“Mahangsumangi” demikianlah nama sebuah pulau kecil yang terletak di selat Mahumu. Selat Mahumu adalah selat yang memisahkan pulau Mahumu dengan pulau Sangihe Besar. Pulau itu kecil sehingga sekarang ini di pulau itu hanya terdapat sebuah rumah yang didiami oleh beberapa anggota keluarga.
Sekali peristiwa kira-kira pada abad 18, tibalah di selat Mahumu, sebuah perahu layar yang berasal dari Talaud. Salah seorang dari anak buah perahu yaitu selaku nahkodanya, bernama “Borang”.
Adapun maksud kedatangan Borangdan kawan-kawannya ke pulau Sangihe Besar, ialah menjual tikar rotan serta akan membeli bahan makanan dari pulau Sangihe Besar. Perahu mereka masuk dari teluk Dhago lalu berbelok ke kanan, melalui Tanjung Hego di sebelah kiri dan Tanjung Bataeng disebelah kanan. Akhirnya perahu mereka sampai di selat yamg sempit dan tenang airnya.sekarang perahu Borang sudah berada di selat Mahumu, mereka berdayung menyusur pantai Uai dan Lapepahe di sebelah kiri dan pantai Lawang (Mahumu) disebelah kanan. Tak lama kemudian sampailah merekah kesebuah pulau kecil. Setelah sampi ke pulau kecil itu, mereka menoleh ke belakang. Tetapi apa yang terjadi atas diri Borang dan kawan-kawannya? Mereka sangat heran dan takut.
Karena menurut pandangan mereka, laut yang dilalui semula telah tertutup oleh daratan. Dan memang demikian pemandangan kalu masuk dan berada di selat Mahumu. Hal ini disebabkan Tanjung Bataeng telah berhimpit dengan daratan yang terletak dibelakangnya sehingga laut antara du tanjung yang mereka lalui tadi seakan-akan tertutup. Kemudian mereka memandang kea rah Selatan. Arah Selatanpun tertutup juga, karena Tanjung Nameng yang agak panjang itu, masih berhimpit dengan ujung pulau Mahumu bagian Selatan. Memang benar kalau kita berada ditengah-tengah selat Mahumu, maka perahu kita seakan-akan terkatung-katung di sebuah danau.
Perasaan heran dan takut telah menghinggapi Borang dan kawan-kawannya, sebab menurut dugaan mereka, perahu mereka telah terkurung di selat Mahumu dan tidak dapat keluar lagi. Hal ini menyebabkan mereka putus asa danakhirnya mereka menangis bersama-sama dekat sebuah pulau di selat Mahumu.
Kebetulan pada waktu itu ada seorang nelayan yang sedang mengail dekat pulau itu. Nelayan itu heran mendengar ada orang menangis dalam perahu.menurut perkiraan nelayan itu bahwa diperahu itu adalah pendatang. Oleh sebab itu , ia langsung mendekati mereka dan menanyakan tentang identitas (asal-usul) mereka secara lengkap,serta bertanya mengapa mereka menangis. Borang selaku nahkoda perahu menjawab bahwa mereka tidak dapat mncari jalan keluar sebab laut telah tertutup dengan daratan. Mereka merasa terkurung ditempat itu. Itulah sebabnya mereka menangis.
Nelayan itu tertawa seolah-olah mengejek mereka dan sambil mengayuh perahunya ia melagukan dadung (sasambo) yang bunyi syairnya demikian : “ Kapulung Borang sumangi,esang tanaheping.” Arti sasambo ini ialah : “Kemauan Borang menangis, tempat keluar tidak tertutup.”
Mendengar syair lagu sasambo itu mereka baru mengerti bahwa mereka sunggu keliru. Oleh sebab itu sambil mendayung perahu mereka sangat malu dan berhenti menangis. Mereka keluar dari selat Mahumu kearah selatan dan akhirnya mereka mereka mendapat jalan keluar melalui teluk Lapango unutk pulang kembali ke Talaud.
Akhirnya oleh nelayan tadi pulau kecil tadi di beri nama “Mahangsumangi”, karena dekat pulau itu borang bersama kawan-kawannya menangis. “Mahangsumangi” terdiri dari awalan “Mahang” dan kata dasar “Sumangi”. Awalan mahang dalam bahasa Sangihe berarti “seperti” atau “sama dengan”. Umpamanya “Mahangduata” artinya “seperti Allah atau Tuhan”. “Mahangdeling” artinya “seperti sirih”, yaitu nama sejenis pohon yang buahnya seperti sirih. “Sumangi” artinya menangis. Kata lain dalam bahasa Sangihe “kumia”.
Jadi pulau kecil itu disebut “Mahangsumangi” karena Borang dengan kawan-kawannya memang benar seperti menangis disitu. Namun sebenarnya pengalaman itu tidak perlu ditangisi. Sampai sekarang pulau yang terletak di selat Mahumu itu bernama “Mahangsumangi”.
sumber:
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja