|
|
|
|
Pernikahan Adat Batak Tapanuli Tanggal 23 May 2018 oleh Oase . |
"Magodang anak, pangolihononhon, magodang boru pahutaon (pamulion)". Artinya: Jika putra sudah dewasa, ia akan dicarikan istri (dinikahkan) dan jika putri sudah dewasa dia patut bersuami (tinggal di kampung suaminya).
Masyarakat Batak, tak terkecuali di kota-kota besar termasuk Jakarta, masih memegang kuat nilai-nilai budaya. Mulai dari sistem kekerabatan, hingga adat istiadat (termasuk ruhut paradaton dalam perhelatan adat mulai dari bayi, anak, remaja, perkawinan dan kematian) tetap terpelihara dalam kehidupan sehari-hari. A. Patiur Baba Ni Mual (permisi dan mohon doa restu Tulang)
Prosesi ini merupakan langkah pertama yang dilakukan oleh orangtua terhadap hula-hula (kelompok marga asal sang istri) sebelum putranya menikah. Menurut adat, putri tulang (saudara kandung laki-laki dari pihak ibu) adalah jodoh pertama dari putranya. Apabila pasangan hidup yang dipilih bukan putri tulang, maka orang tuanya perlu membawa putranya permisi dan mohon doa restu tulang. Adat ini hanya dilakukan pada putra pertama yang akan menikah.
B. Marhori-hori Dingding (perkenalan keluarga secara tertutup)
Beberapa bulan sebelum pesta pernikahan, keluarga pihak laki-laki (paranak/pangoli) mengunjungi keluarga pihak perempuan (parboru/oroan) dengan maksud memperkenalkan diri dan menetapkan tanggal dan hari untuk lamaran. Marhori-hori dingding hanya dilakukan oleh keluarga inti saja, karena sesuai dengan artinya (marhori = berkomunikasi, dingding = dinding) pertemuan ini diadakan secara intim dan tertutup. Suguhan yang dibawakan pun cukup berupa kue atau buah. C. Marhusip (perundingan diam-diam) & Patua Hata (melamar secara resmi):
Beberapa waktu kemudian, atas hasil pembicaraan hori-hori dingding maka diadakan pembicaraan yang lebih formal antar keluarga dekat (belum melibatkan masyarakat luar). Baik pihak paranak maupun parboru didampingi oleh raja adat masing-masing. Pihak paranak datang ke tempat keluarga parboru dengan membawa sipanganon (makanan & minuman). Pada acara ini pihak paranak mempersembahkan tudu-tudu sipanganon (makanan berupa kepala pinahan lobu/babi atau kerbau) dan pihak parboru memberikan dengke (ikan mas).
Acara marhusip biasanya langsung dirangkai dengan acara melamar secara resmi yang dipimpin oleh para raja adat. Acara ini dinamakan patua hata yang secara harafiah berarti meningkatkan taraf kesepakatan yang tak lagi hanya melibatkan kedua pasangan muda-mudi saja tapi sudah naik ke taraf kesepakatan antar orang tua.
Dalam acara ini dibahas secara detail adat yang akan dilaksanakan. Antara lain:
Meliputi pembahasan jumlah dan bentuk sinamot (uang mahar) yang akan diberikan oleh pihak paranak, dan panjuhuti (jenis ternak yang akan dipotong) yang kini ditetapkan pihak parboru. Dahulu, ternak panjuhuti disediakan pihak paranak dan merupakan bagian dari sinamot.
Saat ini di daerah Jabodetabek biasanya jumlah ulos dibatasi oleh para tua-tua adat agar acara pernikahan tidak terlalu bertele-tele. Biasanya jumlahnya maksimum 17 atau 18 ulos, tapi masih bisa dinegosiasikan secara kekeluargaan.
Tempat pesta pernikahan dapat diselenggarakan di tempat pengantin perempuan (dialap jual) atau tempat pengantin laki-laki (tahuron jual). Jika pesta diselenggarakan di tempat paranak, maka pihak paranak tidak diwajibkan membawa sibuha-buhai (sajian pagi pada hari H). Jual beras (boras si pir ni tondi) dan dengke siuk (ikan arsik/pepes) sebagai bawaan kerabat pihak paranak akan beralih kepada pihak parboru sebagai bolahan amak atau tuan rumah. * Banyaknya jumlah undangan dari kedua belah pihak
Selama marhusip dan patua hata berlangsung kedua belah keluarga duduk secara berhadap-hadapan dan kedua pengantin biasanya "disembunyikan" lebih dahulu atau tidak dilibatkan, sampai pada akhir acara barulah keduanya dipanggil untuk diperkenalkan ke seluruh keluarga dan diberi wejangan / pengarahan. Sebelum acara ditutup biasanya dibagikan uang ingot-ingot ke pihak keluarga yang jumlahnya bervariasi, tergantung posisi orang tersebut dalam tatanan adat.
D. Martumpol
Persetujuan pernikahan sekaligus pewartaan atau pengumuman melalui institusi agama (gereja, masjid, dll). Bila dilakukan di gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) maka pewartaan (yang biasa disebut tingting) dilakukan setidaknya 2 kali dalam 2 minggu berturut-turut. Bila tidak ada pihak yang berkeberatan / menggugat, barulah pernikahan dapat diselenggarakan.
E. Martonggo Raja dan Maria Raja
Seusai martumpol, biasanya dilanjutkan dengan pembicaraan di rumah masing-masing pihak yang disebut martonggo raja (di tempat keluarga parboru) dan maria raja (di keluarga paranak). Pembicaraan ini membahas lebih detail lagi prosesi adat hari H, terutama keterlibatan masing-masing personil keluarga besar (dongan sahuta), seperti siapa yang bertugas untuk memberi dan menerima ulos, dan hal-hal yang telah disepakati dalam acara marhusip sebelumnya.
F. Pamasu-Masuon (pemberkatan nikah) & Marunjuk (pesta adat)
Setelah urut-urutan adat pernikahan dilalui, tibalah untuk menggelar pesta pernikahan yang diawali dengan pemberkatan di rumah ibadah dan dilanjutkan dengan marunjuk (pesta adat). Sekilas urutan prosesi pada hari H dapat disimak di bawah.
Marsibuha-buhai Pagi hari (sekitar pukul 6.30) rombongan paranak datang untuk menjemput mempelai wanita dengan membawa tanda makanan adat na margoar / sangsang (pinahan lobu/babi atau kerbau) dan pihak parboru menyediakan dengke (ikan mas),sebagai tanda permulaan ikatan kekerabatan atau berbesanan (mamuhai partondongan). Seluruh keluarga pun makan pagi bersama, dan setelahnya orang tua parboru memimpin doa memberangkatkan pengantin ke rumah ibadah untuk pemberkatan.
Pamasu-Masuon (pemberkatan nikah)
Pemberkatan dilakukan di tempat ibadah. Untuk kepraktisan, sebelum acara pemberkatan dimulai biasanya dilakukan pencatatan sipil di tempat. Setelah pemberkatan usai, seluruh keluarga berangkat menuju tempat pesta adat.
Marunjuk (pesta adat) Setelah mempelai dan keluarga kedua pihak telah tiba dalam gedung, kedua belah pihak saling menyerahkan tanda makanan adat. Pihak paranak menyerahkan tudu-tudu ni sipanganon (pinahan lobu/babi atau kerbau utuh yang telah dipotong dan disusun menjadi beberapa bagian tertentu) pada pihak parboru, dan sebaliknya pihak parboru menyerahkan dengkesimudur-mudur (ikan mas).
Setelah proses tukar-menukar suguhan selesai, diadakan santap bersama yang didahului dengan doa. Lalu kedua belah pihak bersepakat tentang pembagianjambar juhut (tanda makanan adat yang berasal dari tudu ni sipanganon) di mana tiap potongan daging dibagi-bagi sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.
Saat pembagian berkat daging berlangsung, pihak paranak mengumpulkan sumbangan gugu dan tumpak dari semua kerabat yang diundang, kemudian pengantin perempuan dipersilakan untuk memungut (manjomput) sumbangan yang terkumpul untuk dirinya dan selebihnya diserahkan kepada orang tua paranak.
Kemudian kedua belah pihak keluarga saling berkenalan dengan beberapa prosesi adat seperti pemberian panandaion dari keluarga paranak pada keluarga parboru.
"Magodang anak, pangolihononhon, magodang boru pahutaon (pamulion)". Artinya: Jika putra sudah dewasa, ia akan dicarikan istri (dinikahkan) dan jika putri sudah dewasa dia patut bersuami (tinggal di kampung suaminya).
Masyarakat Batak, tak terkecuali di kota-kota besar termasuk Jakarta, masih memegang kuat nilai-nilai budaya. Mulai dari sistem kekerabatan, hingga adat istiadat (termasuk ruhut paradaton dalam perhelatan adat mulai dari bayi, anak, remaja, perkawinan dan kematian) tetap terpelihara dalam kehidupan sehari-hari. Berikut Weddingku paparkan urut-urutan adat pernikahan di dalam masyarakat Batak khususnya Batak Toba yang lazim digunakan terutama di kota Jakarta dan beberapa kota besar di Indonesia, mulai dari patiur baba ni mual (mohon doa restu) hingga marunjuk (pesta pernikahan).
A. Patiur Baba Ni Mual (permisi dan mohon doa restu Tulang)
Prosesi ini merupakan langkah pertama yang dilakukan oleh orangtua terhadap hula-hula (kelompok marga asal sang istri) sebelum putranya menikah. Menurut adat, putri tulang (saudara kandung laki-laki dari pihak ibu) adalah jodoh pertama dari putranya. Apabila pasangan hidup yang dipilih bukan putri tulang, maka orang tuanya perlu membawa putranya permisi dan mohon doa restu tulang. Adat ini hanya dilakukan pada putra pertama yang akan menikah.
B. Marhori-hori Dingding (perkenalan keluarga secara tertutup)
Beberapa bulan sebelum pesta pernikahan, keluarga pihak laki-laki (paranak/pangoli) mengunjungi keluarga pihak perempuan (parboru/oroan) dengan maksud memperkenalkan diri dan menetapkan tanggal dan hari untuk lamaran. Marhori-hori dingding hanya dilakukan oleh keluarga inti saja, karena sesuai dengan artinya (marhori = berkomunikasi, dingding = dinding) pertemuan ini diadakan secara intim dan tertutup. Suguhan yang dibawakan pun cukup berupa kue atau buah.
C. Marhusip (perundingan diam-diam) & Patua Hata (melamar secara resmi):
Beberapa waktu kemudian, atas hasil pembicaraan hori-hori dingding maka diadakan pembicaraan yang lebih formal antar keluarga dekat (belum melibatkan masyarakat luar). Baik pihak paranak maupun parboru didampingi oleh raja adat masing-masing. Pihak paranak datang ke tempat keluarga parboru dengan membawa sipanganon (makanan & minuman). Pada acara ini pihak paranak mempersembahkan tudu-tudu sipanganon (makanan berupa kepala pinahan lobu/babi atau kerbau) dan pihak parboru memberikan dengke (ikan mas).
Acara marhusip biasanya langsung dirangkai dengan acara melamar secara resmi yang dipimpin oleh para raja adat. Acara ini dinamakan patua hata yang secara harafiah berarti meningkatkan taraf kesepakatan yang tak lagi hanya melibatkan kedua pasangan muda-mudi saja tapi sudah naik ke taraf kesepakatan antar orang tua.
Dalam acara ini dibahas secara detail adat yang akan dilaksanakan. Antara lain:
Meliputi pembahasan jumlah dan bentuk sinamot (uang mahar) yang akan diberikan oleh pihak paranak, dan panjuhuti (jenis ternak yang akan dipotong) yang kini ditetapkan pihak parboru. Dahulu, ternak panjuhuti disediakan pihak paranak dan merupakan bagian dari sinamot.
Saat ini di daerah Jabodetabek biasanya jumlah ulos dibatasi oleh para tua-tua adat agar acara pernikahan tidak terlalu bertele-tele. Biasanya jumlahnya maksimum 17 atau 18 ulos, tapi masih bisa dinegosiasikan secara kekeluargaan.
Tempat pesta pernikahan dapat diselenggarakan di tempat pengantin perempuan (dialap jual) atau tempat pengantin laki-laki (tahuron jual). Jika pesta diselenggarakan di tempat paranak, maka pihak paranak tidak diwajibkan membawa sibuha-buhai (sajian pagi pada hari H). Jual beras (boras si pir ni tondi) dan dengke siuk (ikan arsik/pepes) sebagai bawaan kerabat pihak paranak akan beralih kepada pihak parboru sebagai bolahan amak atau tuan rumah.
Selama marhusip dan patua hata berlangsung kedua belah keluarga duduk secara berhadap-hadapan dan kedua pengantin biasanya "disembunyikan" lebih dahulu atau tidak dilibatkan, sampai pada akhir acara barulah keduanya dipanggil untuk diperkenalkan ke seluruh keluarga dan diberi wejangan / pengarahan. Sebelum acara ditutup biasanya dibagikan uang ingot-ingot ke pihak keluarga yang jumlahnya bervariasi, tergantung posisi orang tersebut dalam tatanan adat.
D. Martumpol
Persetujuan pernikahan sekaligus pewartaan atau pengumuman melalui institusi agama (gereja, masjid, dll). Bila dilakukan di gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) maka pewartaan (yang biasa disebut tingting) dilakukan setidaknya 2 kali dalam 2 minggu berturut-turut. Bila tidak ada pihak yang berkeberatan / menggugat, barulah pernikahan dapat diselenggarakan.
E. Martonggo Raja dan Maria Raja
Seusai martumpol, biasanya dilanjutkan dengan pembicaraan di rumah masing-masing pihak yang disebut martonggo raja (di tempat keluarga parboru) dan maria raja (di keluarga paranak). Pembicaraan ini membahas lebih detail lagi prosesi adat hari H, terutama keterlibatan masing-masing personil keluarga besar (dongan sahuta), seperti siapa yang bertugas untuk memberi dan menerima ulos, dan hal-hal yang telah disepakati dalam acara marhusip sebelumnya.
F. Pamasu-Masuon (pemberkatan nikah) & Marunjuk (pesta adat)
Setelah urut-urutan adat pernikahan dilalui, tibalah untuk menggelar pesta pernikahan yang diawali dengan pemberkatan di rumah ibadah dan dilanjutkan dengan marunjuk (pesta adat). Sekilas urutan prosesi pada hari H dapat disimak di bawah.
Marsibuha-buhai
Pagi hari (sekitar pukul 6.30) rombongan paranak datang untuk menjemput mempelai wanita dengan membawa tanda makanan adat na margoar / sangsang (pinahan lobu/babi atau kerbau) dan pihak parboru menyediakan dengke (ikan mas),sebagai tanda permulaan ikatan kekerabatan atau berbesanan (mamuhai partondongan). Seluruh keluarga pun makan pagi bersama, dan setelahnya orang tua parboru memimpin doa memberangkatkan pengantin ke rumah ibadah untuk pemberkatan.
Pamasu-Masuon (pemberkatan nikah)
Pemberkatan dilakukan di tempat ibadah. Untuk kepraktisan, sebelum acara pemberkatan dimulai biasanya dilakukan pencatatan sipil di tempat. Setelah pemberkatan usai, seluruh keluarga berangkat menuju tempat pesta adat.
Marunjuk (pesta adat)
Setelah mempelai dan keluarga kedua pihak telah tiba dalam gedung, kedua belah pihak saling menyerahkan tanda makanan adat. Pihak paranak menyerahkan tudu-tudu ni sipanganon (pinahan lobu/babi atau kerbau utuh yang telah dipotong dan disusun menjadi beberapa bagian tertentu) pada pihak parboru, dan sebaliknya pihak parboru menyerahkan dengkesimudur-mudur (ikan mas).
Setelah proses tukar-menukar suguhan selesai, diadakan santap bersama yang didahului dengan doa. Lalu kedua belah pihak bersepakat tentang pembagianjambar juhut (tanda makanan adat yang berasal dari tudu ni sipanganon) di mana tiap potongan daging dibagi-bagi sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.
Saat pembagian berkat daging berlangsung, pihak paranak mengumpulkan sumbangan gugu dan tumpak dari semua kerabat yang diundang, kemudian pengantin perempuan dipersilakan untuk memungut (manjomput) sumbangan yang terkumpul untuk dirinya dan selebihnya diserahkan kepada orang tua paranak.
Penyerahan mahar dari pihak paranak ke parboru sesuai dengan yang telah ditetapkan sebelumnya. Pertama-tama 'dihitung' terlebih dahulu oleh parhata (juru bicara) paranak, lalu oleh parhata pihak parboru, kemudian diserahkan pada ibu pengantin perempuan (diterima di atas ulos yang terbuka).
Kemudian kedua belah pihak keluarga saling berkenalan dengan beberapa prosesi adat seperti pemberian panandaion dari keluarga paranak pada keluarga parboru.
Ulos Herbang Pihak parboru menyerahkan ulos herbang esuai kesepakatan dalam marhusip, diawali dengan pemberian ulos passamot dan ulos hela. Ulos Passamot diberikan orang tua pengantin perempuan ke orang tua pengantin laki-laki dengan makna agar dapat mengumpulkan berkat sebanyak-banyaknya. Sedangkan Ulos Hela diberikan orang tua pengantin perempuan kepada pengantin agar pengantin bersatu sepanjang masa. Selain Ulos Hela, adapula Mandar (sarung) yang diberikan kepada pengantin laki-laki untuk dipakai bekerja jika pengantin perempuan mengadakan pesta. Kemudian orang tua parboru menabur beras Sipir Ni Tondi di kepala kedua pengantin sebanyak 3 kali agar selalu sehat, kuat menghadapi cobaan dan tabah menghadapi masalah.
Mangulosi
Setelah pemberian ulos herbang, tibalah saat untuk mangulosi atau pemberian ulos / berkat dari seluruh keluarga bagi kedua pengantin.
Acara diakhiri dengan ucapan selamat dari para raja parhata, orang tua disertai dengan sepatah dua kata nasihat bagi pengantin. Kemudian kedua pengantin pun mengucapkan rasa syukur pada orang tua, saudara dan seluruh undangan.
G. Pasca Pernikahan
Setelah menikah pun masih ada pula beberapa prosesi adat lama yang dilakukan meski saat ini sudah tak jamak dilaksanakan, atau disatukan dalam prosesi adat untuk alasan kepraktisan. Acara tersebut adalah paulak une dan maningkir tangga, yang ditujukan untuk mengantar pengantin wanita ke pihak paranak dan kunjungan pihak parboru pada huta / desa tempat tinggal pengantin yang merupakan tempat tinggal paranak. Seluruh rangkaian acara kemudian ditutup kembali dengan doa.
Sumber: https://gpswisataindonesia.info/2014/10/prosesi-pernikahan-adat-batak-tapanuli/
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dala... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |