|
|
|
|
Man Pasir Tanggal 28 Nov 2018 oleh Deni Andrian. |
Restorasi Budaya Man Pasir masyarakat Gayo Lues telah menjadi sebuah kebudayaan bagi Pemuda dan Pemudi Gayo Lues, karena masyarakat di sini mempunyai tradisi dalam memeriahkan momen Pra-nikah yang dilakukan semeriah mungkin.
Bahkan, kemeriahan dimulia dari momen-momen untuk mengenang masa-masa terindah bagi setiap seorang, yang berprinsip hanya di lakukan sekali dalam seumur hidup.
Salah seorang Pemuda Kuta Ujung, Muhamad mengatakan, masyrakat Gayo Lues mempunyai sebuah tradisi dalam memeriahkan momen Pra-nikah tersebut yang dikenal dengan istilah Man Pasir, Selasa (16/1/2018).
Ini adalah sebuah acara khusus perkumpulan muda – mudi di kediaman salah satu calon pengantin, sehari sebelum pernikahan yang dilaksanakan pada malam hari.
Dalam acara tersebut, muda – mudi berkumpul dengan teman – teman baik dari kampung sendiri, maupun dari kampung lain dengan tujuan selain untuk mempererat tali silaturahmi juga bertanda acara perpisahan masa lajang atau masa gadis dengan para teman – teman se kerabat calon pengantin.
Secara bahasa Man yang berarti makan, dan Pasir yang berarti pasir atau kerikil, bila digabung kedua kata ini berarti makan pasir.
Makna filosofis dari man pasir tersebut mencerminkan ke akraban, kekompakan dan persaudaraan yang telah lama terjalin antara calon pengantin dengan teman – teman sejawat, baik dalam kampung sendiri maupun dari kampung lain.
Selain itu man pasir merupakan simbol keakraban antara pemuda dan pemudi setempat, dengan calon pengantin yang tidak lama lagi akan mengakhiri masa lajang maupun masa gadisnya.
Dengan sendirinya, pergaulan dan ke akraban seperti biasanya dengan teman-teman di kampung mungkin tidak akan di dapat lagi, setelah mempunyai tanggung jawab terhadap keluarga.
Namun, pada hakikatnya terasa bagai pasir yang di hidangkan karena terdapat sedih bercampur haru, jelasnya.
Dulu, acara ini dilengkapi dengan tarian tradisional, baik saman, bines bahkan pepongoten, dari teman-teman sejawa calon pengantin, acara ini mulai selesai melaksanakan Sholat Isa hingga larut malam berkisar antara pukul 00 wib hingga pukul 01 malam.
Seberu (pemudi) yang hadir pada acara tersebut, menjadi tanggung jawab sebujang (pemuda) kampung setempat, baik tanggung jawab secara moral maupun non – moral.
Bertanggung jawab secara moral berarti, baik buruknya tingkah laku seberu tersebut, menjadi pencitraan pada sebujang maupun pada kampungnya.
Sebagai contoh, bila seberu yang hadir pada malam man pasir tersebut berkelakuan kurang sopan, atau bahasa Gayo nya jejentik en (mentel) pada sebujang yang datang dari kampung lain, menjadi aib sendiri pada sebujang (pemuda) kampungnya.
Demikian dengan tanggung jawab secara non-moral misalnya, bila seberu yang hadir di acara tersebut mengalami gangguan yang dapat membahayakan dirinya, sudah menjadi tanggung jawab sebujang untuk mengantar seberunya sampai kerumah masing-masing, untuk memastikan terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Bersyukur sekali karena budaya tersebut hingga kini masih tetap terjaga kelestarianya di masyarakat Gayo Lues.(TR)
sumber: http://leuserantara.com/budaya-man-pasir-masyarakat-gayo-lues/
#SBJ
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dala... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |