|
|
|
|
Pepes Ulat Sabeta Tanggal 27 May 2019 oleh Rizki Kitiang. |
Jailolo, CNN Indonesia -- Kaki melangkah masuk ke dalam hutan dekat Desa Bukubuwalawa, Jailolo, Provinsi Maluku Utara. Siang itu, Kamis (4/5), saya diajak seorang bapak yang mau menebang Pohon Sagu untuk "memanen" ulat yang bakal dijadikan bahan masakan. Sabeta sebutan imut makhluk itu. Tak hanya Pohon Sagu, di dalam hutan juga banyak ladang milik warga yang ditanami beragam tumbuhan, salah satunya ialah Pohon Cengkih dan Pohon Pala. Dua jenis pepohonan tersebut merupakan saksi bisu kalau Maluku sempat tenar sebagai pulau penghasil rempah terbaik se-Indonesia. Bahkan Jailolo sempat didatangi oleh penjajah dari Portugis, Inggris dan Jepang yang berebut rempah.
Tapi saat ini berladang rempah bukan jadi mata pencarian utama masyarakatnya lagi. Pemuda dan pemudi dari tanah yang super kaya ini sudah banyak yang merantau ke kota besar, tak sedikit yang menjadi tenaga kerja di luar negeri. Bapak yang berjalan bersama saya ke dalam hutan menghentikan langkahnya. Ia menunjuk ke rerimbunan Pohon Sagu yang berada dalam ladangnya. Jangan kira ladang di sini dibatasi oleh pagar-pagar. Hanya ilalang pemisah yang menjadi penanda dan perhitungan kira-kira. Pohon Sagu pilihannya lalu ditebang dengan parang panjang yang dibawanya dari rumah, mirip yang menjadi aksesori dalam foto-foto Kapten Pattimura. Kata sang bapak, pohon itu sudah berumur lima tahun sehingga masuk dalam usia siap tebang. Setelah Pohon Sagu runtuh, sang bapak lalu kembali memotong-motong batangnya dengan ukuran lebih kecil agar mudah dibawa pulang. Dedaunannya yang serupa daun Pohon Kelapa juga ikut dibungkus, katanya untuk dijadikan tikar. Sampai di rumahnya, saya mencari penampakan Sabeta yang dimaksud. Sang bapak lalu menjelaskan kalau makhluk itu baru muncul setelah batang pohon dibiarkan busuk selama seminggu sampai satu bulan. Semakin lama membusuk, maka ulat di dalamnya akan semakin gendut. Karena tak mungkin menunggu selama satu bulan di rumah sang bapak, akhirnya saya memutuskan untuk melihat langsung cara pembuatan menu Sabeta Bakar Bambu di lokasi Festival Teluk Jailolo 2018 yang berada di dekat dermaga. Dalam lapak Jailolo Kitchen, sekelompok ibu ternyata sudah siap dengan Sabeta dan segala bahan baku masakan. Selain Sabeta, yang juga disiapkan ialah bumbu ala pepes ikan; cabe, bawang putih, bawang merah, kunyit, tomat, labu siam, ubi, jagung, daun sereh, daun salam, jeruk cui (sebutan untuk jeruk limo), garam, sayur lilin (sejenis ketela), dan pisang mulu bebe. Batang bambu muda yang sudah dipotong-potong dengan panjang sekitar satu meter juga disiapkan sebagi wadah pembakaran. Daun pisang yang menjadi alas juga ikut disediakan.
Ibu-ibu dengan seru memotong dan mencampur semua bumbu dalam lapak yang dibangun mirip gubuk sederhana. Setelah 30 menit menyiapkan bumbu, mereka mulai menggelar daun pisang di atas meja. Sabeta siap dipepes. Di atas daun bambu, bumbu disendok lima kali. Sabeta yang gendut dan masih hidup lalu dibaringkan di dalamnya. Air perasan jeruk cui dan garam dikucurkan banyak-banyak. Ternyata masyarakat Jailolo gemar dengan perpaduan rasa asam dan asin. Daun yang berisi bumbu dan Sabeta lalu dimasukkan ke dalam liang bambu. Corongnya yang terbuka disumpal daun pisang. Batang-batang bambu itu lalu direbahkan ke dalam api yang berasal dari pembakaran sabut kelapa. Hanya berjarak sekitar sepuluh menit, harum pepes ulat itu sudah terasa. Masakan yang sudah matang ditandai dengan air yang berhenti mengucur dari dalam bambunya. Sekitar 30 menit lima bambu yang dibakar akhirnya diangkat. Setelah dibuka pepes-pepes itu lalu dihidangkan di atas piring. Dimakan bersama jagung dan ubi yang menjadi pelengkap.
Jujur saja saya tak berhasil mengusir rasa enggan ketika diajak menyantap pepes ulat itu. Tapi ibu-ibu di sana terlihat lahap menyantapnya. Salah satu ibu mengatakan kalau rasanya mirip udang tapi lebih tebal. Bagi yang memiliki sejarah alergi sebaiknya jangan makan Sabeta terlalu banyak, terutama di bagian kepalanya. Memasak Sabeta Bakar Bambu telah lama menjadi tradisi masyarakat Jailolo untuk acara besar, salah satunya pernikahan. Minuman tradisional Cap Tikus dan Saguer ikut menemani. Resep memasaknya juga diwariskan turun temurun, dengan harapan pemuda dan pemudi yang sudah merantau jauh tak pernah lupa dengan identitas aslinya.
Sumber: cnn indonesia
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dala... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |