Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Cerita Rakyat Aceh
Mentiko Betuah
- 20 Agustus 2009
Konon, pada zaman dahulu di negeri Semeulue, tersebutlah seorang raja yang kaya-raya. Raja itu sangat disenangi oleh rakyatnya, karena kedermawanannya. Namun, ia tidak memiliki anak setelah sepuluh tahun menikah dengan permaisurinya. Oleh karena sudah tidak tahan lagi ingin punya keturunan, Raja itu pun pergi bersama permaisurinya ke hulu sungai yang airnya sangat dingin untuk berlimau dan bernazar, agar dikaruniai seorang anak yang kelak akan mewarisi tahta kerajaan.

Tempat yang akan dituju itu berada sangat jauh dari keramaian. Untuk menuju ke sana, mereka harus menyusuri hutan belantara, menyeberangi sungai-sungai, serta mendaki dan menuruni gunung. Mereka pun berangkat dengan membawa bekal secukupnya. Setiba kedua suami-istri di sana, mereka mulai melaksanakan maksud dari kedatangan mereka. Setelah sehari-semalam berlimau dan bernazar, mereka pun kembali ke istana.

Setelah menunggu berhari-hari dan berminggu-minggu, akhirnya doa mereka terkabul. Permaisuri diketahui telah mengandung satu bulan. Delapan bulan kemudian, Permaisuri pun melahirkan seorang anak laki-laki, dan diberinya nama Rohib. Raja sangat gembira menyambut kelahiran putranya itu, yang selama ini diidam-idamkannya. Raja kemudian memukul beduk untuk memberitahukan kepada seluruh rakyatnya agar berkumpul di pendopo istana. Selanjutnya, Raja menyampaikan bahwa ia hendak mengadakan selamatan sebagai tanda syukur atas rahmat Tuhan yang telah menganugerahinya anak. Keesokan harinya, selamatan pun dilangsungkan sangat meriah dengan berbagai macam pertunjukan.

Raja dan permaisuri mendidik dan membesarkan putra mereka dengan penuh kasih sayang. Mereka sangat memanjakannya, sehingga anak itu tumbuh menjadi anak yang sangat manja. Waktu terus berlalu, Rohib pun bertambah besar. Rohib kemudian dikirim oleh orang tuanya ke kota untuk belajar di sebuah perguruan. Sebelum berangkat, Rohib mendapat pesan dari ayahnya agar belajar dengan tekun. Setelah itu, ia pun berpamitan kepada orang tuanya. Sudah beberapa tahun Rohib belajar, Rohib belum juga mampu menyelesaikana pelajarannya karena sudah terbiasa manja. Ayahnya menjadi sangat marah kepadanya, bahkan ingin menghukumnya, ketika ia kembali ke istana.

"Hai, Rohib! Anak macam apa kamu! Dasar anak keras kepala! Sudah tidak mau mendengar nasihat orang tua. Pengawal! Gantung anak ini sampai mati!" perintah sang Raja. Mendengar perintah suaminya kepada pengawal, Permaisuri pun segera bersujud di hadapan suaminya.

"Ampun, Kakanda! Rohib adalah anak kita satu-satunya. Adinda mohon, Rohib jangan dihukum mati. Berilah ia hukuman lainnya!" pinta sang Permaisuri kepada suaminya.

"Tapi, Kanda sudah muak melihat muka anak ini!" jawab sang Raja dengan geramnya.

"Bagaimana kalau kita usir saja dia dari istana ini? Tapi dengan syarat, Kakanda bersedia memberinya uang sebagai modal untuk berdagang," usul sang Permaisuri.

"Baiklah, Dinda! Usulan Dinda aku terima. Tapi dengan syarat, uang yang aku berikan kepada Rohib tidak boleh ia habiskan kecuali untuk berdagang," jawab sang Raja.

"Bagaimana pendapatmu, Anakku?" Permaisuri balik bertanya kepada Rohib.

"Baiklah, Bunda! Rohib bersediah memenuhi syarat itu. Terima kasih, Bunda!" jawab Rohib.

"Jika kamu melanggar lagi, maka tidak ada ampun bagimu, Rohib!" tambah Raja menegaskan kepada putranya itu.

Setelah itu, Rohib berpamitan kepada orang tuanya untuk pergi berdagang. Ia pergi dari satu kampung ke kampung dengan menyusuri hutan belantara. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan anak-anak kampung yang sedang menembak burung dengan ketapel.

"Wahai, Saudara-saudaraku! Janganlah kalian menganiaya burung itu, karena burung itu tidak berdosa." tegur si Rohib kepada anak-anak itu.

"Hei, kamu siapa? Berani-beraninya kamu melarang kami," bantah salah seorang dari anak-anak kampung itu.

"Jika kalian berhenti menembaki burung itu, aku akan memberi kalian uang," tawar Rohib.

Anak-anak kampung itu menerima tawaran Rohib.

Setelah memberikan uang kepada mereka, Rohib pun melanjutkan perjalanannya. Belum jauh berjalan, ia menemukan lagi orang-orang kampung yang sedang memukuli seekor ular. Rohib tidak tega melihat perbuatan mereka tersebut. Ia kemudian memberikan uang kepada orang-orang tersebut agar berhenti menganiaya ular itu. Setelah itu, ia melanjutkan lagi perjalanannya menyusuri hutan lebat menuju ke sebuah perkampungan. Demikian seterusnya, selama dalam perjalanannya, ia selalu memberi uang kepada orang-orang yang menganiaya binatang, sehingga tanpa disadarinya uang yang seharusnya dijadikan modal berdagang sudah habis.

Setelah sadar, ia pun mulai gelisah dan berpikir bagaimana jika ia pulang ke istana. Tentu ayahnya akan sangat marah dan akan menghukumnya. Apalagi ia telah dua kali melakukan kesalahan besar, pasti ayahnya tidak akan mengampuninya lagi. Oleh karena kelelahan seharian berjalan, ia pun memutuskan untuk beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang. Ia kemudian duduk di atas sebuah batu besar yang ada di bawah pohon itu sambil menangis tersedu-sedu. Pada saat itu, tiba-tiba seekor ular besar mendekatinya. Rohib sangat ketakutan, mengira dirinya akan dimangsa ular itu.

"Jangan takut, Anak muda! Saya tidak akan memakanmu," kata ular itu. Melihat ular itu dapat berbicara, rasa takut Rohib pun mulai hilang.

"Hai, Ular besar! Kamu siapa? Kenapa kamu bisa berbicara?" tanya si Rohib mulai akrab.

"Aku adalah Raja Ular di hutan ini," jawab ular itu.

"Kamu sendiri siapa? Kenapa kamu bersedih?" ular itu balik bertanya kepada si Rohib.

"Aku adalah si Rohib," jawab Rohib, lalu menceritakan semua masalahnya dan semua kejadian yang telah dialami selama dalam perjalanannya.

"Kamu adalah anak yang baik, Hib," kata Ular itu dengan akrabnya.

"Karena kamu telah melindungi hewan-hewan di hutan ini dari orang-orang kampung yang menganiayanya, aku akan memberimu hadiah sebagai tanda terima kasihku," tambah ular itu lalu kemudian mengeluarkan sesuatu dari mulutnya.

"Benda apa itu?" tanya si Rohib penasaran.

"Benda itu adalah benda yang sangat ajaib. Apapun yang kamu minta, pasti akan dikabulkan. Namanya Mentiko Betuah," jelas Ular itu, lalu pergi meninggalkan si Rohib.

Sementara itu, Rohib masih asyik mengamati Mentiko Betuah itu. "Waw, hebat sekali benda ini. Berarti benda ini bisa menolongku dari kemurkaan ayah," gumam Rohib dengan perasaan gembira. Berbekal Mentiko Betuah itu, Rohib memberanikan diri kembali ke istana untuk menghadap kepada ayahnya. Namun, sebelum sampai di istana, terlebih dahulu ia memohon kepada Mentiko Betuah agar memberinya uang yang banyak untuk menggantikan modalnya yang telah dibagi-bagikan kepada orang-orang kampung, dan keuntungan dari hasil dagangannya. Ayahnya pun sangat senang menyambut putranya yang telah membawa uang yang banyak dari hasil dagangannya. Akhirnya, Rohib diterima kembali oleh ayahnya dan terbebas dari ancaman hukuman mati. Semua itu berkat pertolongan Mentiko Betuah, pemberian ular itu.

Setelah itu, Rohib berpikir bagaimana cara untuk menyimpan Mentiko Betuah itu agar tidak hilang. Suatu hari, ia menemukan sebuah cara, yaitu ia hendak menempanya menjadi sebuah cincin. Lalu dibawanya Mentiko Betuah itu kepada seorang tukang emas. Namun tanpa disangkanya, tukang emas itu menipunya dengan membawa lari benda itu. Oleh karena Rohib sudah bersahabat dengan hewan-hewan, ia pun meminta bantuan kepada mereka. Tikus, kucing dan anjing pun bersedia menolongnya. Anjing dengan indera penciumannya, berhasil menemukan jejak si tukang emas, yang telah melarikan diri ke seberang sungai. Kini, giliran si Kucing dan si Tikus untuk mencari cara bagaimana cara mengambil cincin itu yang disimpan di dalam mulut tukang emas. Pada tengah malam, si Tikus memasukkan ekornya ke dalam lubang hidung si Tukang Emas yang sedang tertidur. Tak berapa lama, Tukang Emas itu bersin, sehingga Mentiko Betuah terlempar keluar dari mulutnya. Pada saat itulah, si Tikus segera mengambil benda itu.

Namun, ketika Mentiko Betuah akan dikembalikan kepada Rohib, si Tikus menipu kedua temannya dengan mengatakan bahwa Mentiko Betuah terjatuh ke dalam sungai. Padahal sebenarnya benda itu ada di dalam mulutnya. Pada saat kedua temannya mencari benda itu ke dasar sungai, ia segera menghadap kepada si Rohib. Dengan demikian, si Tikuslah yang dianggap sebagai pahlawan dalam hal ini. Sementara, si Kucing dan si Anjing merasa sangat bersalah, karena tidak berhasil membawa Mentiko Betuah. Ketika diketahui bahwa si Rohib telah menemukan Mentiko Betuahnya, yang dibawa oleh si Tikus, maka tahulah si Kucing dan si Anjing bahwa si Tikus telah melakukan kelicikan.

Menurut masyarakat setempat, bahwa berawal dari cerita inilah mengapa tikus sangat dibenci oleh anjing dan kucing hingga saat ini.

Sumber: http://dongengshanty.blogspot.com

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Gedung Pusat Universitas Gadjah Mada
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Lokasi Pusat Universitas Gadjah Mada memiliki bangunan cagar budaya Gedung Pusat Universitas Gadjah Mada yang merupakan cikal bakal sarana pendidikan pertama dalam bentuk kompleks bangunan yang dirancang secara khusus dengan pola tata ruang simetris. Lokasi ini merupakan tempat kegiatan pembeIajaran/pendidikan tinggi pertama kali di Indonesia yang dibangun setelah kemerdekaan pada tahun 1951, lokasi ini juga merupakan bukti sejarah perhatian pemerintah Republik lndonesia pada peletakan batu pertama universitas oleh Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno. Lokasi pusat Universitas Gadjah Mada memiliki struktur dan pola ruang yang memiliki kemiripan dengan konsep ruang arsitektur Jawa Kraton Kasultanan Yogyakarta. Salah satu cirinya adalah orientasi arah dan Ietak bangunan pada garis poros imajiner dengan dua arah ke Utara dan Selatan meskipun mengalami perubahan dari rencana semula. Awalnya. konsep pintu masuk utama dari arah utara melalui gerbang di tengah Arboretum, menuju Balairung...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Museum Kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia Mandala Bhakti Wanitatama
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Monumen Kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia Mandala Bhakti Wanitatama merupakan kompleks dengan beberapa bangunan, yaitu Balai Srikandi, Balai Utari, Wisma Sembodro Lama, Wisma Sembodro Baru, Wisma Arimbi, Balai Shinta, Balai Kunthi, TK Karya Rini, dan SMK Karya Rini. Semua bangunan dikelola oleh Yayasan Hari Ibu Kowani. Dari beberapa bangunan tersebut ada dua bangunan yang mempunyai nilai penting bagi Yayasan Hari Ibu Kowani, yaitu Balai Srikandi dan Balai Utari.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Monumen Cepet
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pada tanggal 2 Januari 1949 pasukan Belanda yang bermarkas di Watuadeg diserang pasukan KODM Pakem pimpinan Letda Asropah dan pasukan TP pimpinan Kapten Martono. Pasukan Belanda lari ke arah selatan, sampai di dusun Cepet jam 06.30 dihadang pasukan Subadri dari Gatep. Pertempuran terjadi sampai jam 10.00 wib. Korban dari pihak Belanda 4 orang. Kemudian pada tanggal 11 Januari 1949 terjadi pertempuran kembali antara Tentara Republik dengan pasukan Belanda. Dalam pertempuran ini gugur 2 orang dari Tentara Republik, yaitu : Letda Kasijan. Agen Polisi Soekardjo. Alamat : Cepet, Purwobinangun, Pakem

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Situs Arca Ganesa Dawangsari
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Waktu pendirian arca Ganesa Sumberwatu belum diketahui secara pasti. Di sekitar lokasi ini terdapat Stupa Sumberwatu, Stupa Dawangsari, dan Candi Barong, yang diperkirakan didirikan sekitar abad IX- X. Pada periode ini agama Hindu Budha berkembang di wilayah tersebut, sehingga kemungkinan arca Ganesa Sumberwatu didirikan pada periode tersebut. Arca Ganesa biasanya ditempatkan di dekat sungai atau suatu tebing, sebagaimana Arca Ganesa Sumberwatu ini.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Balai Padukuhan Klajuran
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Balai Padukuhan Klajuran merupakan bangunan dengan arsitektur tradisional Jawa yang ditandai oleh bentuk atap limasan dan kampung. Bangunan ini terdiri dari pendhapa, nDalem, dan gandhok, serta menghadap ke selatan. Pendhapa memiliki denah persegi panjang dan merupakan bangunan terbuka dengan atap limasan srotong yang terbuat dari genteng vlam dan rangkaian bambu yang diikat dengan ijuk. Atap tersebut ditopang oleh 16 tiang kayu, termasuk 8 tiang utama dan 8 tiang emper, yang berdiri di atas umpak batu. Di belakang pendhapa terdapat pringgitan yang menyambung dengan nDalem, yang memiliki denah persegi panjang dan atap limasan srotong dengan atap emper di sebelah timur. Atap nDalem terbuat dari genteng vlam, dindingnya dari bata, dan disangga oleh empat tiang di bagian tengah. nDalem memiliki pintu masuk di bagian tengah serta pintu yang menghubungkan dengan gandhok, dan dilengkapi dengan senthong yang terdiri dari senthong tengen, senthong tengah, dan senthong kiwo. Di sebelah timur n...

avatar
Bernadetta Alice Caroline