|
|
|
|
Merajut Memori di Candi Jawi Tanggal 16 Aug 2018 oleh Subaron11 . |
Bermain bersama kawan-kawanku kulakukan hampir setiap Jumat setelah ibadah Jumat. Rutinitas tersebut kugandrungi antara kelas 8-9 SMP. Bersama teman, aku tergabung dalam sebuah grup band. Stenfidav namanya. Namun pembahasan mengenai bandku tak akan pernah usai kulakukan. Ada hal lain yang lebih menarik dan lebih sederhana untuk dibahas. Hal yang rutin kuamati saat perjalananku bersama teman-teman. Hal yang akan selalu menawan para pelancong maupun traveler yang melewatinya. Itulah si gagah, Candi Jawi.
Candi ini terletak di Desa Candi Wates Kecamatan Prigen Kabupaten Pasuruan dan berjarak kurang lebih 31 Km dari Kota Pasuruan. Seperti yang telah kukatakan, candi ini akan selalu terlihat menawan dan memanjakan mata para traveler, karena letaknya di pinggir jalan. Di ruas jalan Pandaan-Prigen tepatnya. Di tengah perjalanan menyusuri jalan tersebut, anda akan merasa ada perubahan suhu menjadi lebih dingin, yang langsung dapat dirasakan oleh tubuh kita. Ini mengindikasikan bahwa kurang lebih anda telah berjarak 1Km dari si gagah . Jika anda memilih untuk meneruskan perjalanan, baik karena suatu kepentingan ataupun karena keisengan belaka, anda akan dihadapkan oleh jalanan yang berkelok kanan kiri dan bergelombang naik turun khas jalan pegunungan. Tak lama setelah beberapa kelokan dan gelombang, terdapat tanjakan yang cukup curam yang akan membuat anda fokus pada kendaraan anda. Setelah kefokusan pada kendaraan anda hampir usai di ujung tanjakan, pucuk candi ini akan menyambut mata anda dan memanjakannya. Perlahan anda akan melihat tubuh gagahnya. Atas lalu bawah, semakin kebawah, lalu anda akan melihat taman dan pohon hijaunya, tak lupa juga, yang terakhir terlihat adalah kolam yang diatasnya mengapung para teratai. Setelahnya, anda akan lupa bahwa jalanan tersebut masih cukup berkelok dan bergelombang.
Jika anda memiliki kepentingan, lanjutkan perjalanan anda, namun jika keisengan menjadi latar belakang perjalanan anda, singgahlah sejenak, dan menepilah. Kurang lebih itu gambaran tentang Candi Jawi yang membuatku memberikan julukan si gagah. Aku memiliki rasa ingin tahu yang cukup tinggi, Pada awalnya rasa ingin tahuku terhadap candi ini hanya sebatas pada keindahannya. Namun setelah masuk SMA, seorang temanku yang tertarik pada pelajaran sejarah, memaparkan kepadaku aspek sejarah dari candi itu. Sebagai seorang warga, tentu aku tertarik dengan sejarah di daerahku. Sebab tak puas dengan penjelasannya, lantas aku mencari tahu lebih lagi tentang Candi ini. Tak kusangka ternyata Candi ini merupakan peninggalan Kerajaan Singhasari. Ya, mendengar kata Singhasari (Singosari) membuatku merasa aneh. Suatu perasaan yang terdiri atas kebanggan, rasa ingin tahu lebih, dan rasa bahwa ingin menyebarluaskan info ini. Mengapa begitu? Karena Singosari adalah tempat dimana aku lahir. Keduanya sama. Nama kerajaan yang melahirkan si gagah ini dengan suatu tempat dimana aku, orang yang berharap bisa menjadi gagah ini lahir. Kebetulan yang membanggakan. Baiklah, mari kembali ke substansi. Dari candi ini, ternyata banyak terlahir cerita yang tidak tepat, meleset dari unsur sejarah dan tidak dapat dipercaya. Namun penduduk lokal tetap menyangkutkan cerita-cerita tersebut dengan si gagah ini. Sungguh malang nian engkau Jawi, kedinamisan pikiran masyarakat menjadi fitnah yang unik dan menarik atas dirimu. Baiklah, Mari masuk pada cerita pertama. Masyarakat Pasuruan selalu mengadakan karnaval tahunan yang didalamnya berbaris simbol-simbol kebudayaan lokal baik berupa tokoh atau kesenian daerah, yang diangkut dengan mobil bak terbuka dan diarak oleh beberapa pleton warga sekitar. Ada juga seseorang di samping pengemudi mobil bak terbuka, yang menceritakan kisah tokoh atau deskripsi kesenian daerah yang bersangkutan melalui pelantang suara, Ketika kelas 8, aku melihat dua orang budayawan yang salah satunya juga merupakan staf tata usaha sekolahku, beliau memerankan tokoh Ki Ageng Pandak dan temannya memerankan Kebo Suwayuwo. Karena menarik, aku mengikuti rombongan tersebut melewati trotoar, sembari mendengarkan cerita oleh bapak di samping pengemudi. Aku cukup terkagum oleh cerita tersebut, pasalnya cerita tersebut menyangkut asal usul Candi Jawi. Kurang lebih beginilah ceritanya.. Pada zaman dahulu terdapat sebuah putri yang tak kuketahui asal-usulnya, bernama Putri Jawi. Putri tersebut sangat cantik. Karena kecantikannya, ia tak sengaja mencuri hati seorang yang sakti, bernama Kebo Suwayuwo. Kebo Suwayuwo yang telah dibutakan pun merasa menemukan Miss Right dalam hidupnya. Ia menjadi ambisi dengan Putri Jawi dan hendak melamarnya. Entah karena alasan apa, yang jelas kuyakini bukan hanya karena Putri Jawi tak cinta pada Kebo Suwayuwo, Putri Jawi menolak si Kebo Suwayuwo. Mungkin saja karena Kebo Suwayuwo buruk rupa atau buruk laku. Entahlah, cerita ini hanya rekaan masyarakat. Lalu si Kebo Suwayuwo murka dan hendak memburu si Putri. HIngga perjalanan si Putri sampai di daerah Pasuruan Barat. Ia bertemu dengan seoseorang bernama Ki Ageng Pandak. Seperti kisah-kisah klasik masa lampau, Ki Ageng Pandak membela Putri Jawi dan mengalahkan Kebo Suwayuwo. Kebo Suwayuwo terpukul mundur ke Tenggara dan tempat singgahnya menjadi nama desa, yaitu Desa Suwayuwo di Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Pasuruan. Kebesaran Ki Ageng Pandak pun tersebar. Daerah kekuasaannya menjadi suatu yang lebih besar dari desa yakni kecamatan, yaitu kecamatan Pandaan (dibaca panda' an). Sedangkan putri Jawi diabadikan namanya menjadi nama candi yaitu si gagah, Candi Jawi. Aku percaya bahwa cerita ini fiksi. Baiklah, kulanjutkan pada pengalamanku setelah karnaval tersebut. Aku yang terlalu bangga memiliki pengetahuan tentang Jawi, menceritakan kepada teman-temanku. Bukan ide yang baik untuk bercerita kepada teman-temanku, karena mereka merupakan pribumi tanah Prigen. Mereka menyangkal bahwa putri Jawi memiliki kecantikan. Mereka memiliki suatu kisah lain, yang sampai saat ini masih mereka percayai meski hanya setengah hati, sebab jika diingat lagi, Islam telah menjadi agama yang mereka peluk. Menurut cerita mereka, putri Jawi merupakan putri yang buruk rupa, sehingga tak ada satupun pria yang mau meminangnya. Untuk mengatasi hal tersebut, putri Jawi mengutuk semua warganya untuk tidak memiliki keturunan yang cantik, atau jika saja memiliki keturunan yang cantik, keturunan tersebut akan disertai suatu kejanggalan, seperti kegilaan dan lain lagi. Temanku juga menambahkan informasi bahwa tetangga-tetangganya di Desa Candi Wates hingga kini tak ada yang cantik akibat kutukan tersebut. Beberapa gadis cantik mati muda dan beberapa lainnya menjadi gila. Sungguh malang kawan-kawanku di desa ini, matanya tak termanjakan oleh ciptaan Tuhan yang terindah ini. Namun tak lama setelah diskusi itu, temanku yang lain, gitaris Stenfidav, Stefano, memiliki kekasih seorang warga Candi Wates. Jujur aku bingung, karena dia cukup cantik bagiku. Dari sini, dapat kupahami, beberapa kemungkinan. Pertama, mungkin kutukan itu salah dan cerita itu fiksi. Kedua mungkin seleraku dan temanku cukup rendahan. Ketiga, mungkin kekasih temanku telah gila. Pada akhirnya kutemui suatu kebenaran asal usul Candi Jawi. Tak banyak yang tahu meski kebenaran ini tidak begitu sulit dicari. Candi ini ternyata makam raja terakhir Singhasari atau bisa dibilang, salah satu makam raja terakhir Singhasari. Raja Kertanegara memiliki dua makam yaitu di Candi Jawi dan Candi Singhasari. Mungkin saat ini anda membayangkan Raja Kertanegara menjadi seorang korban mutilasi yang bagian tubuhnya perlu dikubur di dua tempat berbeda seperti tokoh muslim Sayyidina Husein. Tidak, hanya abu Sang Raja yang ditempatkan di kedua candi ini Baiklah, karena artikel ini sebenarnya adalah tugas OSKM, aku harus segera melanjutkannya dan selesai. aku tidak mengatakan "..aku harus segera menyelesaikannya." Tapi "...aku harus segera.melanjutkannya dan selesai." Karena bagiku, melanjutkannya akan sarat dengan seni sementara "selesai" hanya akan menjadi pagar yang membatasiku dengan seni tersebut sehingga aku hanya dapat melihat seni ini dari luar pagar sembari menelan suatu kebanggaan yang membutakan, membuatku puas, dan diam, tak berkarya lagi. Maaf, mungkin paragraf ini susah dimengerti, inti dari paragraf ini adalah proses merupakan hal yang lebih vital daripada hasil. Namun aku harus memperpanjang kalimatku dan merumitkannya untuk sekadar melepaskan penat terhadap tugas menulis ini. Baiklah, baiklah, baiklah, agar tidak terjadi kontradiksi bahwa tugasku harus segera dilanjutkan dan selesai sementara aku sibuk dengan paragraf ini, mari kita beralih. Selanjutnya, akan kubahas latar belakang didirikannya Candi Jawi. Sebelum itu, akan kuceritakan, bahwa aku pernah benar-benar jatuh cinta pada seoarang gadis. Mungkin orang akan menyebut ini cinta monyet, namun ketika menjalaninya, tak kurasa sesepele itu. Baiklah, singkatnya aku menjalin hubungan dengannya hingga beberapa bulan. Latar waktunya antara kelas 9 SMP hingga kelas 10 SMA. Saat kukatakan "..hingga 10 SMA." Tentu kalian tahu bahwa hubungan kami berakhir. Hal ini membuatku lumayan terguncang dan tak ingin hidup lagi. Eehm, maksudku tak ingin menjalani hidup lagi, seperti hanya ingin diam dikamar dan hari berganti, begitu seterusnya hingga ia kembali. Namun terpintas di benakku untuk mancari suatu cinta yang lain. Tidak, aku tidak semurah itu. Aku tidak mencari pengganti lekas-lekas setelah hatiku dibawa pergi. Kali ini aku mencoba mencintai hal lain. Lewat temanku, aku tahu suatu hal dimana aku bisa memberikan cintaku dan mendapat cinta pula. Disini aku dapat ilmu-ilmu yang mendewasakan dan disini juga aku menemukan suatu karya lama yang membuat aku mengingat kembali rasa penasaranku tentang Candi Jawi. Disinilah, di Perpusda Sidoarjo aku menemukan kitab NagaraKertagama karya Mpu Prapanca. Kitab ini ditulis pada masa Majapahit, anak Kerajaan Singosari. Di dalamnya ada beberapa hal mengenai Candi Jawi yang akan kucantumkan dalam artikel ini. Oh mantan, secara tidak langsung jasamu tetap mengalir bahkan hingga kini, hingga H-2 OSKM, hingga aku mengingat kembali kisah kita, hingga aku ingin beranjak dan mencari tahu kabarmu lagi. Berdasarkan Kitab NagaraKertagama pupuh 56 disebutkan bahwa Candi Jawi didirikan atas perintah raja terakhir Kerajaan Singasari, Kertanegara, untuk tempat beribadah bagi umat beragama Siwa-Buddha. Ya, selain menjadi makam sang raja, Candi ini juga merupakan tempat peribadatannya. Sungguh multi fungsi. Raja Kertanegara merupakan penganut ajaran sinkretisme Siwa-Buddha. Mengetahui hal ini, aku menjadi lebih dan lebih tertarik lagi dengan sejarah Candi Jawi karena menyelami ajaran-ajaran yang telah lalu sungguh mengasikkan meski seharusnya kita tetap tahu batasan-batasan rasa penasaran kita. Candi ini dibangun jauh dari pusat kerajaan karena sang raja menganggap penduduk di daerah ini sangat setia sehingga daerah ini dapat dijadikan tempat pelarian yang cocok ketika terjadi pemberontakan, seperti pemberontakan Cayaraja yang terdapat pula di NagaraKertagama. Aku sangat setuju dengan ini. Terutama bagian tentang kesetiaan rakyat daerah ini. Masih ingatkah anda tentang temanku yang berpacaran dengan gadis dari daerah Jawi? Yap Stefano. Sungguh kelanjutan kisahnya sangat relevan dengan kesetiaan penduduk daerah ini. Stefano, yang terkenal sebagai seorang gitaris yang cukup handal dan hits, merasa tak dapat mengendalikan nafsu menduanya. Ia pun mendua dan menyelingkuhi si gadis Jawi. Mungkin karena angka genap kurang afdol, ia memilih tiga sebagai komposisi yang pas dalam menjalin hubungan. Baiklah, kini kita ketahui bahwa Stefano telah lebih dari mendua. Mungkin anda akan bertanya, bagaimana aku bisa tahu semua ini. Ya, aku sangat dan sangat dekat dengan Stefano. Sedangkan si gadis Jawi ini juga seorang manusia. Bahkan lebih dari itu, ia adalah seorang wanita, seorang makhluk perasa yang sangat peka, makhluk yang bahkan dapat bahagia hanya karena kupu-kupu melintas ringan di depannya. Ia dapat merasakan bahwa ada hati yang hilang, ada kasih yang pudar dan ada jejak langkah kaki yang menjauh pergi. Dan karena kepekaannya yang tajam pula ia dapat memilih orang yang tepat untuk ditanyai, seorang pengamat yang menyimpan sejuta aib teman yang sangat ingin ia curahkan entah kepada siapa, yaitu aku. Merasa mendapat wadah pembuangan aib teman yang tepat, aku segera menceritakan apa yang kuketahui kepada si gadis Jawi ini. Mungkin anda akan berpikir bahwa aku lancang. Aha tidak, karena aku tak terikat janji dengan Stefano untuk tidak memberitahukan kepada siapapun termasuk kekasihnya. Juga setelah itu aku melaporkan apa yang kulakukan kepada Stefano dengan jelas sehingga tidak mengancam hubungan pertemanan kami. Reaksi yang unik terlihat dari si gadis ini. Ia hanya mengatakan ".Aku sudah merasakan" dengan raut yang tampak ikhlas. Mungkin orang seperti aku, akan memprediksi tak lama lagi hubungan mereka kandas. Namun tak dapat kupercaya, Stefano tetap melanjutkan hubungan dengan si gadis ini, dan memutuskan dua gadis lainnya. Inilah yang kusebut kesetiaan. Jangan kalian tanya bagaimana hubungan mereka sekarang, karena cukup jelas tergambarkan karakter dari Stefano dalam paragraf ini. Baiklah, baiklah, sekali lagi maafkan aku yang kurang mengendalikan substansi, tapi aku merasa keren saat mengetahui ada dua hal yang berkaitan secara kebetulan, dan bagiku itu cukup penting untuk diceritakan. Pada paragraf ini aku harus mengutarakan bahwa waktuku untuk menulis artikel ini hampir habis atau bahkan sudah habis. Aku kurang mengerti deadline pengerjaan tugas ini. Jadi aku perlu segera mengakhirinya. OSKM hari pertama telah kulalui dan aku serta teman-teman mendapat tugas untuk menulis hal lain, hal yang membuatku harus mengakhiri ini sesegera mungkin. Sebelum kuakhiri, aku akan menulis beberapa hal yang kuanggap perlu. Baiklah, sekarang akan kutarik suatu benang merah antar paragraf dalam artikel ini agar anda tahu esensi aku menulis banyak hal yang keluar dari topik Candi Jawi. Tugas OSKM disini adalah untuk menulis artikel budaya dan dianjurkan sumber berasal langsung dari wawancara masyarakat. Kurasa aku sudah lebih dari itu karena beberapa sumber berita, kudapat langsung dari pengalaman pribadi. Memori tentang temanku, perjalananku di sekitar wilayah Prigen, perpusda Sidoarjo, semua itu bukan sekadar cerita pemanis. Aku merasa bahwa Tuhan menggariskan semua yang telah kulalui menjadi satu-kesatuan pengalaman yang sekarang ini kutulis menjadi hitam diatas putih. Segala ceritakulah budaya yang ingin aku angkat, dimana si gagah Candi Jawilah yang menjadi alat pemersatunya. Aku berharap, bahwa setiap budaya di setiap daerah di Indonesia juga dapat mempersatukan. Mempersatukan budaya-budaya lain, mempersatukan cerita para pelaku pelestari budaya atau bahkan mempersatukan negeri kita ini. Aku tidak tahu apakah tulisanku ini akan dibaca oleh seseorang atau tidak. Aku hanya bisa berharap dari sini, dari rusunawa asrama sangkuriang kamar D31 dimana keramaian penghuni sekitar kamar terasa tiada henti. Aku menulis di tiga waktu berbeda sehingga mungkin siluet yang kalian dapat dari sosokku di tiap bagian juga berbeda. Aku berharap anda akan menyukai artikel ini. Karena ini merupakan tulisan pertamaku yang dapat kunikmati, aku memohon untuk meninggalkan feedback jika anda membacanya. Dengan begitu, akan ada suatu jari-jemari yang akan lebih terpacu untuk terus menari menjejaki bekas-bekas hitam diatas kekosongan kertas putih. Salurkan pendapat anda melalui personal chat ke akun line Subaron Panggabean dengan id vickybepe03 atau DM ke Instagram dengan username Subaron11. Terima kasih.
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dala... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |