Alat memasak yang satu ini bentuknya mirip dhingkel, hanya saja lebih panjang. Artinya, lubangnya lebih dari satu, bisa dua atau tiga memanjang ke belakang. Jadi sekali memasak, bisa dipakai untuk dua atau tiga masakan sekaligus. Sementara bara api yang dimasukkan dalam luweng itu hanya melalui satu mulut, yaitu di bagian depan. Itulah sebuah tungku tradisional yang disebut dengan luweng.
Umumnya luweng juga berbentuk U memanjang ke belakang. Bisa dibuat permanen atau sementara. Tungku jenis ini sering digunakan untuk memasak partai besar, baik untuk keperluan hajatan maupun warung, seperti jualan gudeg, sambal goreng, atau lainnya. Dibuat permanen jika digunakan dalam waktu lama.
Biasanya luweng yang bersifat permanen ini, dibuat dari batu bata merah yang dipoles atau dilumuri dengan adonan tanah liat atau semen, sehingga lebih kuat. Sementara yang bersifat sementara seringkali dijumpai saat masyarakat mempunyai hajatan. Bentuknya sederhana, hanya terbuat dari batu bata merah yang disusun berbentuk U memanjang ke belakang. Biasanya jika hajatan sudah usai, luweng sementara segera dibongkar.
Seperti tungku dhingkel, tungku luweng juga menggunakan bahan bakar berupa kayu, bambu atau sebangsanya. Namun, perlu diingat, karena luweng dipakai untuk memasak partai besar, maka biasanya apabila bara api telah jadi, maka kayu-kayu yang dipakai adalah kayu yang awet menyala dan membara, seperti kayu asem, kayu mlanding, kayu mahoni, kayu karet, kayu mangga, dan sebagainya.
Lubang paling depan biasanya digunakan untuk menanak nasi atau sayur yang diusahakan segera matang. Lubang bagian kedua, karena api yang mengarah ke belakang kurang besar, maka sering dipakai untuk memasak air atau masakan yang tidak segera dipakai. Bisa juga dipakai untuk “ngangeti” atau memanaskan masakan yang sudah matang (jadi).
Seperti dhingkel, bagian-bagian pada luweng namanya sama, seperti “cangkem luweng” (mulut luweng) berada di depan dan jumlahnya hanya satu, luasnya cukup lebar, sekitar 30×40 cm, atau bisa lebih kecil dan lebih besar. Mulut luweng fungsinya sebagai tempat menaruh kayu bakar yang dipakai untuk memasak.
Lalu ada bolongan ‘lubang’ luweng yang jumlahnya 2, 3, atau 4 buah. Terletak di bagian atas. Fungsinya untuk menaruh alat memasak, seperti kwali, dandang, kenceng, dan sebagainya. Bagian lain bernama lawe, yang berada di kanan kiri setiap lubang luweng, yang berfungsi sebagai landasan alat memasak yang ditaruh di luweng. Bisa juga lawe terbuat dari kreweng atau pecahan tembikar. Fungsi lawe, agar api yang berasal dari mulut luweng bisa masuk ke sela-sela lawe dan alat memasak yang ada di atasnya, sekaligus sebagai sirkulasi udara pada perapian. Bagian lain adalah ganjel kayu yang diletakkan di depan mulut luweng. Dipakai untuk landasan kayu yang akan dibakar, agar ada sirkulasi udara pada api yang membakar kayu.
Biasanya tinggi luweng pada lubang ke satu, ke dua, ke tiga, dan ke empat agar berbeda. Semakin ke belakang semakin tinggi, fungsinya agar api semakin ke belakang semakin naik. Namun ada juga tinggi lubang per luweng dibuat sama.
Sumber: https://gpswisataindonesia.info/2015/03/luweng/
Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak,Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman),...
Prajurit pemanah dari komunitas pemanah berkuda indonesia (KPBI) mengikuti Festival Keraton Nusantara 2017. mewakili kesultanan kasepuhan cirebon. PAKAIAN: terdiri dari ikat kepala/ totopong khas sunda jenis mahkuta wangsa. kain sembongb berwarnaungu di ikat di pinggang bersamaan dengan senjata tajam seperti golok dan pisau lalu baju & celana pangsi sunda. dengan baju corak ukiran batik khas sunda di bagian dada. untuk alas kaki sebagian besar memakai sendal gunung, namun juga ada yang memakai sepatu berkuda. BUSUR: sebagian besar memakai busur dengan model bentuk turkis dan ada juga memakai busur model bentuk korea. ANAK PANAH: Semua nya memakai anak panah bahan natural seperti bambu tonkin, kayu mapple & kayu spruce QUIVER (TEMPAT ANAK PANAH): Semua pemanah menggunakan quiver jenis backside quiver atau hip quiver . yaitu quiver yang anak panah di pasang di pinggang dan apabila anak panah di pasang di dalam quiver , nock anak panah menghadap ke belaka...
aksi pertunjukan pusaka dan pasukan kesultanan kacirebonan dari balaikota cirebon sampai ke keraton kacirebonan
Para pasukan penjaga keraton Sumedang larang