Mebanten Saiban atau Ngejot merupakan suatu tradisi Hindu di Bali yang biasa dilakukan setiap hari setelah selesai memasak di pagi hari. Mesaiban / Mejotan juga disebut dengan Yadnya Sesa, merupakan yadnya yang paling sederhana sebagai realisasi Panca Yadnya yang dilaksana umat Hindu dalam kehidupan sehari-hari.
Mesaiban / Mejotan biasanya dilakukan setelah selesai memasak atau sebelum menikmati makanan. Dan sebaiknya memang mesaiban dahulu, baru makan. Seperti yang dikutip Bhagawadgita(percakapan ke-3, sloka 13) yaitu :
YAJNA SISHTASINAH SANTO, MUCHYANTE SARVA KILBISHAIH, BHUNJATE TE TV AGHAM PAPA, YE PACHANTY ATMA KARANAT
Artinya : Yang baik makan setelah upacara bakti, akan terlepas dari segala dosa, tetapi menyediakan makanan lezat hanya bagi diri sendiri, mereka ini sesungguhnya makan dosa.
Yadnya sesa atau mebanten saiban merupakan penerapan dari ajaran kesusilaan Hindu, yang menuntut umat untuk selalu bersikap anersangsya yaitu tidak mementingkan diri sendiri dan ambeg para mertha yaitu mendahulukan kepentingan di luar diri. Pelaksanaan yadnya sesa juga bermakna bahwa manusia setelah selesai memasak wajib memberikan persembahan berupa makanan, karena makanan merupakan sumber kehidupan di dunia ini.
Tujuannya mesaiban yaitu sebagai wujud syukur atas apa yang di berikan Hyang Widhi kepada kita. Sebagaimana diketahui bahwa yadnya sebagai sarana untuk menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi Wasa untuk memperoleh kesucian jiwa. Tidak saja kita menghubungkan diri dengan Tuhan, juga dengan manifestasi-Nya dan makhluk ciptaan-Nya termasuk alam beserta dengan isinya.
Banten saiban adalah persembahan yang paling sederhana sehingga sarana-sarananya pun sederhana. Biasanya banten saiban dihaturkan menggunakan daun pisang yang diisi nasi , garam dan lauk pauk yang disajikan sesuai dengan apa yang dimasak hari itu, tidak ada keharusan untuk menghaturkan lauk tertentu.
Yadnya Sesa (Mesaiban) yang sempurna adalah dihaturkan lalu dipercikkan air bersih dan disertai dupa menyala sebagai saksi dari persembahan itu. Namun yang sederhana bisa dilakukan tanpa memercikkan air dan menyalakan dupa, karena wujud yadnya sesa itu sendiri dibuat sangat sederhana.
Ada 5 (lima) tempat penting yang dihaturkan Yadnya Sesa (Mesaiban), sebagai simbol dari Panca Maha Bhuta:
Tempat-tempat melakukan saiban jika menurut Manawa Dharmasastra adalah: Sanggah Pamerajan, dapur, jeding tempat air minum di dapur, batu asahan, lesung, dan sapu.
Kelima tempat terakhir ini disebut sebagai tempat di mana keluarga melakukan Himsa Karma setiap hari, karena secara tidak sengaja telah melakukan pembunuhan binatang dan tetumbuhan di tempat-tempat itu.
Didalam Kitab Manawa Dharma Sastra Adhyaya III 69 dan 75 dinyatakan: Dosa-dosa yang kita lakukan saat mempersiapkan hidangan sehari-hari itu bisa dihapuskan dengan melakukan nyadnya sesa.
Yadnya Sesa yang ditujukan kepada Hyang Widhi melalui Istadewata(ditempat air,dapur,beras/tempat nasi dan pelinggih/pelangkiran doanya adalah:
OM ATMA TAT TWATMA SUDHAMAM SWAHA, SWASTI SWASTI SARWA DEWA SUKHA PRADHANA YA NAMAH SWAHA.
Artinya: Om Hyang Widhi, sebagai paramatma daripada atma semoga berbahagia semua ciptaan-Mu yang berwujud Dewa.
Yadnya Sesa yang ditujukan kepada simbol-simbol Hyang Widhi yang bersifat bhuta, Yaitu Yadnya Sesa yang ditempatkan pada pertiwi/tanah doanya:
OM ATMA TAT TWATMA SUDHAMAM SWAHA, SWASTI SWASTI SARWA BHUTA,KALA,DURGHA SUKHA PRADANA YA NAMAH SWAHA.
Artinya: Om Sang Hyang Widhi, Engkaulah paramatma daripada atma, semoga berbahagia semua ciptaan-Mu yang berwujud bhuta,kala dan durgha.
Jadi pada kesimpulannya sebuah tradisi Hindu di Bali yaitu mesaiban/mejotan merupakan sebuah tradisi yang menghaturkan atau membersembahkan apa yang dimasak atau disajikan untuk makan dipagi hari kepada Tuhan beserta manifestasi-Nya terlebih dahulu dan barulah sisanya kita yang memakannya . Semua sebagai wujud syukur kita kepada Tuhan dan menebus dosa atas dosa membunuh hewan dan tumbuhan yang diolah menjadi makanan.
sumber :http://inputbali.com/budaya-bali/makna-mebanten-saiban-ngejot-dalam-tradisi-hindu-bali
Sumber daya air merupakan sebuah unsur esensial dalam mendukung keberlangsungan kehidupan di bumi. Ketersediaan air dengan kualitas baik dan jumlah yang cukup menjadi faktor utama keseimbangan ekosistem serta kesejahteraan manusia. Namun, pada era modern saat ini, dunia menghadapi krisis air yang semakin mengkhawatirkan (Sari et al., 2024). Berkurangnya ketersediaan air disebabkan oleh berbagai faktor global seperti pemanasan, degradasi lingkungan, dan pertumbuhan penduduk yang pesat. Kondisi tersebut menuntut adanya langkah-langkah strategis dalam pengelolaan air dengan memperhatikan berbagai faktor yang tidak hanya teknis, tetapi juga memperhatikan sosial dan budaya masyarakat. Salah satu langkah yang relevan adalah konservasi air berbasis kearifan lokal. Langkah strategis ini memprioritaskan nilai-nilai budaya masyarakat sebagai dasar dalam menjaga sumber daya air. Salah satu wilayah yang mengimplementasikan konservasi berbasis kearifan lokal yaitu Goa Ngerong di kecamatan Rengel,...
Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak,Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman),...
Prajurit pemanah dari komunitas pemanah berkuda indonesia (KPBI) mengikuti Festival Keraton Nusantara 2017. mewakili kesultanan kasepuhan cirebon. PAKAIAN: terdiri dari ikat kepala/ totopong khas sunda jenis mahkuta wangsa. kain sembongb berwarnaungu di ikat di pinggang bersamaan dengan senjata tajam seperti golok dan pisau lalu baju & celana pangsi sunda. dengan baju corak ukiran batik khas sunda di bagian dada. untuk alas kaki sebagian besar memakai sendal gunung, namun juga ada yang memakai sepatu berkuda. BUSUR: sebagian besar memakai busur dengan model bentuk turkis dan ada juga memakai busur model bentuk korea. ANAK PANAH: Semua nya memakai anak panah bahan natural seperti bambu tonkin, kayu mapple & kayu spruce QUIVER (TEMPAT ANAK PANAH): Semua pemanah menggunakan quiver jenis backside quiver atau hip quiver . yaitu quiver yang anak panah di pasang di pinggang dan apabila anak panah di pasang di dalam quiver , nock anak panah menghadap ke belaka...
aksi pertunjukan pusaka dan pasukan kesultanan kacirebonan dari balaikota cirebon sampai ke keraton kacirebonan
Para pasukan penjaga keraton Sumedang larang