Pada zaman dahulu, hiduplah seorang Ncuhi yang sangat arif dan bijaksana. Ia sangat disegani dan dihormati oleh seluruh rakyat. Tutur kata dan perbuatannya selalu diikuti oleh seluruh rakyatnya. Mereka tinggal di hamparan lembah dan gugusan pegunungan di sebelah utara tanah Sape Bima. Tepatnya di desa Buncu kecamatan Sape sekarang. Mereka hidup damai tak terusik dalam dekapan keindahan dan kesuburan tanah tumpah darahnya. Mata air yang mengalir bersih dan jernih. Sawah ladang yang beraneka hasil. Pepohonan yang rimbun menghijau. Rakyat yang ramah dan bersatu dalam jalinan persaudaraan dan keakraban. Bagai titian mutiara yang selalu memancarkan sinarnya. Segala sesuatu yang hendak dilakukan selalu dijalani dengan musyawarah mufakat. Rumah Ncuhi adalah tempat berkumpul dan bertanya tentang sawah ladang, masa tanam, masa panen serta segala kejadian yang sedang dan akan terjadi.
Namun Pada suatu ketika, seorang warga lari terbirit-birit menghadap Sang Ncuhi. Bersama nafasnya yang menggemuruh ia menceritakan tentang kejadian aneh yang baru saja dialaminya.
“ Saya melihat Raksasa Ncuhi. Sepertinya ia sedang melangkah kemari.”
“ Dimana kamu lihat dia ?” Ncuhi Buncu penasaran
“ Di gunung di sebelah barat kampung kita.”
Ncuhi Buncu terperanjat, dan segera ia berdiri dari duduknya. Sejenak ia terkenang tentang pesan mendiang Ayahnya. Bahwa suatu saat yang akan datang Raksasa yang akan menyerang kampung ini. Raksasa itu persis seperti yang telah diceritakan orang tadi. Ia akan datang menyerang pada sat panen dan malam bulan purnama. Raksasa itu tidak akan berhenti menyerang dan mengamuk jika tidak memenuhi persaratannya. Persaratan itu hanya satu yaitu persembahan seorang bayi yang lahir pada malam purnama.
“ Apa yang harus kita perbuat ?” Warga itu bertanya kebingungan.
“ Sebelum purnama tiba, saya akan mengumpulkan seluruh warga. “
“ Kenapa dia datang pada malam itu.?”
“ Dia meminta persembahan. “
“ Persembahan ? Apa yang mesti kita persembahkan ?”
“ Dia menginginkan seorang bayi yang pada malam Itu. “
“ Seorang bayi ?” Orang itu berkata lirik. Ia mulai gemetaran. Terkenang istrinya yang sedang hamil tua dan menunggu saat-saat melahirkan.
Berita tentang raksasa itu tersiar ke seluruh kampung. Dari puncak gunung sampai ke hulu sungai orang-orang bercerita dan berbicara tentang kekuatan raksasa itu.
Bulan purnama bersinar terang. Tetapi tidak seperti biasanya orang-orang leluasa keluar gubuk. Muda mudi yang berpantun dan bersyair diiringi senandung malam penyejuk kalbu tidak terdengar lagi. Bunyi lesung mulai bertalu-talu, demikian pula Pentungan. Semakin lama semakin riuh. Orang-orang lari berhamburan mencari tempat yang dianggap paling aman. Ada yang bersembunyi di gua, di lubang-lubang yang telah digali. Ada pula yang telah mengungsi ke tempat yang agak jauh dari kampungnya. Kampung itu seperti tak berpenghuni. Hening dan lengang. Tabah menanti sesuatu yang akan terjadi.
Suara yang meraung-raung dari gugusan pegunungan di sebelah barat mulai terdengar. Pijakan kakinya menggetarkan bumi di selubung malam itu. Sawah dan tegalan dengan padi yang sudah menguning luluh lantah. Gubuk dan Dangau menjadi peot. Pohon-pohon besar dicabutnya layaknya seperti rumput dan ilalang. Batu-batu besar diangkat dan dilemparkan ke arah gubuk maupun dangau yang belum sempat diraihnya. Raksasa itu mengamuk dan terus mengamuk.
Sementara itu, di depan gubuk yang sudah hancur Ncuhi Buncu berdiri tegap. Tangan kanannya memegang tombak. Sedangkan di tangan kirinya sebilah keris siap menghunus. Mulutnya komat kamit membaca segala mantera. Tiba-tiba Sang raksasa berhenti mengamuk. Tatapannya tertuju kepada sebuah gubuk yang belum terinjak. Di dalamnya terdengar tangisan seorang bayi. Pelan tapi pasti raksasa itu terus mengamati. Tangannya mulai meraih daun alang-alang yang menjadi atap gubuk itu. Hingga seluruh atapnya tercabut. Dan cahaya purnama menampilkan sosok seorang ibu yang sedang mengggendong bayinya. Dalam keadaan panik dan ketakutan sang ibu mencoba menghindar dan bersembunyi di sekitar gubuk itu.
Ncuhi Buncu mulai beraksi. Ditusuknya kaki raksasa itu dengan tombak. Keris pun demikian. Namun tusukan Ncuhi Buncu tidak dihiraukan oleh raksasa itu. Baginya tusukan itu seperti gigitan semut saja. Hingga pada puncaknya, tusukan Ncuhi Buncu sangat keras dan dalam. Mengakibatkan kaki raksasa itu berlumuran darah. Raksasa itu semakin mengamuk dan gila. Tangannya terus menjalar untuk memungut bayi yang berada dalam pangkuan ibunya. Melihat dan mengamati keadaan itu, Ncuhi Buncu secepat kilat meloncat dan berlari merebut bayi dan ibunya.
Sang Raksasa mencoba untuk mendapatkan bayi itu. Namun nyali Ncuhi Buncu sangat kuat. Ketangkasannya untuk menghindar seperti seekor ular yang meliuk-liuk di celah semak belukar. Kejar mengejar antara raksasa dengan Ncuhi Buncu terus berlangsung. Meski dengan kaki yang sudah berlumuran darah, raksasa itu terus memburu dan menghadang langkah Ncuhi Buncu. Berbagai macam cara pula dilakukan Ncuhi Buncu untuk menghindar dari serangan raksasa itu. Dan langkah terakhir dari segala upayanya adalah merayap dan bersembunyi di dalam parit yang telah ditutupi oleh ranting pohon yang sudah tumbang.
Dan tibalah saatnya bulan purnama tertutup awan. Suasana menjadi gelap. Meski tangisan bayi masih terdengar oleh sang raksasa. Namun sepertinya raksasa itu mulai putus asa dan kelelahan. Dengan napas yang menggemuruh panjang raksasa itu berhenti. Suasana kembali hening dan lengang. Tangisan bayi itu sudah tak terdengar lagi. Sebab Ncuhi buncu terus menutup mulut bayi itu. Dan Raksasa itu perlahan melangkah sempoyongan menuju ke arah barat. Di malam yang tinggal sepenggal itu, Sang raksasa telah hilang dari balik gunung.
Keesokan harinya seluruh warga kembali ke kampung halamannya. Kepiluan tampak dari raut wajah mereka. Sebab gubuk, sawah dan ladang, pepohonan yang rindang dan berbuah lebat telah rata dengan tanah. Rintihan dan tangisan keluar dari setiap bibir. Dan kini mereka harus membangun kembali semuanya seperti dulu. Ketika pertama kali mereka hadir di tempat itu untuk hidup bersama dalam bingkai persahabatan dan kekeluargaan yang telah lama terjalin.
Dalam suasana duka yang mendalam mereka membersihkan dan mengumpulkan kembali puing-puing gubuk yang mungkin saja masih dapat dipergunakan lagi. Dengan penuh ketabahan Ncuhi Buncu tak bosan-bosan menyerukan kepada suluruh warga untuk bersabar dalam menghadapi cobaan hidup dan kegetiran dari hari ke hari. Bahan makanan yang masih tersisa dinikmati bersama. Meski untuk beberapa waktu lamanya, mereka tetap harus menanggung secara bersama-sama. Dengan satu prinsip hidup “ ADA SAMA DIMAKAN, TIDAK ADA SAMA MENAHAN LAPAR.”
Pada suatu hari Ncuhi Buncu mengumpulkan seluruh rakyatnya.
“ Saya akan mencari kesaktian untuk mengalahkan raksasa itu. Sebab pada saat purnama depan ia akan datang lagi. Untuk itu saya berharap agar kalian tidak mengasingkan diri dari kampung ini. Jaga dan pertahankan kebersamaan yang telah terjalin. Menjelang purnama saya tetap akan kembali.”
Berhari-hari Ncuhi Buncu menelusuri lembah, mendaki gunung, dan menyeberangi sungai untuk mencari sesuatu yang diimpikannya. Hingga pada suatu malam, ia melihat seberkas cahaya dalam kegelapan malam itu. Semakin lama cahaya itu semakin dekat. Ncuhi Buncu gemetar dan ketakutan.
“ Kau siapa? Darimana asalmu?” Ncuhi Buncu bertanya sambil bergerak mundur.
“ Kau tidak perlu takut, aku datang untuk memberimu petunjuk untuk mengalahkan raksasa itu.”
“ Berikanlah petunjuk itu.” Ncuhi Buncu berharap.
“ Pada malam purnama nanti, ia akan datang. Dan tetap dengan tujuan yang sama. Dia akan membawa sebuah cambuk. Tetapi kau jangan khawatir, kau akan bisa melawannya.”
“ Senjata apa yang harus aku gunakan?”
“ Senjata yang harus kau gunakan adalah Teta berbentuk panah yang talinya menggunakan serat pohon waru. Ambillah dari tajuk yang masih muda. Senjata kedua yang harus kau gunakan adalah Tende (Tameng) yang terbuat dari kulit kerbau. Tende adalah senjatamu untuk menangkis serangan dari raksasa itu. Dan gunakanlah Teta untuk sesekali menyerang. “
Ncuhi Buncu pulang kembali ke kampungnya. Seluruh rakyat menyambutnya dengan suka cita. Ia mengajak warganya untuk mempersiapkan Teta dan Tende. Akhirnya seluruh rakyat sepakat untuk membantu Ncuhinya membuat Teta dan Tende. Serat pohon Waru dikumpulkan. Dan dipilihlah yang masih muda. Kerbau disembelih untuk mendapatkan kulitnya. Yang pertama dibuat adalah Tende (Tameng) dari kulit kerbau.
Bulan purnama telah meninggi dari langit timur. Suara yang meraung-raung beserta pijakan kaki yang sangat dahsyat mulai terlihat. Dan memang benar, Raksasa itu membawa Cambo (Cambuk).
Sementara itu, Ncuhi Buncu lari menghadang di ujung kampung. Hal itu dimaksudkan untuk menghentikan langkah sang raksasa dan mengalihkan perhatiannya agar tidak memasuki kampung. Raksasa itu mulai menyerang dengan cambuk. Ncuhi Buncu bertahan dan terus bertahan dengan Teta dan Tendenya.
Sang Raksasa terus menyerang dengan cambuknya. Tetapi tidak berani mendekat. Ternyata dibalik kekuatan dan kelebihannya, tersirat sebuah kekurangan. Raksasa itu tidak berani dengan kulit kerbau dan serat pohon Waru. Pelan tapi pasti Ncuhi Buncu mulai mendekat. Mencoba untuk terus bertahan sembari sesekali menyerang. Raksasa itu terus melangkah mundur dan mengelak dari serangan Ncuhi Buncu.
Hingga pada saat yang tepat, lama kelamaan senjata Ncuhi Buncu mengenai kaki raksasa itu. Ncuhi Buncu terus menyerang dan memukul mundur Raksasa itu. Semakin lama raksasa itu semakin lemah. Cambukkannya sudah tidak begitu keras lagi. Napasnya terus menggemuruh kelelahan. Dan sinar bulan mulai tertutup awan. Keadaan itu terus dimanfaatkan oleh Ncuhi Buncu untuk terus memukul dan menyerang. Hingga raksasa itu tumbang dan tak sadarkan diri lagi. Tetapi Ncuhi Buncu belum merasa puas dan berhenti sampai di situ saja. Sambil mengamati gerak gerik sang raksasa, ia terus memukul. Sampai Sang Raksasa benar-benar tewas.
Rakyat yang sejak tadi menyaksikan adegan perkelahian itu keluar dari tempat persembunyiannya menuju ke arena pertarungan. Akhirnya wilayah Buncu dan seluruh rakyatnya selamat dari ancaman Sang Raksasa.
Waktu terus berlalu. Musimpun berganti. Sang Ncuhi pun telah mangkat. Dan untuk mengabadikan kisah perkelahian antara raksasa dengan Ncuhi Buncu, seluruh rakyat kembali memperagakan adegan perkelahaian itu. Satu orang dilakonkan sebagai Ncuhi yang memegang Teta dan Tende. Dan yang seorang lagi memegang Cambuk sebagai raksasa.
Pada perkembangan selanjutnya peragaan itu menjadi permainan rakyat dan atraksi kesenian tradisional yang sangat menarik di dalam masyarakat Sape dan khususnya dikalangan masyarakat desa Buncu. Pada masa kesultanan sering dimainkan pada saat upacara PAJA KAI yaitu upacara panen Sawah sultan.
Diiringi Tambo (Tambur) yang dipukul oleh satu orang, mereka berlaga di tengah sawah yang baru saja dipanen. Atraksi kesenian ini disebut PARISE BUNCU ( Parise = Perisai BUNCU = Desa Buncu kecamatan Sape Bima).
1. Rendang (Minangkabau) Rendang adalah hidangan daging (umumnya sapi) yang dimasak perlahan dalam santan dan bumbu rempah-rempah yang kaya selama berjam-jam (4–8 jam). Proses memasak yang sangat lama ini membuat santan mengering dan bumbu terserap sempurna ke dalam daging. Hasilnya adalah daging yang sangat empuk, padat, dan dilapisi bumbu hitam kecokelatan yang berminyak. Cita rasanya sangat kompleks: gurih, pedas, dan beraroma kuat. Rendang kering memiliki daya simpan yang panjang. Rendang adalah salah satu hidangan khas Indonesia yang paling terkenal dan diakui dunia. Berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat, masakan ini memiliki nilai budaya yang tinggi dan proses memasak yang unik. 1. Asal dan Filosofi Asal: Rendang berasal dari tradisi memasak suku Minangkabau. Secara historis, masakan ini berfungsi sebagai bekal perjalanan jauh karena kemampuannya yang tahan lama berkat proses memasak yang menghilangkan air. Filosofi: Proses memasak rendang yang memakan waktu lama mela...
Ayam goreng adalah salah satu menu favorit keluarga yang tidak pernah membosankan. Namun, jika kamu ingin mencoba variasi yang lebih gurih dan harum, ayam goreng bawang putih renyah adalah pilihan yang tepat. Ciri khasnya terletak pada aroma bawang putih yang kuat serta kriukannya yang renyah saat digigit. Resep ini juga sangat mudah dibuat, cocok untuk menu harian maupun ide jualan. Bahan-Bahan Bahan Ayam Ungkep ½ kg ayam (boleh potong kecil agar lebih cepat matang) 5 siung bawang putih 4 siung bawang merah 1 sdt ketumbar bubuk 1 ruas kunyit (opsional untuk warna) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400 ml Bahan Kriuk Bawang 5–6 siung bawang putih, cincang halus 3 sdm tepung maizena ¼ sdt garam ¼ sdt lada Minyak banyak untuk menggoreng Cara Membuat Ungkep ayam terlebih dahulu Haluskan bawang putih, bawang merah, kunyit, dan ketumbar. Tumis sebentar hingga harum. Masukkan ayam, aduk rata, lalu tuang air. Tambahkan garam dan kaldu...
Ayam ungkep bumbu kuning adalah salah satu menu rumahan yang paling praktis dibuat. Rasanya gurih, aromanya harum, dan bisa diolah lagi menjadi berbagai hidangan seperti ayam goreng, ayam bakar, hingga pelengkap nasi kuning. Keunggulan lainnya, resep ini termasuk cepat dan cocok untuk kamu yang ingin memasak tanpa ribet namun tetap enak. Berikut resep ayam ungkep bumbu kuning cepat yang bisa kamu coba di rumah. Bahan-Bahan ½ kg ayam, potong sesuai selera 4 siung bawang putih 5 siung bawang merah 1 ruas kunyit 1 ruas jahe 1 ruas lengkuas (geprek) 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk 1 batang serai (geprek) 1 sdt ketumbar bubuk (opsional) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400–500 ml Minyak sedikit untuk menumis Cara Membuat Haluskan bumbu Blender atau ulek bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, dan ketumbar bubuk (jika dipakai). Semakin halus bumbunya, semakin meresap ke ayam. Tumis bumbu hingga harum Panaskan sedikit m...
Sumber daya air merupakan sebuah unsur esensial dalam mendukung keberlangsungan kehidupan di bumi. Ketersediaan air dengan kualitas baik dan jumlah yang cukup menjadi faktor utama keseimbangan ekosistem serta kesejahteraan manusia. Namun, pada era modern saat ini, dunia menghadapi krisis air yang semakin mengkhawatirkan (Sari et al., 2024). Berkurangnya ketersediaan air disebabkan oleh berbagai faktor global seperti pemanasan, degradasi lingkungan, dan pertumbuhan penduduk yang pesat. Kondisi tersebut menuntut adanya langkah-langkah strategis dalam pengelolaan air dengan memperhatikan berbagai faktor yang tidak hanya teknis, tetapi juga memperhatikan sosial dan budaya masyarakat. Salah satu langkah yang relevan adalah konservasi air berbasis kearifan lokal. Langkah strategis ini memprioritaskan nilai-nilai budaya masyarakat sebagai dasar dalam menjaga sumber daya air. Salah satu wilayah yang mengimplementasikan konservasi berbasis kearifan lokal yaitu Goa Ngerong di kecamatan Rengel,...
Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak,Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman),...