Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Cerita Rakyat Maluku Maluku
Petualangan Empat Kapiten dari Maluka
- 12 Desember 2014

Empat Kapiten Maluku adalah empat bersaudara yang merupakan pemimpin Negeri Nusa Ina di Pulau Seram, Maluku. Keempat kapiten tersebut memiliki kegemaran berpetualang ke daerah­daerah pelosok untuk membuka daerah baru. Suatu hari, mereka berpetualang menyusuri Sungai Tala yang kaya akan sumber alamnya. Namun, petualangan mereka kali ini amat berat dan membutuhkan perjuangan keras karena Sungai Tala terkenal ganas. Airnya sangat deras dan terdapat banyak batu besar di sepanjang alirannya. Bagaimana perjuangan mereka? Simak kisahnya dalam cerita Petualangan Empat Kapiten dari Maluku berikut ini!

* * *

Dahulu, Negeri Nunusaku atau lebih dikenal Negeri Nusa Ina merupakan pusat kegiatan penduduk yang mendiami Pulau Seram, Maluku. Negeri itu dipimpin oleh empat kapiten yaitu Kapitan Wattimena, Kapitan Wattimury, Kapitan Nanlohy, dan Kapitan Talakua. Keempat kapiten tersebut mempunyai wilayah kekuasaan masing­masing sehingga penduduk mereka tersebar di berbagai daerah di pulau tersebut. Meskipun demikian, mereka senantiasa saling membantu dan bekerjasama dalam berbagai hal. Mereka juga suka berpetualang hingga ke daerah pelosok secara bersama­sama.

Suatu hari, kempat kapiten tersebut bermaksud mengadakan petualangan yaitu menyusuri Sungai Tala. Segala keperluan seperti bekal makanan dan minuman segera mereka siapkan. Setelah itu, berangkatlah mereka ke daerah Watui yang terletak di tepi sungai. Di sana, mereka membuat gusepa (rakit) yang terbuat dari batang dan bilah­bilah bambu. Gusepa itulah yang akan mereka gunakan untuk mengarungi Sungai Tala menuju ke hilir.

 Sebelum berangkat, keempat kapiten tersebut berbagi tugas. Kapitan Wattimena ditunjuk sebagai pemimpin, Kapitan Wattimury bertugas sebagai pengemudi, Kapitan Nanlohy ditunjuk sebagai penjaga harta milik mereka dan duduk di tengah gusepa, sedangkan Kapitan Talakua duduk bagian belakang sebelah kanan. Menurut adat, Kapitan Nanlohy adalah seorang Kepala Dati yang berhak menentukan pembagian harta milik pribadi maupun milik bersama. Itulah sebabnya, semua harta dan perbekalan diletakkan di dekatnya. Dalam petualangan kali ini, Kapitan Wattimena juga membawa burung nuri kesayangannya dan sebuah pinang putih yang disimpan dalam tempat sirih

pinang. Setelah persiapan selesai, gusepa pun siap meluncur. Perlahan­lahan, Kapitan Wattimury mengarahkan gusepa ke tengah sungai dengan menggunakan galah dari bambu panjang. Begitu tiba di tengah sungai, gusepa itu pun meluncur dengan cepat terbawa arus sungai yang sangat deras. Ketika keempat kapiten tersebut tiba di sebuah tempat bernama Batu Pamali, gusepa yang mereka tumpangi kandas dan hampir terbalik. Mereka pun panik.

Kapitan Wattimena yang terkejut kemudian berteriak dan menyerukan kepada Kapitan Talakua yang berada di belakang.

“Talakuang!” serunya. Kata tersebut artinya “tikam dan tahan gusepa!” Konon, Kapitan Talakua yang mendapat perintah itu kemudian menjadi nenek moyang masyarakat Maluku dengan memakai mata rumah atau marga Talakua di Negeri Portho. Sementara itu, pada saat yang bersamaan, Kapitan Wattimena segera membuka tempat sirih pinangnya. Namun, tempat sirih pinang itu tiba­tiba terjatuh dan burung nurinya pun terbang entah ke mana. Kejadian itu benar­benar membuat hati Kapitan Wattimena kecewa dan mengucapkan sumpah.

“Aku bersumpah, seluruh keturunan marga Wattimena dan para menantu tidak boleh memelihara burung nuri dan memakan sirih pinang!” ucap Kapitan Wattimena.

Setelah itu, keempat kapiten tersebut melanjutkan perjalanan menuju daerah Tala. Setiba di sana, mereka kemudian membuat batu perjanjian yang dinamakan Manuhurui. Mereka berikrar bahwa jika suatu saat nanti mereka berpisah atau tercerai­berai, hubungan persaudaraan harus tetap berbina. Mereka harus tolong­menolong dalam segala hal dan selalu saling mengunjungi satu sama lain. Keempat Kapiten tersebut tampaknya sudah mulai kelelahan sehingga mereka pun memutuskan untuk beristirahat beberapa hari. Suatu ketika, Kapitan Wattimena dan Kapitan Wattimury sedang istirahat di darat, sedangkan Kapitan Nanholy dan Kapitan Talakua berisitirahat di atas gusepa. Tanpa disadari, gusepa itu hanyut terbawa arus. Keduanya pun panik dan berteriak meminta tolong.

“Tolong… Tolong…!” seru Kapitan Nanlohy meneriaki kedua saudaranya yang sedang tidur di darat. Mendengar teriakan itu, Kapitan Wattimena dan Kapitan Wattimury terbangun. Alangkah terkejutnya mereka saat melihat kedua saudara mereka hanyut terbawa arus. Mereka hendak menolong, namun kedua saudara mereka sudah jauh terbawa arus hingga ke tengah laut. Kapitan Nanholy berusaha berenang ke daratan dan terdampar ke sebuah tempat. Tempat itu kemudian diberi nama Nanuhulu yang berarti “berenang dan terdampar di hulu”. Sejak itu, Kapitan Nanholy menetap di daerah tersebut. Sementara itu, Kapitan Talakua terus hanyut hingga melewati Tanjung

Uneputty dan terdampar di Teluk Pulau Saparua. Di situ, ia membangun negeri yang diberi nama Portho. Sementara itu di tempat lain, Kapitan Wattimena dan Kapitan Wattimury tetap mendiami daerah Manuhurui di Kampung Sanuhu. Keduanya pun hidup saling tolong­menolong dan menyayangi. Suatu ketika, mereka mendengar kabar bahwa kampung mereka akan diserang musuh yang datang dari kampung sebelah.

“Apa yang harus kita lakukan, Wattimena?” tanya Kapitan Wattimury bingung.

“Kita harus segera meninggalkan kampung ini dan mencari tempat persembunyian yang aman,” kata Kapitan Wattimena, Kapitan Wattimury pun menyetujui keputusan itu. Akhirnya, kedua orang bersaudara itu bersembunyi di suatu tempat yang aman dari kejaran musuh. Namun sayang, tempat gersang dan tandus sehingga air sulit didapatkan. Kapitan Wattimury kembali dilanda kebingungan.

“Bagaimana kita bisa hidup di tempat ini? Air untuk diminum saja susah,” keluh Kapitan Wattimury.

Kapitan Wattimena tidak menjawab. Ia langsung mengambil sebuah tombak lalu ditancapkan ke tanah. Seketika, air pun menyembur keluar dengan sangat deras. Akhirnya, keduanya pun dapat minum air sampai kenyang. Tempat itu kemudian mereka beri nama Hule yang berarti kekenyangan. Mereka pun menetap di daerah itu, namun tidak beberapa lama. Mereka bersepakat untuk membuka daerah baru di tempat lain.

Kedua kapiten itu kemudian melanjutkan perjalanan menyusuri daerah Seram Selatan hingga ke bagian timur daerah Boboth. Namun, hingga malam hari, mereka belum juga menemukan tempat yang cocok. Pada malam yang gelap gulita itu, keduanya tetap melanjutkan perjalanan. Tiba­tiba, Kapiten Wattimena mengentikan langkahnya.

“Hai, kenapa berhenti, Wattimena?” tanya Kapiten Wattimury heran.

“Kita beristirahat sejenak di sini,” ujar Kapitan Wattimena, “Sudah jauh kita berjalan tapi tidak ada tempat yang cocok untuk dijadikan tempat menetap.”

“Lalu, apa yang harus kita lakukan?” tanya Kapitan Wattimury bingung.

“Sebaiknya kita buat lobe (obor). Tempat di mana obor ini nanti padam, maka di situlah kita menetap,” ujar Kapitan Wattimena.

Setelah menyalakan obor, keduanya pun melanjutkan perjalanan. Ketika obor itu padam, keduanya pun berhenti dan menjadi tempat itu sebagai tempat tinggal mereka. Tempat itu kemudian mereka beri nama Japisuru atau Api Lobe dan kini nama tempat itu telah berganti menjadi Mahariki.

Selang beberapa waktu tinggal di daerah itu, Kapiten Wattimury bermaksud untuk pindah ke daerah lain.

“Saudaraku, perkenankanlah aku untuk mencari daerah lain untuk membangun negeri sendiri,” pinta Kapiten Wattimury.

“Baiklah, kalau itu keinginanmu. Tapi, jangan lupa dengan ikrar yang pernah kita ucapkan dulu bahwa kita akan saling mengunjungi,” ujar Kapitan Wattimena.

“Tentu, Wattimena,” jawab Kapitan Wattimena.

 Akhirnya, Kapitan Wattimury menuju ke sebuah tempat yang jaraknya kurang lebih tujuh kilometer dari dari Mahariki. Ia pun menamai tempat itu dengan nama Amahai. Kini, nama tempat itu telah berubah menjadi Ruta.

* * *

Demikian cerita Petualangan Empat Kapiten dari Maluku, Provinsi Maluku. Cerita di atas merupakan cerita legenda yang menceritakan beberapa nama tempat yang ada di daerah Maluku seperti Mahariki, Amahai, Hule, Luhu, Portho, dan sebagainya. Adapun pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa hubungan tali persaudaraan haruslah senantiasa dijaga kapan dan di mana pun kita berada. (Samsuni/Sas/249/04­2011)

 

http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/263-Petualangan-Empat-Kapiten-dari-Maluku

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
SMP Negeri 1 Berbah
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pabrik Gula Randugunting
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Kompleks Panti Asih Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Jembatan Plunyon Kalikuning
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Jembatan Plunyon merupakan bagian dari wisata alam Plunyon-Kalikuning yang masuk kawasan TNGM (Taman Nasional Gunung Merapi) dan wisatanya dikelola Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) setempat, yaitu Kalikuning Park. Sargiman, salah seorang pengelola wisata alam Plunyon-Kalikuning, menjelaskan proses syuting KKN Desa Penari di Jembatan Plunyon berlangsung pada akhir 2019. Saat itu warga begitu penasaran meski syuting dilakukan secara tertutup. Jembatan Plunyon yang berada di Wisata Alam Plunyon-Kalikuning di Cangkringan, Kabupaten Sleman. Lokasi ini ramai setelah menjadi lokasi syuting film KKN Desa Penari. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan zoom-in-whitePerbesar Jembatan Plunyon yang berada di Wisata Alam Plunyon-Kalikuning di Cangkringan, Kabupaten Sleman. Lokasi ini ramai setelah menjadi lokasi syuting film KKN Desa Penari. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan "Syuting yang KKN itu kebetulan, kan, 3 hari, yang 1 hari karena gunungnya tidak tampak dibatalkan dan diu...

avatar
Bernadetta Alice Caroline