Nama ‘Tuban’ berasal dari singkatan kata metu banyu (bahasa Jawa), yaitu nama yang diberikan oleh Raden Arya Dandang Wacana (seorang Adipati) pada saat pembukaan hutan Papringan yang tidak sengaja pada saat itu keluar sebuah mata air. Sumber air ini sangat sejuk meski terletak di pantai utara pulau Jawa. Mata air tadi tidak bergaram, tidak seperti kota pantai lainnya.
Dulunya, Tuban bernama Kambang Putih. Sudah semenjak abad ke-11 sampai abad ke-15 dalam berita-berita para penulis cina, Tuban disebut sebagai salah satu kota pelabuhan utama di utara Jawa yang kaya dan banyak penduduk Tionghoanya.
Orang Cina menyebut Tuban dengan nama Duban atau nama lainnya adalah Chumin. Pasukan Cina-Mongolia (Tentara Tartar), yang pada tahun 1292 datang dan menyerang Jawa bagian Timur (kejadian yang menyebabkan berdirinya Kerajaan Majapahit) mendarat di pantai Tuban. Dari sana pula lah sisa-sisa tentara meninggalkan pulau Jawa untuk kembali ke negaranya (Graaf, 1985:164). Tapi, sejak abad ke-15 dan 16, kapal-kapal dagang yang berukuran sedang saja sudah terpaksa membuang sauh di laut yang cukup jauh dari garis pantai. Selepas abad ke-16 itu memang pantai Tuban menjadi dangkal oleh endapan lumpur. Kondisi geografis seperti inilah yang membuat kota Tuban dalam perjalanan sejarah selanjutnya sudah tidak menjadi kota pelabuhan yang penting lagi (Graaf, 1985:163).
Menginggat keadaan geografisnya, pada masa itu, Tuban menjadi kota pelabuhan yang penting. Mata pencaharian orang Tuban adalah menangkap ikan di laut, bercocok tanam, berternak, dan berdagang. Hasil panennya adalah beras, ternak, ikan dendeng, ikan kering, dan ikan asin yang hasilnya dijual di daerah pelosok atau pada para saudagar di kapal-kapal yang berlabuh untuk menambah persediaan bahan makanan. Selain bekerja sebagai nelayan, penduduk Tuban juga melakukan pembajakan dengan menggunakan perahu-perahu kecil. Kapal dagang yang muatannya sangat berharga yakni rempah-rempah, yang sejak dahulu mengarungi laut jawa dari dan ke kota-kota dagang besar, seperti Gresik dan Surabaya.
Tuban sering disebut-sebut sebagai kota penting di daerah pesisir utara Jawa Timur. Telah terjalin persekutuan antara Tuban dan Jepara dalam cerita mengenai Sandang Garba, juga antara Tuban dan Pasundan. Majapahit didirikan oleh pangeran dari Pasundan, yang bernama Jaka Sesuruh atau Raden Tanduran. Ibu Jaka Sesuruh konon kelahiran Tuban, dan kakak laki-lakinya bernama Arya Bangah yang kelak menjadi pejabat di Tuban. Hubungan Tuban dan kota kerajaan di Jawa Timur, Majapahit, memang ada dalam sejarah. Jalinan itu eksis pada abad ke-15 dan 16, dan bahkan sebelum itu.
Ada beberapa alasan untuk memercayai adanya hubungan antara Pasundan dan Jawa Timur. Pada jaman dulu, mobilitas rakyat kerajaan, baik di Jawa Timur, Jawa Tengah maupun di laut sepanjang pesisir utara, mulai tumbuh lebih besar dari pada masa kemudian. Di masa itu, para pejabat tidak mau lagi melepas para petaninya demi masuknya hasil panen tahunan secara teratur.
Posisi dinasti Ronggolawe di Tuban cukup penting. Ayah Ranggalawe, Dandang Wacana, pergi ke Bali untuk mengambil Putri Bali bagi Raja Majapahit, Raden Wijaya. Putri Bali ini kelak akan menjadi nenek Ratu Majapahit yang kemudian di kenal dengan nama Ratu Kenya. Ronggolawe dan putranya sendiri adalah pahlawan keraton Ratu Kenya dalam peperangan melawan Adipati Blambangan, Menak Jinggo, yang meminang dia. Ranggalawe menjadi pahlawan dalam balada-balada klasik sejarah di Jawa Timur, yang disusun pada abad ke-15 atau sesudahnya. Ranggalawe hidup sekitar tahun 1300 dan merupakan teman seperjuangan pangeran pendiri Majapahit.
Tuban di Bawah Kekuasaan Demak
Pada permulaan abad ke-16, Tuban adalah tempat penting raja. Keratonya mewah, dan kotanya, meski tidak terlalu besar, mempunyai kubuh pertahanan yang tangguh. Wangsa rajanya, sekalipun muslim, sejak pertengahan abad ke-15 tetap menjalin hubungan baik dengan Raja Majapahit di pelosok. Raja Tuban pada waktu itu bernama Pati Vira. Dari kata vira dikenal kata wira, yang sering menjadi bagian dari nama Jawa. Tetapi, vira juga dihubungkan dengan wilwatikta. Menurut cerita-cerita Jawa Timur dan Jawa Tengah, Raja Tuban yang memerintah pada waktu itu memakai gelar Arya Wilwatikta.
Wira sebagai bupati Tuban bertahan sampai 1515, karena Tome Pires masih menyebutnya Pati Wira dari Tuban. Pati Wira yang berkuasa pada waktu itu menurut Tome Pires bukan seorang muslim taat, meski kakeknya sudah masuk Islam. Ia mempunyai hubungan baik dengan orang-orang Hindu di pedalaman. Bupati Wira suka memelihara anjing. Ia pun berhasrat dengan orang-orang Portugis. Persahabatan tersebut menjadi bahan cemoohan orang Tuban. Menurut Tome Pires, Bupati Wira mendapat gelar “anati mao de raja” dari raja Jawa. Pada waktu itu yang menjadi penguasa di kerajaan Majapahit adalah Dyah Ranawijaya Girindrawardana.
Sumber: http://www.tubanjogja.org/2016/12/05/legenda-tuban/
Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak,Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman),...
Prajurit pemanah dari komunitas pemanah berkuda indonesia (KPBI) mengikuti Festival Keraton Nusantara 2017. mewakili kesultanan kasepuhan cirebon. PAKAIAN: terdiri dari ikat kepala/ totopong khas sunda jenis mahkuta wangsa. kain sembongb berwarnaungu di ikat di pinggang bersamaan dengan senjata tajam seperti golok dan pisau lalu baju & celana pangsi sunda. dengan baju corak ukiran batik khas sunda di bagian dada. untuk alas kaki sebagian besar memakai sendal gunung, namun juga ada yang memakai sepatu berkuda. BUSUR: sebagian besar memakai busur dengan model bentuk turkis dan ada juga memakai busur model bentuk korea. ANAK PANAH: Semua nya memakai anak panah bahan natural seperti bambu tonkin, kayu mapple & kayu spruce QUIVER (TEMPAT ANAK PANAH): Semua pemanah menggunakan quiver jenis backside quiver atau hip quiver . yaitu quiver yang anak panah di pasang di pinggang dan apabila anak panah di pasang di dalam quiver , nock anak panah menghadap ke belaka...
aksi pertunjukan pusaka dan pasukan kesultanan kacirebonan dari balaikota cirebon sampai ke keraton kacirebonan
Para pasukan penjaga keraton Sumedang larang