
Sejak itu, si Kantan resmi menjadi anggota keluarga istana Kerajaan Malaka. Ia bersama istrinya hidup bahagia di istana.Kehidupan yang serba mewah membuat si Kantan lupa kepada ibunya yang sudah tua dan hidup sendirian di kampung.Sementara itu, sang istri selalu mendesak ingin bertemu mertuanya dan ingin melihat kampung halaman suaminya. “Kanda” ! Kapan Kanda akan mengajak Dinda untuk menemui ibu di kampung?” tanya sang istri. Mula-mula si Kantan enggan mengabulkan permintaan istrinya dengan alasan sibuk mengurus istana. Namun, karena didesak terus oleh istrinya dan direstui oleh Baginda Raja, maka si Kantan pun tidak bisa mengelak lagi. “Baiklah, Dinda! Besok pagi kita berangkat” janji si Kantan kepada istrinya.
Dengan menggunakan kapal pribadinya yang besar dan mewah, si Kantan dan istrinya beserta puluhan prajurit istana berlayar menuju Pulau Sumatera. Setelah berhari-hari mengarungi Selat Malaka, akhirnya kapal si Kantan berlabuh di kota kecil, Labuhan Bilik, yang terletak di muara Sungai Barumun. Penduduk setempat sangat terkejut dengan kehadiran kapal sebesar itu. Mereka pun berdatangan ke pelabuhan ingin melihatnya dari dekat. “Woiiii, mogah kali kapal enen! Tapi, siapa ja pamiliknya?” kata seorang penduduk penasaran. “Oiii, lihat enen!” seru penduduk lainnya sambil menunjuk ke arah seorang laki-laki gagah bersama seorang wanita cantik berdiri di anjungan kapal. “Indakja jantan enen si Kantan?” tanya seorang penduduk mengenali si Kantan. “Osahmu! enen si Kantan, lajang na tinggal di gubuk di topi sungai enen,” kata seorang penduduk yang juga mengenal si Kantan.
Maka tersiarlah kabar bahwa si Kantan telah menjadi kaya-raya, bagai seorang raja dengan kapalnya yang besar dan megah. Akhirnya, kabar kedatangan si Kantan pun terdengar oleh ibunya. Perempuan tua itu sangat gembira, karena anak yang ditunggu-tunggunya selama bertahun-tahun telah kembali.Saat menerima berita itu, ia memutuskan untuk menunggu anaknya dengan sabar di gubuk reotnya. Namun, setelah beberapa lama menunggu, anak yang dirindukannya tak kunjung datang. Akhirnya, ibu tua itu memutuskan untuk menyusul anaknya di pelabuhan. Dengan menggunakan sampan, janda tua itu menyusuri Sungai Barumun menuju pelabuhan tempat kapal si Kantan berlabuh. Ia sudah tidak sabar lagi ingin memeluk anak yang sangat disayanginya itu. Dengan sekuat tenaga, ia mengayuh sampannya lebih cepat lagi. Akhirnya, tampaklah dari kejauhan sebuah kapal besar sedang bersandar di pelabuhan. “Kalo bonar kata oghang en, kapal en pasti punyanya si Kantan anakku,” pikir janda tua itu.
Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, ia terus mengayuh sampannya mendekati kapal megah itu. Ketika sampan yang dinaiki sudah semakin dekat dengan kapal besar itu, ia segera memanggil anaknya. “Kantaaan!!! Kantaaan!!! Kantan anakkuuuuu !!!” Mendengar suara teriakan dari luar kapal, istri si Kantan pun bertanya kepada si Kantan, “Kanda! Suara siapakah yang memanggil-manggil nama Kanda?” “Ah, itu hanya orang gila,” jawab si Kantan pura-pura tidak peduli, walaupun sebenarnya ia sangat mengenal bahwa suara itu adalah suara ibunya. Namun, ia malu memperkenalkan istrinya dengan ibunya yang miskin lagi tua itu.
Panggilan si ibu kembali terdengar semakin dekat. “Kantan, Anakku!!! Ko di mana?” “Ika amakmu datang, Nak!” teriak sang ibu. Maka semakin yakinlah istri si Kantan, kalau yang memanggil suaminya itu adalah mertuanya. Ia semakin penasaran ingin melihat ibu mertuanya yang sudah lama ia rindukan. Ia pun segera lari keluar kapal, tapi disusul oleh si Kantan. Dari anjungan kapal, tampaklah oleh mereka seorang perempuan tua yang sedang mendayung sampan ke arah kapalnya. “Kantaaan, Anakku! Aku ka amakmu yang ko tinggalkan dolu,” teriak ibu tua itu.
“Hei, perempuan jelek! Enak saja mengaku-ngaku sebagai ibuku. Aku tidak punya ibu seburuk kamu!” hardik si Kantan dengan kesal. “Tenang, Kanda! Siapa tahu wanita itu benar ibu Kanda.
Sepertinya ia sangat mengenal Kanda,” sahut sang istri menenangkan suaminya. “Tidak, Istriku! Ia bukan ibuku. Ibuku masih muda dan cantik,” bantah si Kantan. “Hei, orang tua gila! Jangan dekati kapalku. Dasar perempuan pembawa sial!” si Kantan kembali mencaci-maki ibunya. “Pengawal! Usir dia dari sini!” perintah si Kantan.
Setelah beberapa pengawal mengusir perempuan tua itu, si Kantan kembali memerintahkan pengawalnya untuk memutar haluan kapal dan kembali ke Malaka. Sementera itu, perempuan tua itu bagai disambar petir melihat perilaku anak kesayangannya, yang sungguh di luar dugaan. Dadanya terasa sesak, air matanya pun tak terbendung lagi. Dengan sisa tenaganya, ia mengayuh sampannya kembali ke gubuknya dengan perasaan hancur-lebur. Ia sangat sedih karena telah diusir oleh anak kandungnya sendiri.
Dengan deraian air mata, ia pun berdoa, “Ya Tuhan, budak en udah duraka sama amaknya yang malahighkan mambosaghkannya ka. Boghi ia palajaran, agar ia menjadi anak nan tahu babakti pada oghang tua!”
Baru saja ucapan itu lepas dari mulut sang ibu, tiba-tiba petir menyambar, hujan badai yang sangat dahsyat pun datang. Tak berapa lama, air Sungai Barumun pun bergulung-gulung lalu menghantam kapal si Kantan dengan bertubi-tubi. Tak ayal lagi, kapal besar yang megah itu pun tenggelam ke dasar Sungai Barumun. Seluruh awak kapal tak dapat menyelamatkan diri, termasuk si Kantan dan istrinya. Setelah kapal itu sudah tak tampak lagi, suasana kembali tenang seperti semula. Beberapa hari kemudian, muncullah sebuah pulau kecil di tempat kejadian itu, yaitu tepatnya di tengah-tengah Sungai Barumun dan berhadapan dengan kota Labuhan Bilik dan Tanjung Sarang Olang. Kemudian pulau itu
oleh masyarakat setempat diberi nama Pulau Si Kantan.